“Bikin celaka orang. Untung saya nggak mati kejedot batu!” semburnya tanpa menatap Seruni. Kedua tangannya sibuk mengibaskan jas, menghilangkan debu dan rumput kering yang menempel.
Menyadari posisinya yang bisa membuat otak laki-laki travelling, Seruni segera berdiri dan membungkuk. “Ma-maaf, Pak. Saya nggak sengaja. Saya dikejar orang.” Gadis berkulit cokelat terang itu kembali menengok ke belakang.
Bram mendengkus. Setelah memakai kembali jasnya, ia meneruskan langkahnya menuju tempat parkir. Masih ada satu agenda lagi yang harus segera diselesaikan.
Sepeninggal Bram, Seruni terdiam sesaat. Dengan keadaannya saat ini, tidak mungkin ia keluar hotel. Alih-alih selamat, bisa jadi ia malah jadi santapan macan kota. Dilihatnya punggung Bram dan mendadak matanya berbinar. Ia segera berlari dan mengikuti langkah lelaki itu.
Tepat ketika Bram menekan kunci otomatis, Seruni mendekati pintu. Tanpa permisi, ia membukanya dan masuk ke Honda Accord silver milik Bram.
“Lho, lho, apa-apaan ini? Main selonong saja!” Salah satu tangan Bram mencengkeram pintu sementara tubuhnya sedikit membungkuk sehingga ia bisa melihat wajah Seruni yang ketakutan.
“To-tolong saya, Pak. Izinkan saya ikut Bapak. Demi keselamatan saya.” Seruni memperlihatkan wajah sememelas mungkin. Ia memang belum tahu bagaiamana Bram. Namun, dari semua lelaki yang berpapasan dengannya malam itu, hanya Bram yang tidak menatapnya seperti kucing hendak mencuri ikan.
“Memangnya kamu siapa? Apa urusanmu di sini?” Bram menatap tajam Seruni sebelum kembali mengalihkan pandangan.
“Sa-saya Seruni, Pak. Saya mau dijual. Tolong saya, Pak.” Kali ini suara Seruni bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Hati Bram mulai luluh. “Bagaimana kalau ternyata kamulah yang jahat?”
Bram masih ingat kejadian beberapa waktu silam ketika ia dijebak salah satu pesaingnya dengan mengirim perempuan ke kamar tempatnya menginap. Beruntung, ia bisa mengusir wanita itu. Bisa jadi, kali ini pesaingnya mencoba memerangkapnya lagi.
“Saya berani sumpah, saya korban, Pak.” Seruni mengusap sudut mata. Malam itu ia benar-benar merasa tak lebih berharga dari sampah.
Bram menghela napas. Sepertinya gadis di depannya tidak berbohong.
“Apa ini, Pak?” Seruni menatap heran Bram yang mengulurkan jas padanya.
“Pakai saja.” Bram duduk di balik kemudi.
“Ba-baik, Pak.”
Sembari menyalakan mesin, Bram melirik Seruni sekilas. Setidaknya jantungnya aman sampai ia menemukan toko baju. Jas yang dipinjamkannya cukup bisa menutupi sebagian tubuh Seruni. Tak lama kemudian, ia melajukan mobil menuju pintu keluar.
Bram melajukan Honda Accord miliknya dengan kecepatan sedang. Selain menatap jalan, ia juga mencari-cari toko baju. Ia menarik napas lega ketika akhirnya menemukan sebuah distro.
“Turun!” titahnya setelah memarkir mobil.
“Ke-kenapa, Pak? Ini rumah Bapak?”
“Jangan banyak omong. Kalau tidak mau diturunkan di jalan, turuti saja perintah saya.”
“Ba-baik, Pak.” Seruni mengkerut. Ia membuka pintu kemudian mengikuti langkah Bram.
“Pilih baju yang kamu sukai.”
“Maksud Bapak?” Mata Seruni mengerjap, meminta penjelasan. “Saya tidak punya uang untuk bayar.” Ia berujar dengan lirih lalu pandangannya tertuju ke lantai.
Bram berdecak. “Siapa yang suruh bayar. Kamu cuma milih baju saja.” Lelaki berwajah persegi itu melihat arloji di tangan. “Cepet. Waktu saya tidak banyak.”
Tidak ingin Bram kehilangan kendali, Seruni menurut. Tanpa pertimbangan apa pun, ia menyambar kemeja dan celana longgar selutut. Setelah itu, ia pergi ke kamar ganti dan mengganti pakaiannya. Kemudian, ia melipat minidress. Seruni akan menyimpannya. Suatu hari, ia akan mengembalikan pada si tato kalajengking agar tidak ada utang yang ditanggung. Jika suatu hari tiba-tiba ajal menjemput, Seruni akan mati dengan tenang karena tidak punya tanggungan.
