Setelah dua malam tidak pulang, akhirnya Oscar muncul juga di galeri Jeff Hilton. Suara deru mesin mobil tua milik pria paruh baya tersebut terdengar bising hingga ke lantai dua.
Sontak saja hal itu membuat Darren yang terlelap mulai membuka matanya. Seolah sedang tertekan, matanya melebar sempurna. Ia bahkan waspada terhadap siapapun yang terdengar melangkah mendekati kamarnya.
"Permisi, maaf mengganggu istirahat Anda. Tuan Oscar telah datang," ujar seorang maid.
Sebelum istirahat, karena merasa cemas, Darren meninggalkan pesan agar salah seorang maid membangunkan dirinya ketika Oscar sampai ke rumah yang menjadi satu dengan galeri Jeff Hilton tersebut.
Da
Delano yang sedang pingsan dalam waktu yang cukup lama, akhirnya terbangun juga.Ia bangkit sambil memegang kepala yang masih terasa nyeri. Matanya meneliti sekitar, mencari-cari sosok Oscar yang kini entah ke mana ia pergi.Delano kembali merasakan sepi. Di saat bersamaan ia teringat akan teman-teman lamanya. Hendri dan Bob. Apa kabarnya, dan di mana sekarang setelah kematian Hendri? Pertanyaan itu kembali melintas di benaknya, setelah sekian lama.Menemui Calista dan teman lama adalah rencana seorang Delano ketika ia baru saja tersadar. Ia tak lagi berpikir perempuan itu adalah musuhnya.Penting baginya untuk bisa dipandang normal oleh siapapun yang menganggapnya sebagai seorang yang lemah.
Malam hari 19.00—Mansion Jeff HiltonDelano seakan memiliki kembali gairah hidup yang sebelumnya sempat hilang. Darren memang tidak pernah berhenti membuatnya kagum.Pria yang sangat menginspirasi, tapi juga membuat iri. Ia masih muda dan berbakat, wajahnya tampan dan rupawan, sigap, tegas, modern, dan mampu mengendalikan situasi di berbagai keadaan.Kharismatiknya begitu kuat. Sangat mampu membuat kaum hawa tertarik. Di setiap kesempatan, tidak lupa ia memamerkan senyumnya yang khas, gigi taring sebelah kanan atasnya menonjol. Dari sanalah semua orang mengingat wajahnya sehingga memiliki kepopuleran.Namun, ternyata kepopulerannya justru dianggap menghalangi kip
Pukul 05.00 — Galeri Jeff Hilton, Firenze-Italia Pagi itu cuaca terlihat mendung. Langit terlihat gelap. Suara petir begitu bergemuruh. Tapi bukan gemuruhnya yang mengganggu pikiran Delano. Melainkan rasa canggungnya menghadapi masa lalunya yang kelam. Bagaimanapun ia tetaplah seorang Delano, meski sekarang perubahannya sangatlah banyak, tapi sama saja memiliki kekurangan. Ia memiliki sisi kurang percaya diri yang menjadi kekurangannya. Mirisnya ia juga mencoba melawannya dengan cara yang salah. Pagi itu ia mematut diri dalam pantulan cahaya cermin. Dilihatnya kalung batu safir merah miliknya sudah bertengger di atas nakas. S
Malam yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Calista terlihat menawan dengan setelan kaus biru muda yang dipadu padankan dengan blazer berbahan brokat berwarna ceam.Sementara Bob, masih sama dengan penampilannya yang dulu, celana yang selalu menggunakan tali selempang dan juga topi berwarna selaras dengan kemejanya yang selalu jadi ciri khasnya.Delano memilih duduk bersebrangan dengan Bob yang duduk berjajar dengan Calista. Tidak sedikitpun Delano menghindari tatapan keduanya.Buku jemarinya seolah tak sabar terus mengetuk-ngetuk meja makan hingga menimbulkan suara, menunggu semuanya berkumpul dan segera mengutarakan keinginannya untuk kembali berkarya.Tak lama kemudian, Emely datang dengan menggunakan mantel dalma
Salah seorang teman terbaik Delano tak terima sahabatnya mengalami ini. Ia berpikir Delano depresi. Atau mungkin, jiwanya terguncang setelah kematian Jeff Hilton, lalu di susul kematian teman terdekatnya, yaitu Hendri. Dulu di tempat ini pernah menjadi tempat bahagia ketika pertama kali bekerja kepada Jeff. Di tempat ini pula pernah tercipta banyak kenangan dan juga tragedi yang tidak mengenakkan lainnya. Cuaca malam itu terasa dingin. Tiba-tiba semilir angin berembus kencang menyapu setiap pemilik pipi yang ada. Tiba-tiba saja lampu seketika padam. Seisi ruangan riuh. Mereka juga waspada, Oscar segera melepaskan kalung yang dikenakan Delano. Sebab dari kalung itu sumber energi buruk selalu muncul membersamainya.
Pagi ini Delano membuka mata lebih awal. Ia tak bisa tidur nyenyak semalam. Pikirannya berkecamuk memikirkan banyak hal. Termasuk juga persaingannya dengan Darren.Delano memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dan banyak hal, termasuk tentang cara mengurung kembali sosok Darren. Terlintas di pikirannya ingin mengambil kembali rumah kecil yang bentuknya mirip kastil yang tertinggal di desanya. Tapi waktu begitu sempit untuknya.Ia melamun seorang diri di balkon mansion. Tatapannya jauh ke arah luar. Tak lama kemudian Oscar datang bersama maid yang menyajikan sarapan pagi yang ditata di atas nampan."Delano, apa yang kau pikirkan?" tanya Oscar membuyarkan lamunannya di pagi itu.
Hari ini adalah hari kedua Delano menuangkan ide lewat lukisan-lukisan barunya. Ia sengaja membuatnya menarik. Entah kenapa selesai pameran lukisan ini ia berniat kembali menjelajah ke tempat lain.Bukan tanpa alasan, tapi ia memiliki tujuan lain, ingin jauh dari segala gangguan dan bisikan yang membuatnya merengkuh sisi kejamnya tentunya.Sering kali ia terjatuh tanpa ada yang tahu. Mendengar hal-hal di luar nalar yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Membuatnya takut berterus terang kepada siapapun.Sebab ia tahu, tak ada seorangpun yang percaya dengan hal gaib. Meski sebenarnya kita hidup berdampingan dengan hal-hal tersebut.Hari semakin malam. Bende
Mentari pagi kembali datang. Sinarnya tampak terang seperti biasanya. Embun pagi menemani dingin yang menjadikan gigil.Semua masih sama seperti sebelumnya. Sama halnya Delano. Ia masih mengikuti perjalanan hidup yang bahkan ia tak tahu di mana ujungnya. Akankah ada caranya untuk bahagia atau pun tidak?Meski begitu, ia adalah sosok yang optimis dan juga pemberani. Sering dihina di masa kecil membuatnya menjadi seorang pemberontak yang seiring berjalannya waktu semakin kuat. Bahkan kini ia mulai berencana melawan sosok kejam yang selalu mengambil alih tubuhnya.Sakit hati. Tentu saja itu yang menjadi alasan Delano saat ini. Tidak ada lagi tujuan hidup. Kecuali membalas seluruh sakit hatinya. Baginya, hanya luka yang membuatnya bertamba
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m