Delano terbangun setelah beberapa jam tertidur. Entah berapa jam lamanya ia terlelap. Kepalanya terasa sangat sakit. Pusing luar biasa akhir-akhir ini sering terjadi dan kembali ia rasakan. Ia memegangi kepalanya yang sangat pusing. Rasanya berputar seperti naik rollercoaster.
Tidur ternyata tidak menyelesaikan masalahnya. Justru sakit di kepalanya berulang beberapa kali kerap terjadi.
"Aaaaargh …." Delano memegangi kepalanya sambil meringis kesakitan. Ia berupaya bangun dari kasur empuknya dengan sempoyongan dan hampir saja terjatuh. Untungnya ia segera berpegangan pada nakas yang tak jauh letaknya dari kasur.
Meski perlahan. Tapi ia sukses melangkah ke kamar mandi dan berendam di bathtub sampai sakit kepalanya meng
Begitulah sisi baik Delano. Pribadi yang jauh berbanding terbalik dengan seorang Daren yang entah siapa dirinya. Memiliki wajah sama dan memanfaatkan kemiripannya mengatasnamakan Delano dalam setiap aksi jahatnya.Sepanjang perjalanan Delano memilih diam seorang diri. Meski begitu banyak pasang mata yang sedang memperhatikannya.Ia cuek, meski wanita yang merupakan bagian komplotan preman jalanan menghampiri. Tampaknya berusaha merayu."Boleh tahu siapa nama Anda? Sepertinya bukan orang biasa?" Wanita tersebut mengulurkan tangannya, berharap Delano membalasnya dan memperkenalkan diri.Delano hanya diam dan hanya membalas menatap, selain itu ia juga menyunggingkan senyuman menawan.
Setelah kejang beberapa menit, akhirnya tubuh Delano kembali lemas setelah Oscar melepaskan kalung yang dikenakannya. Oscar sepertinya memang telah paham, dengan apa yang menimpa Delano. Kalung batu safir merah ternyata memiliki kekuatan mistis yang mampu mengendalikan pemakainya.Hal itu juga yang ternyata menyebabkan sikap Delano sering berubah, dari Delano yang pendiam terkadang agresif."Delano … apa kamu baik-baik saja?" Oscar menepuk-nepuk pipi majikan barunya berulangkali.Perlahan Delano membuka kelopak matanya. Ia menoleh dan menyisir seluruh ruangan."Ini kamar masa kecilku 'kan Oscar?" tanyanya ragu-ragu.
Sudah sepuluh menit Oscar berdiri di belakang Delano. Pemuda itu terus memperhatikan rumah berbentuk mini yang bertengger di atas nakas di ruang keluarga.Hawa terasa dingin. Tak lama kemudian disusul hujan lebat yang mengguyur desa terpencil itu. Oscar lelah mematung. Ia berinisiatif menegur Delano."Delano, kenapa kamu hanya diam mematung? Dan menghentikan ceritamu?"Oscar berpindah duduk di sofa yang letaknya tak jauh dari rumah miniatur yang masih ditatap Delano tanpa kedip. Pemuda itu bahkan mendekatkan wajahnya mengintip rumah miniatur di atas meja."Dari sini pertemuanku dan Daren di mulai," ujar Delano.Ia mengisahkan,
Masih di hari yang sama. Di rumah tua, tempat Delano kecil tinggal dulu. Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi perkebunan Bunga dan sayur.Hari masih gelap. Embun saja masih bertengger manis di setiap sela-sela dedaunan yang diselimuti oleh kabut. Hawa dingin menyeruak masuk lewat celah jendela. Rintik hujan masih deras menetes. Suaranya terdengar riuh.Delano masih diam membisu. Mencoba mengingat semua kenangan masa lalu. Ia melupakan sejenak jika salah seorang temannya sedang membutuhkan pertolongan."Delano, kamu besok harus kembali ke kota." Oscar beranjak pergi setelah mendengar kisah dan mengutarakan niatnya."Ya. Tolong buatkan aku janji dengan seorang
Malam itu, waktu seakan membeku. Hawa dingin menemani dan menjadi saksi bisu sebuah kehilangan. Semua terlihat berduka. Kesedihan yang sama yang Delano rasakan ketika mengiringi kepergian orang terkasih. Dadanya kembali nyeri dan sesak saat melihat sesosok tubuh terbujur kaku.Oscar mengutarakan niatnya untuk memakamkan Hendri di tanah pribadi miliknya. Semua menyetujuinya. Kecuali Delano yang masih terlihat syok hingga tidak melepaskan tatapan matanya dari tubuh Hendri yang membiru karena pucat."Delano, pulanglah! Aku yang akan mengurusnya. Tenangkan dirimu di kota." Oscar memegang bahunya.Ia memang sosok pribadi yang hangat meski sikapnya begitu dingin. Meski di usia yang sudah tak lagi muda, tak seorang pun menemukan pria itu memiliki keluarga. 
Hilangnya kalung terpenting dalam hidupnya, membuat Delano begitu frustasi. Beberapa panggilan telepon ia lakukan untuk menghubungi Oscar. Tapi tidak juga ada jawaban. Bahkan puluhan pesan singkat yang ia kirimkan pada pria paruh baya itu hasilnya pun sama. Nihil. Tak ada jawaban.Mansion dan galeri peninggalan Jeff seakan sepi, meski banyak orang masih berlalu lalang di sana. Beberapa orang maid berdiri, siap menunggu perintah untuk menyajikan makanan Delano.Sejak kepulangannya, Delano belum menyentuh makanan barang sedikitpun. Pikirannya masih gelisah memikirkan kalung batu safir merah yang kini adanya bagaikan candu. Mampu membuat Delano lebih percaya diri dari sebelumnya.Sungguh pengaruh yang kuat. Mungkinkah mengandung banyak un
Semilir angin berembus gemulai mengusik tidur siang Delano yang entah berapa jam ia terlelap dengan begitu nyaman. Suasana rumah Elis yang begitu sepi dari hiruk pikuk kota ternyata mampu mengusir penat yang dirasakan pemuda itu.Rumah bergaya Eropa klasik dengan pahatan seni ukir yang luar biasa bernilai seni tinggi mampu mencuri perhatian seorang Delano Hilton.Oscar memang orang yang paling bisa diandalkan dalam segala hal. Salah satunya merekomendasikan tempat eksotis seperti ini, menenangkan diri dan pikiran.Delano berdiri di samping jendela lantai dua. Ia kemudian berjalan berpindah ke koridor, menatap danau dan menghirup udara sambil memejamkan mata. Nyaman. Tenang.
Meninggalkan kediaman Elis mungkin keputusan yang tepat diambil Delano sebelum ini. Ia bahkan tidak menduga jika Daren bisa menemuinya meski tanpa adanya kalung batu safir merah.Hujan jatuh membasahi jalanan kota Firenze malam itu. Bulir demi bulir berjatuhan membasahi seluruh kota.Awan berwarna abu-abu gelap itu dengan sengaja menjatuhkan tetesan deras kepada beberapa orang yang sedang berlarian menyelamatkan diri dari guyurannya.Malam itu. Delano hanya terdiam duduk seorang diri dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.Kemacetan memang terjadi di beberapa ruas jalan. Banyak orang yang melintas, dengan sengaja memperlambat laju kendaraan mereka g
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m