âVin?ââIya, Mas. Aku memberanikan diri untuk keluar dari mobil.ââKenapa enggak coba minta bantuan dengan menelepon seseorang?ââKondisi panik terkadang menyita setengah dari pikiran manusia,â ucap Mas Vino tenang.Suamiku lalu berkisah. Dua orang tak dikenal itu mengancam akan memecahkan kaca mobil jika keduanya tak mau keluar. Lelaki dengan memar di salah satu ujung bibirnya itu juga bilang, ia masih sempat berpikir, jika kaca mobil dipecahkan, tampaknya mereka berdua akan semakin kesal. Akhirnya, saat Mas Vino membuka pintu, salah satu dari mereka malah merangsek dengan menarik lengan Mas Vino.âPak Narto berusaha teriak minta tolong, tapi rupanya obat bius di kain sudah disiapkan untuknya.âKembali Mas Vino menceritakan rentetan peristiwa sampai aksi baku hantam akhirnya terjadi.âAwalnya aku bisa mengimbangi tiap serangan lawan, tapi saat sebuah bogem mendarat di wajahku, satu temannya lagi menendangku dari arah belakang.âMas Vino menjeda kalimatnya. Emosinya seperti datang saa
Hah? Hamil?Aku menoleh ke arah suamiku yang menatap lekat dari atas bed-nya. Dia tersenyum hingga terlihat barisan giginya yang putih.âMama, ih. Mana ada aku hamil. Ngadon-nya aja baru beberapa hari, masa iya langsung jadi?â jawabku setengah berbisik.Mama terkikik. âIya juga, sih.ââApa aku salah makan, ya?â gumamku.âAtau malah telat makan?â sambung Mama.Aku mengingat kapan terakhir kali mengisi perut. Malam sebelum kejadian, Mas Vino memang tidak ikut makan malam di rumah karena mau ketemuan sekalian makan dengan temannya. Sementara aku memilih tak makan, hanya memasukkan beberapa potong buah saja.âIya ini, kamu telat makan,â tebak Mama. âPas Vino keluar, kamu cuma makan buah aja, kan?âAku meringis, sedangkan Mas Vino menatapku dengan pandangan tak suka.âSemalam kamu enggak makan, Kal?âAku menggeleng.âKenapa enggak makan?ââKeganjel buah jadi lupa, Mas. Niatnya mau minta beliin makan pas Mas Vino pulang nanti, tapi mendadak semakin gelisah. Mana hujan gede.âWalau agak lema
âJay, Bu Jainab, saya mohon maaf sekali lagi. Semua terjadi di luar kuasa kami sebagai manusia.ââSudahlah, Zeem, jangan terlalu formil. Kita ini sudah menjadi keluarga. Aku juga tidak terlalu mempermasalahkan kejadian yang menimpa Vino. Yang penting Vino masih selamat. Kita fokus saja sama kesembuhannya.âAda sedikit gurat senyum di wajah papa saat mendengar jawaban besan sekaligus kawan mondoknya itu. Sementara ibu mertua hanya mengembuskan napas pelan seraya mengusap lengan putranya.âSabar, ya, Nak. Ini ujianmu. Ini juga ujian keluarga kalian,â ucap ibu mertua menatap anaknya dan aku secara bergantian.âMaafin Vino, Bu. Andai Vino peka sedikit saja sama kekhawatiran Kalila, pasti sekarang kita enggak akan kumpul di rumah sakit lagi,â ujar lelaki dengan selang infus di tangannya itu.âSudah, Nak. Andai-andai itu bisikan setan. Semua sudah terjadi. Yang penting kamu enggak kenapa-napa.ââMakasih, Bu. Maafin Vino ....âMas Vino mencium tangan ibunya dengan begitu dalam. Aku yang seda
Lima hari setelah operasi pemasangan pen, kini Mas Vino bisa kembali ke rumah. Acara yang diagendakan di Semarang tetap berjalan walau tanpa kami sebagai dua orang pemeran utama. Ayah dan Ibu membatasi sanak saudara yang ingin menjenguk keadaan Mas Vino di Jogja usai operasi. Namun, hal itu tak berlaku untuk Mbak Vera sebagai kakak kandung satu-sarunya dari suamiku itu.Aku yang sedang berada di hotel usai mengikuti rapat penting beralih fokus pada getar benda pipih di saku jas. Nama âMy Hubbyâ terpampang di layar ponsel membentuk sebuah panggilan video. Aku tersenyum tipis dan segera menggeser ikon terima.âAssalamuâalaikum, Mas.ââWaâalaikumsalam, Sayang. Aku ganggu, nggak?ââEnggak, Mas. Ini meetingnya sudah selesai. Ada apa, Mas?ââKangeennn ...,â rengeknya manja.âHadeeeh ... dasar pengantin baru. Mesra-mesraan nggak paham sikon!âTerdengar suara seorang wanita dari seberang sana. Tepatnya di sebelah Mas Vino. Keningku berkerut.âMas Vino ada tamu?âTanpa menjawab, suamiku malah
Seorang lelaki berpostur tubuh tinggi tegap dan wajah tegas yang terbilang rupawan berjalan ke arah toko yang baru saja kumasuki. Lamat-lamat kuperhatikan dengan saksama, takut salah orang. Namun, aku benar-benar yakin itu dia, apalagi saat tubuh yang terbungkus pakaian kasual dengan celana jeans itu kembali ke mobilnya seperti mengambil sesuatu, lalu mengunci kendaraannya kembali dengan remot otomatis hingga benar-benar masuk ke toko brownis.Aku terenyak seketika. Ingin turun untuk memastikan bahwa penglihatanku tidaklah salah. Namun, getar dan suara panggilan kembali menarikku. Nama Mas Vino terpampang di layar.âIya, Mas?ââKal, enggak usah mampir-mampir. Di rumah sudah banyak camilan dan oleh-oleh ini.âTernyata suara Mbak Vera yang terdengar. Aku tersenyum dan segera keluar dari area parkir.âAh, enggak kok, Mbak. Ini cuma beli es krim buat para keponakan. Mereka pada ikut, kan?ââWah, wah, wah ... aroma-aromanya bakal jadi tante kesayangannya anak-anakku, nih. Paham banget cara
