Kening Papa mengernyit. “Berarti kamu udah ketemu Aldrin duluan?”Aku mengangguk patah-patah dengan gerakan pelan.“Kalila enggak terlalu yakin, sih, Pa. Tadi siang pas mampir beli kue, Kalila ketemu laki-laki yang mirip banget sama dia, Pa. Cuma Kalila ragu. Mau turun dari mobil buat mastiin, tapi buru-buru karena ditelepon Mas Vino.”Papa hanya manggut-manggut sembari mengusap dagunya.“Papa ngeliat dia di mana, Pa?”“Tadi sore pas di lampu merah. Dia pakai ducati putih, helmnya cuma dimasukin ke lengan. Makanya Papa bisa lihat dengan jelas dan yakin kalau itu dia. Soalnya mobil Papa pas di sampingnya, walau posisinya agak di depannya dia sedikit.”“Dia nggak ada noleh ke mobil Papa?”“Enggak. Dia malah mainan ponsel sambil nunggu lampu ijo.”Kami sama-sama diam setelahnya. Sejujurnya, Aldrin bukanlah ancaman, tetapi dia ....“Ealah, dicari-cari malah mojok di sini.” Mama datang memutus lamunan kami. “Ada apa, Pa? Kok, kayaknya kalian tegang begitu?”“Oh, enggak ada apa-apa, Ma,” ja
Mbak Vera dan kedua gadis kecilnya hanya menginap selama tiga malam. Dan tiga malam pula aku harus menahan rindu tidak bisa tidur bersama suami. Mas Vino benar-benar dijadikan sandera oleh kedua sugar baby-nya. Tak apalah. Toh, kami memang belum bisa beraktivitas intim seperti biasanya. Lagi-lagi pikiranku melayang tentang siapa yang sudah mencelakai Mas Vino. Dia memang telah berhasil membuat kami tak bisa melakukan hubungan suami istri dalam beberapa waktu, tetapi alhamdulillah cinta di antara kami masih tetap utuh. Om Ibrahim dan putranya memang belum bisa fokus dengan kasus kami. Namun, mereka bilang akan mengusahakan di sela-sela kesibukannya di kemiliteran. Semoga pelakunya segera ditemukan dalam keadaan apa pun. Setelah puas berkeliling ke tempat wisata dari mulai destinasi di kawasan Gunung Merapi hingga ke Jogja lantai dua yang menyuguhkan pesona pantai, akhirnya tiba saatnya Billa dan Dilla harus pulang ke Semarang karena harus segera balik ke KL. “Papino ... janji, ya, t
Sebulan berlalu. Kunjungan rutin dokter keluarga untuk memantau kondisi Mas Vino masih terus dilakukan. Vitamin penunjang kesehatan selalu rutin dikonsumsi. Pun dengan arahan-arahan yang perlu dihindari jika ngilu dan sakit mulai terasa di area yang dipasangi pen.“Pada saat berhubungan, carilah posisi paling nyaman. Pastikan posisi punggung jangan sampai terlalu ditekan. Jaga-jaga saja, jangan kebablasan,” terang Om Wasis sambil terkekeh. “Untuk gaya apa, kalian pasti lebih pahamlah ...,” lanjutnya dengan terkekeh lebih renyah.Aku hanya tersenyum canggung saat dokter keluarga yang masih memiliki kekerabatan dekat dengan papa itu sedikit menggoda kami.“Oh, iya, si Alan enggak tinggal di sini lagi, ya, Kal?”“Iya, Om. Dia balik ke apartemennya. Tapi, sekali-sekali masih nengokin Papa sama Mama, kok, ke sini.”Lelaki dengan kacamata itu hanya mengangguk setelah menyeruput kopinya.“Kapan hari Om sempat ketemu dia di kafe, sama cewek.”Aku sedikit terperangah. “Oh, ya? Kapan, Om?”Om W
Binar terkejut juga jelas sekali tergambar di wajah cantik itu. Wajah ketua tim cheerleaders zaman SMA dulu. “Kalila? Vino?” Seolah memastikan, Kak Nindi menyebut namaku dan lelakiku secara bergantian. Mama, Papa, dan Mas Alan juga tak kalah terkejut. “Kamu kenal sama mereka, Nin?” tanya Mas Alan akhirnya. “Oh, iya, Mas. Vino teman SMA-ku, dan kita juga pernah kuliah di kampus yang sama. Kalila juga adik kelas kami waktu SMA.” “Wah ... berarti enggak perlu kenalan lagi, dong, ya. Tinggal saling mengakrabkan diri lagi aja,” sahut Mama. Wajah-wajah kaget tadi langsung mencair setelah wanita yang dibawa Mas Alan memberikan sedikit penjelasannya. Kami pun memulai acara makan malam walau aku dan Mas Vino jadi sedikit tak leluasa seperti biasanya. Bukan masalah ada orang baru yang bergabung dengan kami, tetapi ada orang dari masa lalu yang kini hadir kembali di tengah-tengah kami. Aku jadi teringat info dari Luna beberapa waktu yang lalu, bahwa Kak Nindi gagal menikah sebab perusahaan
