“Apa?” pekikku kaget. “Kamu yakin, Ma, itu Mas Alan? Tamu kali.”“Yakin banget, Bu. Siapa, sih, yang enggak kenal sama wajah gantengnya Pak Alan?”Anganku kembali terbang. “Bentar, itu kejadiannya kapan?”“Kayaknya waktu Pak Alan baru balik dari dinas itu, deh, Bu.”Apa jangan-jangan ... waktu malam itu dia pamit keluar, dia mabuk? Apa dia stres terlalu lama mengurus semua pembangunan resort baru kami? Aku menggeleng kuat-kuat. Itu sama sekali bukan kebiasaannya. Mas Alan salah satu lelaki yang aku kagumi karena akhlak dan kecerdasannya. Dia anti main wanita, apalagi minum alkohol.“Bentar! Kamu masih inget dia pakai baju warna apa? Takutnya kamu salah orang, Ma.”Salma tampak berpikir. “Kalau enggak salah, pakai kaus warna biru terus pakai jaket denim. Bawahannya celana jeans. Iya, itu. Saya masih inget banget, kok, Bu.”Benar. Itu warna kaus yang Mas Alan pakai saat berpamitan ingin keluar sebentar. Aku memang tidak tahu dia pulang jam berapa. Paginya pun, aku dan Mas Vino sarapan a
PoV VinoTak pernah terlintas dalam benak, bahwa semesta masih menjaganya untukku. Wanita pertama yang dulu pernah bergelar pacar saat kami masih berseragam putih abu-abu. Ternyata dia adalah putri dari teman ayahku.Di antara kami tak pernah ada kata putus. Dia hanya mundur dan memutus komunikasi sepihak lantaran kesalahpahaman yang belum sempat aku jelaskan. Ya, bagaimana mau menjelaskan, kalau bertemu saja sudah menghindar.Tidak ada momen yang pas hanya sekadar untuk menjelaskan yang sebenarnya. Selain karena dia yang cuek dan terkesan bodoh amat plus tak mau berurusan lagi denganku, ujian kelulusan sangat menyita waktu belajar. Juga persiapan pesta perpisahan kelas XII waktu itu membuatku benar-benar sibuk.Dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi nomor dua di sekolah favorit juga tak menggerakkan hati Kalila untuk mengucapkan selamat untukku. Sementara Nindi dan adik-adik kelas seangkatan begitu antusias bergantian memberi ucapan selamat, bahkan tak jarang memberiku hadiah hanya
Aku melongo, kemudian terkekeh. Sadar kalau dia sedang menggombaliku dengan sebuah pertanyaan absurd.“Kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea? Oke, aku kasih tahu yea,” jawabku dengan meniru video viral yang sering dilafalkan anak-anak zaman now.Gendis sendiri malah terkikik.“Ih, Kak Vino lucu, pengen nyulik, karungin, terus aku bawa ke KUA.”"Mau ngapain ke KUA?""Mau nebus buku couple yang ada gambar lambang garudanya.""Emang ada?" tanyaku. Kura-kura dalam periuk. Eh, perahu. "Ada, dong. Tapi nebusnya pakai mahar dibayar tunai," jawab Gendhis malu-malu.Aku hanya terkekeh dengan menggeleng-geleng. Di saat yang bersamaan, Nawang keluar membawa beberapa gelas minum. Wajahnya terlihat tidak enak dengan melirik Gendis.“Gak usah nyuri start, kamu itu enggak boleh ngelangkahin Kakak,” ucap Nawang sedikit pedas.“Dih, kenapa? Gendis, kan, emang punya cita-cita nikah muda.”“Iya, tapi enggak sama Mas Vino juga.”“Lah? Kenapa emang?”“Mas Vino udah ada yang punya,” jawab Nawang sok tahu.“
“Vin, kamu tahu resepsi pernikahan Wisnu dan istrinya di mana?” tanya Ayah.“Wisnu bilang di aula salah satu hotel milik Pak Nazeem, Yah,” jawabku.“Betul. Mungkin kamu bisa mulai pendekatan dan bertemu lagi sama Kalila pas nanti resepsinya si Wisnu. Kamu pasti ikut ke sana, kan?”Iyalah. Awas saja kalau aku enggak diajak. Aku bikin si Nawang sama Gendis beneran perang nanti. Wisnu adalah sosok kakak yang baik. Dia sangat menyayangi dan melindungi kedua adik perempuannya.“Nazeem bilang, akhir-akhir ini anaknya sibuk sekali dengan urusan hotel, ditambah ikut mempersiapkan acara resepsinya Wisnu dan Ratu, jadi agak sulit mengajaknya bertemu kalau enggak curi-curi waktu. Nazeem juga bilang, buat acara perjodohan ini jangan terkesan terlalu formal. Buat senatural mungkin, biar Kalila santai.”“Jadi, Pak Nazeem juga setuju dengan rencana kita, Yah?” tanyaku antusias.Ayah mengangguk mantap.“Enggak ada salahnya lebih mengakrabkan hubungan baik kami dengan menjodohkan kalian. Ayah juga uda