Akhirnya, Papa mengambil alih pembicaraan untuk membahas kasus Mas Vino waktu itu.âSelain uang yang berkuasa dan memang selalu bisa membeli hukum, memang tidak ada saksi mata lain selain sopir kami juga Vino sebagai korban, Nak Vera. TKP yang jauh dari rumah warga dan merupakan area kaveling yang baru dibuka menyulitkan pihak kepolisian untuk mencari CCTV. Bahkan tidak ada CCTV di daerah sana.âPapa menjeda kalimatnya.âDan lebih sulit lagi karena tempat waktu itu ternyata lahan proyek milik orang ternama dan memiliki kuasa tinggi. Mau tidak mau, police line dicabut sebab pembangunan harus berjalan sesuai prosedur. Terlebih ... adikmu sendiri tak ingin hal ini terlalu dibesar-besarkan.âMbak Vera memicingkan mata menatap adik lelakinya. Meminta penjelasan walau hanya lewat sorot yang tampak berkilat.âAku enggak mau punya musuh, Mbak. Lagian ini hanya hal kecil saja.ââApa kamu bilang? Hal kecil?â Mbak Vera mulai tersulut emosi.Melihat situasi yang kurang kondusif untuk Dilla juga B
âTerima kasih, Pak Nazeem. Saya yakin, Anda tidak akan diam saja dengan kejadian ini,â ucap Mbak Vera. Tampak kelegaan di wajahnya.âSaya akan turun tangan langsung kalau menantu saya sampai kenapa-napa, Nak Vera.ââTuh, Vin, dengerin!âMas Vino hanya tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih kepada mertuanya.âSelain karena kejahatan memang harus diperangi, Papa enggak rela waktu-waktu intim kalian berdua harus terjeda dengan adanya kasus ini. Harusnya Papa dan Mama sudah mendengar kabar bahagia atas kehamilanmu, Kalila.ââPapa apaan, sih, Pa!â Aku pura-pura merajuk. Malu, ih.Papa yang tampaknya tak ingin suasana menjadi semakin tegang hanya bisa terkekeh. Menyarankan kepadaku untuk tetap fokus mengurus suami dan bekerja seperlunya, dan menyarankan Mas Vino untuk sementara waktu harus lebih lama di Jogja hingga dia benar-benar pulih, sebelum nantinya akan membawaku pulang untuk berkenalan dengan keluarganya di Semarang.Hari pun beranjak sore. Mbak Vera dan kedua anak kembarnya
Aku berusaha berontak dari kepungan lengan Mas Vino yang kian menahanku.âMas, lepas, ih! Ntar aku kalah,â rajukku dengan terus berusaha melepas tangan suami.âEnggak pa-pa kamu kalah, bukannya kamu sudah memenangkan hatiku dari dulu?ââEnggak mau ... kali ini aku juga harus menang!âMas Vino tergelak dan mendekatkan wajahnya ke telingaku. âIzinkan aku selingkuh selama si kembar di sini, Sayang. Gadis-gadis kecil itu begitu menggemaskan,â bisiknya.Aku memutar badan hingga kini wajah kami saling berhadapan. Tidak ada yang salah dengan kalimatnya walau jika orang lain yang mendengar pasti akan salah memaknai. Namun, aku hanya ingin menguji Billa dan Dilla saja. Mana mungkin aku cemburu melihat kedekatan antara om dengan keponakannya yang masih sekecil itu?âApa aku sudah tak lagi menggemaskan, Sayang?ââKau jauh lebih menggemaskan jika tanpa sehelai benang, Ratuku.âAku tersenyum dan hendak menyambar bibirnya dengan kecupan. Namun, teriakan di belakang membuyarkan keromantisan kami.â
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayahâ""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melatiâibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.âAlhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,â ucap dokter dengan tag name Susiana itu. âSebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.âSedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.âMau ke mana, Kal?â tanya Mbak Eliz.âJalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.âMas Vino melirikku sebentar.âSemacam panti, Pak?ââIya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.âAku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.âMari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.âAkhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
âDenger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.âTak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. âMaksudnya?ââNindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,â jelasnya. âWajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.