Sherly dan Stefani masih tercekat. Keduanya tampak bingung menentukan sikap. Haruskah mereka lari, atau melawan meski mati?
Yang jelas makhluk menyeramkan itu mampu membuat Sherly ketakutan bukan kepalang. Ia terus menjerit, bahkan meronta-ronta hilang kendali. Berbeda dengan Stefani. Ia justru terlihat tegar dan tidak takut sedikitpun.
"Kau bilang apa? Stasiun kereta? Aku bukan wanita jalang, itu hanya candaan para temanku," ujarnya membalas menatap tajam.
"Kau bilang orang sepertiku tak pantas untukmu! Bahkan aku menyentuhmu saja tidak sudi!" pekik makhluk menyeramkan, menggertak dengan suara serak khasnya yang menakutkan.
Menit kemudian, ia melomp
Holaaa semua, semoga suka ya. Jangan lupa ramaikan kolom komentar dan juga vote sebagai bentuk apresiasi terhadap penulis. Agar aku semangat berkarya Genk. Salam hangat, Lia Lintang.
Stefani masih tercekat menatap sahabatnya terbujur kaku dengan banyak luka cakar di tubuhnya. Hatinya hancur tapi juga marah.Teringat kebersamaan yang pernah mereka lewati, menyaksikan Sherly terbujur kaku dengan kondisi seperti itu membuat amarahnya menggelora.Emosinya meluap-luap. Membuat keberaniannya bertambah. Tangannya mengepal menahan amarah. Sementara matanya menyisir sekitar tempatnya berdiri.Ya. Matanya menemukan sebatang kayu tersandar di sudut tembok. Dengan gesit, ia segera menyambar benda itu hingga berada di genggamannya.Darahnya seakan mendidih. Meski cuaca begitu dingin malam itu. Tapi rasanya peluh tidak berhenti mengalir melewati seluruh celah pori-pori yang ada.&n
Stefani masih tercekat, memandangi sosok tampan di hadapannya. Wajah familiar yang pernah ia temui sebelumnya. Masih menatapnya dengan tatapan matanya yang tajam, dan juga senapan laras panjang di genggamannya. Sorot mata yang dipenuhi emosi dan rasa benci itu. Berdiri beberapa detik lamanya, membuatnya kembali liar, kendalinya memudar. Ia kembali menjadi sosok menakutkan. Melihat perubahan wujud makhluk tersebut di depan mata. Mata Stefani melotot, dan bibirnya ternganga saking terkejutnya. Ia reflek terus berlari mencari jalan keluar. Ironisnya, Stefani justru berhenti di jalan buntu. Ia masuk ke jeruji kawat yang malah mengurungnya. Ia gelagapan. Bingung menoleh ke sana kemari mencari jalan keluar.
Stefani masih tercekat. Ia tak percaya jika makhluk keji itu adalah Delano. Ia adalah pria paling baik diantara Darren, Emely dan lainnya.Menit kemudian ia tersentak, dan kembali berlari mencari seseorang yang dianggapnya tertinggal di dalam sana. Ya. Stefani teringat dengan Elis. Wanita itu menyelamatkan nyawanya.Sesampainya di ruangan yang di anggap sebagai kamar Delano, ia berlari dan memastikan jika Elis baik-baik saja.Stefani mendekatkan telinganya di dada Elis dan menyentuh hidungnya. Ia akhirnya menghela napas panjang dan lega menyadari perempuan paruh baya itu masih bernapas."Nyonya … Nyonya," panggil Stefani pelan sambil mengguncangkan tubuh renta itu berulangkali.
Elis duduk di sudut ruangan, di Pave kafe yang ternama di daerahnya. Sengaja ia pilih tempat yang sepi dan letaknya berada di lantai dua yang mengarah ke jalan raya agar bisa leluasa. Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegap, dengan gaya plontos di kepalanya datang menyapa. "Hai Elis, sudah lama menunggu?" Elis terkesiap, tak menduga jika pria yang ditunggunya benar-benar datang. Seketika matanya berbinar, senyumnya pun mengembang. "Oscar," panggilnya setengah berteriak riang. Keduanya saling bertukar sapa. Pelukan persahabatan pun mereka lakukan. Sudah lama mereka tak pernah bertemu. Hanya karena ini adalah urusan serius yang membuat Os
Setelah malam pertemuannya dengan Elis, Oscar tercenung memikirkan banyak hal. Tak luput dari perhatiannya adalah wanita itu menuturkan bahwa Delano dicurigai sebagai seorang pembunuh berantai. Sungguh hal ini membuat Oscar tersentak. Ia kembali membuka peti berisikan kalung dengan liontin batu safir merah. "Liontin ini masih di tanganku, bagaimana mungkin … kamu bisa—" kata-kata Oscar terhenti melihat kedatangan Darren. Oscar mengerutkan dahinya. Ia bingung mengetahui pria yang mirip dengan bos-nya menggantikan tinggal di kediaman Jeff Hilton. "Darren, kenapa kamu datang membawa koper besar? Delano ke mana? Kenapa mobilnya bisa ada sama kamu?"
Setelah dua malam tidak pulang, akhirnya Oscar muncul juga di galeri Jeff Hilton. Suara deru mesin mobil tua milik pria paruh baya tersebut terdengar bising hingga ke lantai dua.Sontak saja hal itu membuat Darren yang terlelap mulai membuka matanya. Seolah sedang tertekan, matanya melebar sempurna. Ia bahkan waspada terhadap siapapun yang terdengar melangkah mendekati kamarnya."Permisi, maaf mengganggu istirahat Anda. Tuan Oscar telah datang," ujar seorang maid.Sebelum istirahat, karena merasa cemas, Darren meninggalkan pesan agar salah seorang maid membangunkan dirinya ketika Oscar sampai ke rumah yang menjadi satu dengan galeri Jeff Hilton tersebut.Da
Delano yang sedang pingsan dalam waktu yang cukup lama, akhirnya terbangun juga.Ia bangkit sambil memegang kepala yang masih terasa nyeri. Matanya meneliti sekitar, mencari-cari sosok Oscar yang kini entah ke mana ia pergi.Delano kembali merasakan sepi. Di saat bersamaan ia teringat akan teman-teman lamanya. Hendri dan Bob. Apa kabarnya, dan di mana sekarang setelah kematian Hendri? Pertanyaan itu kembali melintas di benaknya, setelah sekian lama.Menemui Calista dan teman lama adalah rencana seorang Delano ketika ia baru saja tersadar. Ia tak lagi berpikir perempuan itu adalah musuhnya.Penting baginya untuk bisa dipandang normal oleh siapapun yang menganggapnya sebagai seorang yang lemah.
Malam hari 19.00—Mansion Jeff HiltonDelano seakan memiliki kembali gairah hidup yang sebelumnya sempat hilang. Darren memang tidak pernah berhenti membuatnya kagum.Pria yang sangat menginspirasi, tapi juga membuat iri. Ia masih muda dan berbakat, wajahnya tampan dan rupawan, sigap, tegas, modern, dan mampu mengendalikan situasi di berbagai keadaan.Kharismatiknya begitu kuat. Sangat mampu membuat kaum hawa tertarik. Di setiap kesempatan, tidak lupa ia memamerkan senyumnya yang khas, gigi taring sebelah kanan atasnya menonjol. Dari sanalah semua orang mengingat wajahnya sehingga memiliki kepopuleran.Namun, ternyata kepopulerannya justru dianggap menghalangi kip
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m