Aku mengerjapkan mata berulang kali. Sadar jika setan dan bala tentaranya nyaris berhasil mengepung kami dalam kemaksiatan. Segera kutarik tangan dari genggaman Mas Alan.Lelaki tampan di depanku ini seperti mengerti dan juga mulai sadar jika dirinya telah terhipnotis bujuk rayu Dasim, setan yang punya tugas menghancurkan pernikahan anak cucu Adam. Mas Alan meraup wajahnya dengan kasar. Kalimat istigfar lirih kudengar dari bibirnya yang tipis. Aku pun melakukan hal yang sama, beristigfar dalam hati dan mengatur napas sebaik mungkin.“S-sorry, Kal. Mas terbawa suasana.”Aku mengangguk dan segera menelepon bagian food and beverage. Meminta dibuatkan cokelat panas kesukaan untuk menenangkan hati dan pikiran.Jika biasanya keakrabanku dan Mas Alan dulu akan membuat kita tertawa haha-hihi tanpa beban, tetapi berbeda dengan saat ini. Statusku adalah seorang istri. Aku harus menjaga batasan bercengkerama dengan lawan jenis, sekalipun itu masih terbilang family. Apalagi jika tadi ada seseoran
Ya, hal yang sama juga sedang kupikirkan. Kenapa Nindi tidak dengan Mas Alan? Bukannya kemarin malam mereka sudah go publik hingga perkenalan dengan keluarga? Kenapa sekarang Kak Nindi malah jalan dengan pria lain dengan begitu mesra?Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam hati. Bukan, bukan aku cemburu. Mas Vino pasti berpikiran yang sama denganku.“Beneran itu Nindi?”Aku mengangguk. Tak lama setelah itu keduanya masuk ke sebuah mobil dan hilang dari pandangan.Aku segera merogoh dompet dan mengeluarkan pecahan uang warna merah. Menarik lengan suami tanpa meminta uang kembalian pada pemilik angkringan.“Mbak, jujule?” (Mbak, kembaliannya?)“Kersane, Pak, kagem njenengan mawon,” ucapku sopan pada seorang lelaki cukup usia.(Enggak pa-pa, Pak, buat Anda saja.)Melihat wajahku yang mungkin sudah tak enak dipandang dan tak mau didebat, Mas Vino hanya diam.“Cepat, Mas, ikutin mobil itu!”Suamiku hanya mengangguk seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.“Punggungmu aman, kan, Mas? Atau
Seminggu setelah perdebatan di kamar hotel kala itu, Mas Vino mengutarakan keinginannya pada mama dan papa untuk segera pulang ke Semarang dan membawa serta diri ini. “Kapan tepatnya, Nak?” tanya Papa. “Jika Papa dan Mama enggak keberatan, lusa kami berangkat.” Aku hanya menyimak tanpa mau mendebat atau menambahi. Biarkan, toh memang diri ini sudah sepenuhnya tanggung jawab suami. “Tentu saja Papa enggak keberatan. Kalila memang sudah menjadi tanggung jawabmu setelah ikrar suci pernikahan terucap dan disahkan.” Mas Vino tersenyum. “Makasih, Pa, Ma.” Mama pun hanya tersenyum walau aku bisa menangkap raut sedih dari wajahnya. Pasti Mama akan merasa kesepian. Ah, memang harusnya punya anak enggak hanya satu, apalagi anak perempuan pasti akan dibawa suaminya suatu saat nanti. Untuk masalah pekerjaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, Jogja-Semarang bukanlah jarak yang terbilang jauh. Kami kembali ke kamar usai berbincang di ruang keluarga. Semenjak perdebatan di kamar hotel
Dadaku sudah panas sedari tadi, ditambah ucapannya yang menunjukkan betapa murahannya dia. Namun, aku masih bersikap tenang, tak ingin terpancing emosi. Usai mengucapkan kalimat menjijikkan itu, Nindi pergi menenteng tas branded-nya.Aku beristigfar lirih, menormalkan irama jantung yang berdetak cepat saat bayangan di lab semasa SMA terlintas kembali.“Mbak Kalila baik-baik saja?”Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Salma.“Maaf, Mbak, apa dia mantannya Pak Vino?”“Bukan, tapi dia perempuan yang sudah bikin aku sama Mas Vino salah paham sampai akhirnya kita terpisah cukup lama.”“Maksudnya ... Mbak Kalila sama Pak Vino dulunya memang pacaran?”Aku mengangguk.“Owalah, tertawan pesona mantan, Mbak? Baru tahu aku.”Aku tersenyum dan mencubit kecil punggung tangan Salma. Tidak banyak yang tahu masa laluku dan Mas Vino kecuali orang-orang terdekat saja. Dan Salma baru tahu hari ini. Aku menengok jam di pergelangan tangan. Sudah hampir Magrib.“Sal, bisa temani aku ke apartemenn