Malam semakin pekat, terlihat purnama di langit sana menggantung dengan sempurna.
Ketika tak terdengar suara berisik dari manapun. Hanya terdengar suara detak jantungnya sendiri yang menderu-deru. Kebas sekali wajah Delano, keringat mengucur deras dari dahi hingga ke ujung rambutnya.
Matanya membulat sempurna, ketika menatap isi lemari di walk in closet miliknya. Seluruh masa seolah luruh dalam lemari itu. Melewati matanya yang nanar. Tegang sekali. Delano segera mengemasi beberapa barang-barang ke dalam koper beroda miliknya.
Beberapa kali menghela napas yang semakin tak terkendali. Ia berusaha setenang mungkin, melewati beberapa bodyguard yang terlihat berjaga, dan juga maid yang masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya.
Delano masih terkejut dan berusaha menolak Darren yang memaksa menguasai raganya. Ia menggelinjang, bahkan meronta-ronta menabrak benda-benda di sekelilingnya.Tubuhnya terpelanting ke sana kemari, langkahnya terseok-seok tak seimbang. Membuat beberapa bagian tubuhnya terluka, dan berdarah."Aaarrrrrggghhhh …." teriak Delano tak kuasa menahan sakit di kepalanya.Semua yang dilihatnya berubah nanar. Dengan sekuat tenaga ia bangun meski ambruk berulangkali. Ia terus saja mencoba bangkit, berpegangan pada apapun yang ada di dekatnya.Sang pemilik raga berlari ke jalanan. Matanya menemukan mobilnya terpakir di sudut jalan. Kemudian ia segera masuk dan menyalakan mesin mobilnya. Saat i
Delano membuka kelopak matanya perlahan. Ia terkejut setelah tahu tiba-tiba berada di dalam kereta cepat. Jemarinya bergerak cepat merogoh kantong jaketnya. Ia melihat tiket menuju kawasan pedesaan.Desa tersebut bernama Santo Stefaano. Sebuah desa yang berada di ketinggian, dan selama ini terkenal dengan hotel-hotel yang kamarnya glamor-glamor.Anak muda sangat cocok tinggal dan pindah di kota tersebut. Wait ... kenapa Delano tiba-tiba pindah? Bagaimana jika terjadi hal buruk tanpa Oscar di sisinya? Itulah Delano, pria dengan banyak kejutan.Tiba saatnya di stasiun pemberhentian kereta. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menelusuri sekeliling yang semakin ramai. Banyak pemuda dan gadis-gadis cantik yang berlalu lalang.
Hari beranjak gelap. Suara riuh mendesing dari luar rumah, menjadikan ketiga gadis yang di tawan dalam bangunan tua menggigil ketakutan.Salah seorang dari mereka bertubuh langsing, berambut hitam pekat sebahu. Pakaian yang dikenakan saat ini adalah kemeja putih dipadu padankan dengan celana jeans selutut. Namanya Stefani, gadis yang sempat menganggap remeh Delano di stasiun kereta.Gadis kedua berambut ikal berwarna burgundy, berperawakan tinggi semampai dengan bagian dada berukuran aduhai. Ia saat ini mengenakan pakaian berwarna merah maroon dengan model ketat dan tanpa lengan di bagian kirinya, selain itu ia memadu padankan dengan rok super mini yang hanya berukuran kira-kira tiga puluh sentimeter saja. Nama wanita kedua ini adalah Lucy.
Stefani menghela napas panjang. Ia malas berdebat dengan para penculik yang tidak mereka kenal. Tetapi sesekali ia menyanggah tak mau kalah dari Emely.Agaknya ia ingin memancing emosinya. Tetapi Emely bergaya gemulai ia bersikap lembut meski tatapan matanya tajam dan seringai di wajahnya terkesan menakutkan."Aku wanita dewasa, Emely. Tidak menarik. Badanku terlalu kurus untuk dijadikan tontonan untuk bos mu yang kejam itu," keluh Stefani jemu. "Dan lagi aku bukan wanita penghibur, tidak perlu mendandaniku dengan pakaian minim segala.""Tapi menurutku, kamu wanita yang paling menarik dianta kedua temanmu itu, Stefani." Seperti sebelumnya, Emely tidak mau mengalah. "Dan ini adalah hari pertama aku diberikan kesempatan oleh Darren menunjukkan bakatku yang luar biasa.
"Aku tidak menduga, aku tidak mengira di jaman modern seperti ini masih ada manusia aneh seperti kamu!" umpat Stefani kesal, ketika lengannya ditarik dan di seret oleh Darren.Saat pintu kembali dikunci. Lucy dan juga Serly segera mencari cara membobol tembok yang sebelumnya dia ceritakan pada Stefani. Diantara mereka bertiga, Stefani lah yang paling cerdas juga pembangkang."Terkadang ada hal-hal aneh yang sulit untuk dijelaskan. Salah satunya kepercayaan. Ia bisa hinggap dan tumbuh di hati siapa saja. Kapan perginya pun tidak ada yang tahu, kapan itu waktunya akan tiba." Darren mempersilahkan Stefani untuk duduk, sementara ia sendiri juga menjatuhkan diri di sofa empuk miliknya.Mata gadis itu menjelajah sekeliling ruangan. Ia
Darren sangat kesal dengan sikap yang sengaja ditunjukkan Stefani. Di depan kedua teman-teman gadis berparas cantik itu, ia sengaja menarik salah satu lengan baju yang dikenakan olehnya hingga robek.Stefani menjerit, hingga histeris. Ia menutupi dadanya dengan kedua tangannya sendiri. Meski begitu pantang baginya memasang wajah mengiba bagaikan anjing kelaparan yang minta dikasihani.Ia sangat paham bagaimana keinginan pria kejam seperti pemuda dihadapannya."Hey semua ... lihat, aku bahkan bisa bersikap lebih buruk dari ini jika ada yang mencoba kabur dari tempat ini," ancam Darren, kemudian pergi meninggalkan kamar dan menguncinya kembali.Meninggalkan k
Delano masih duduk bersantai sambil menikmati secangkir kopi yang disajikan Elis untuknya. Sesekali ia menghirup aroma kopi sebelum menyeruputnya.Aroma khasnya begitu menenangkan. Rasa panasnya menjalar ke otak. Menciptakan sensasi aneh luar biasa, seperti candu ingin menyeruputnya lagi dan lagi.Seringai mengerikan selalu ia tampakkan. Rautnya berubah seram beberapa terakhir belakangan.Elis menghela napas, meminta jeda waktu sejenak agar ia sedikit tenang. Perangai menakutkan itu sangat membuatnya terganggu."Delano, apakah aku boleh meminta jeda waktu sebentar? Kau bebas beris
Mungkin, jika Delano memang benar bermimpi itu akan lebih baik dari kenyataan. Ketika harus menghadapi sosok di mimpinya yang terasa nyata. Senyata Darren berulangkali hadir dalam hidupnya dan merengkuh sisi kejam."Berhenti, bukankah kita saling mengenal? Kenapa kau terus mengganggu ku? Pergi!" cegah Delano, ketika bayangan seorang pria yang mengenakan jubah hitam kian mendekat menghampirinya."Aku mengenalmu." Lelaki itu berjalan mendekat dan mulai mengitari Delano memutari tubuhnya."Tolong berhenti …." Delano meminta dengan suara bergetar.Ia mulai melangkah mundur, lebih banyak dan kali ini ia berhasil menjangkau sebongkah kayu seukuran pipa yang bersandar di dinding kamar.
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m