Sekitar pukul 10.00 pagi, acara ijab kabul akan dimulai. Wisnu tampak gagah dengan tuksedo hijau lumutnya. Berkali-kali kulihat dia mematut dirinya di depan cermin dengan sesekali mengatur napasnya. Aku terkekeh. “Sudah siap, Kapten?” tanyaku. “Vin, gini ya kalau mau ijab kabul? Jantung gue kayak lagi nabuh rebana tau nggak.” Bukannya menjawab, malah tanya balik. “Eh, Bokir, mana gue tahu? Lu ngeledek apa nyindir?” sungutku. Wajah Wisnu masih terlihat tegang. “Eh, Nu, lu kalau begini jauh dari kata tentara tau, nggak?” “Gerogi, Vin.” Aku menatap jam di pergelangan. “Udah setengah sepuluh. Mau turun sekarang apa entar habis Zuhur?” “Ya sekaranglah,” jawab Wisnu. “Udah siap?” “Bismillah, siap.” “Sekali lagi. Sudah siap, Kapten?” “Siap!” jawab Wisnu lebih tegas. “Nah, gitu dong. Oke, cuss.” Aku berdiri dan mengawal Wisnu untuk keluar kamar. Bersamaan dengan pintu terbuka, Om Warman dan salah satu kerabatnya menghampiri kami. Katanya sudah ditunggu. Penghulu sudah on the wa
Suara wanita yang memekik bercampur lafal istigfar mengantarkan tubuhku jatuh hingga ke lantai dasar. Sekujur tubuh terasa sangat sakit dan pusing hebat juga mulai terasa. Kurasakan tubuh serasa remuk. Tanpa perintah, suara mengaduh otomatis keluar dari mulut sebagai protes atas tubuh yang sudah berguling-guling terjun dari anak tangga. Ah, nikmat sekali derita malam ini."Ya ampun, Pak. Maaf, saya enggak sengaja,” ujar seseorang di dekatku dengan sedikit bergetar, mungkin dia takut.Ah, berarti dia tersangkanya. Hey, tunggu! Dia panggil aku apa? Bapak? Gila, sudah ganteng paripurna dengan setelan tuksedo begini dipanggil ‘bapak’. Dengan geram dan masih menahan sakit, aku bilang kalau diri ini bukan bapak-bapak. Lagi-lagi aku meringis menahan sakit usai memperingatkannya.Tidak berapa lama, terdengar derap langkah kaki menuruni anak tangga. Besar kemungkinan itu Om Nazeem dan istrinya yang pasti mendengar sedikit suara gaduh karena aku terjatuh tadi.“Kalila? Ada apa?”Hah? Kalila? J
Ayah dan Ibu yang baru datang dini hari tadi terlihat terkekeh bersama orang tua Kalila. Kami lupa, ternyata ada penonton non bayaran yang sedang menyaksikan perdebatan kami. Mereka berempat semakin gencar menggoda.Om Nazeem mendekati putrinya dan berbicara sesuatu. Dari pembicaraan yang kudengar, seminggu yang lalu Kalila berucap akan mencari suami minggu depan kalau tidak hujan. Aku terkikik dalam hati. Ah, ada-ada saja ikrar calon istriku ini.Akhirnya, Om Nazeem memutuskan bahwa kami akan menikah malam nanti. Semua persiapan mendadak sudah diurus oleh orang kepercayaannya.Aku seperti tengah mencapai puncak Midoriyama atas semua pengorbanan dan semangat pantang menyerah, sampai harus dipasangi gips di tangan dan kaki karena kegigihanku memperjuangkan cinta Kalila. Hahaha, bodoh amat mau dikata lebay juga.Tiba-tiba Kalila memasang tampang imut dengan puppy eyes-nya.“Kak Vino ... ini serius? Menikah hari ini?” tanyaku dengan suara lembut.Ya Allah, gemes banget ini makhluk. Aku
Rasa canggung mulai menyapa saat satu per satu anggota keluarga pamit undur diri hingga menyisakan aku dan Kalila saja. Ah, andai badan ini sehat wal afiat, pasti aku sudah mengajak Kalila salat sunnah pengantin untuk memulai malam pertama kami. Walau di rumah sakit, it’s ok. Wong ruangannya mirip hotel begini. Hanya saja ranjangnya bukan king size. Kalila berjalan seperti hendak menuju mini bar di sudut ruangan luas ini. Aku memanggilnya dan seketika langkahnya langsung berhenti. Ah, penurut juga dia. Aku tersenyum.“Iya, Kak?” jawabnya.Idih, dikira kita sedang di sekolah? Aku terkekeh. Dengan santai aku memberinya pilihan agar mengganti panggilan untuk suaminya ini. Panggil Mas atau Sayang. Dan dia memilih memanggilku ‘Mas’. Ya Allah, malu-malunya itu lho, enggak nahan.Kalila menawariku perlu dibuatkan minum apa tidak. Aku mengangguk dan meminta susu. Refleks kedua tangannya menutupi dadanya sendiri dengan posisi menyilang. Lah, dia kenapa?Tiba-tiba fantasi liarku merespons deng
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.