Setelah memastikan tidak ada yang salah dengan pakaiannya, Seruni keluar dari kamar ganti. Ia mundur selangkah setelah menyerahkan label baju yang dipilihnya dan jas milik Bram. Seruni nyaris berteriak ketika karyawan di balik meja kasir menyebut nominal yang harus dibayar.
Belum habis rasa terkejut di hati Seruni, Bram tiba-tiba meninggalkan kasir dan melangkah ke display topi di sudut distro. Ia mengambil topi hitam dan menyerahkan ke kasir. Setelah membayar, dalam diam, ia memberikannya pada Seruni.
Dengan mulut terbuka, Seruni menerima pemberian Bram. Sesaat ia termangu dan hanya melihat Bram melangkah menuju pintu.
“Kamu mau tetap di sini atau ikut saya?”
“Eh, anu ....” Seruni menggaruk kepala. Selama beberapa detik ia menimbang. Berhenti di tempat yang masih asing tanpa tahu tujuan akan sangat berbahaya. Bukan tidak mungkin si tato kalajengking sudah siuman dan mengejarnya.
“Oke kalau kamu mau berhenti di sini.” Bram membalikkan tubuh lalu membuka pintu kaca hingga terdengar denting lonceng.
“Eh, saya ikut, Pak. Saya masih harus bayar utang.” Seruni menunjuk baju lantas berjalan cepat ke arah Bram. Dengan kepala sedikit menunduk, ia mengikuti langkah Bram menuju mobil.
“Saya di belakang saja, Pak,” ujar Seruni ketika sudah berada di samping mobil.
“Saya bukan sopir kamu. Duduk saja di depan.” Bram menekan kunci otomatis. Dengan dagunya, ia memberi isyarat pada Seruni agar segera masuk.
“Maaf sudah merepotkan, Pak.” Seruni memberanikan diri bicara ketika mobil sudah berada di jalanan kota Yogyakarta. Ia menggigit bibir ketika Bram hanya meliriknya. “Saya akan bayar setelah punya uang. Saya tidak akan melupakan bantuan Bapak.”
“Kamu bisa diam, nggak?” Bram menatap kesal Seruni. Ia sedang tidak ingin diajak bicara. Gara-gara bidadari yang turun dari langit itu, ia terlambat. Satu hal yang hampir tidak pernah dilakukannya.
“Ba-baik, Pak.” Seruni mengganjur napas. Pandangannya tertuju pada hiruk-pikuk jalanan kota pelajar dan kerlip lampu dari toko-toko di tepi jalan. Kemudian, keping-keping masa lalunya satu per satu muncul di depan mata.
“Paklik minta maaf, tapi sekolahmu sampai di sini saja.” Suara adik Bapak yang selama ini menjadi pelindungnya setelah kematian kedua orangtuanya terngiang di telinga.
“Kenapa, Paklik? Saya bisa sekolah sambil kerja. Nanti saya bisa cari beasiswa.”
Seruni ingat, mendiang bapak dan ibunya meninggalkan rumah, sawah, dan emas. Meski tidak kaya sekali, tetapi keduanya memiliki cukup tabungan.
Lelaki berusia empat puluh lima tahun itu menggeleng. “Sebentar lagi kamu akan pindah ke rumah Om Doni.”
Seruni ternganga. Siapa pun tahu siapa laki-laki yang disebut pakliknya. “Ta-tapi, Paklik ....”
“Daripada Paklik kehilangan rumah ini, lebih baik Paklik turuti permintaannya untuk ngambil kamu jadi anak asuhnya.”
Tubuh Seruni lemas seketika. Ia tidak menyangka, keluarga satu-satunya yang ia percaya tega mengirimnya ke tempat laknat. Bahkan Bulik dan sepupunya pun bungkam. Tidak satu pun dari mereka yang membela. Belakangan Seruni tahu kalau Paklik kalah judi dan berutang sangat banyak pada Om Doni.
“Ayo, turun!”
Suara Bram menarik Seruni dari ingatan masa lalu. Tergeragap ia menoleh. “Kita di mana, Pak?” Seruni melihat sekeliling dari balik jendela. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika melihat bangunan megah tidak jauh dari tempat Bram menghentikan mobil. “I-ni ho-hotel, Pak?”
Dada Seruni kembali sesak. Kenapa ia harus kembali berada di hotel? Apakah lelaki di hadapannya hanya berpura-pura baik?
“Ayo, turun!” seru Bram sedikit kesal.Seruni mengusap wajah. Ia memutuskan mengikuti perintah Bram. Jika laki-laki itu akan berbuat macam-macam, ia akan melawan sampai titik darah penghabisan. Biarlah ia mati ketimbang hidup sebagai manusia hina. Bapak dan Ibu pasti akan menyambutnya di surga karena ia mati demi mempertahankan harga diri.“Hotel La Luna.” Seruni mengeja nama yang tertulis di dinding bangunan bergaya Eropa itu. Jadi nasibnya akan berakhir di sini. “Bapak, Ibu, tunggu aku,” batinnya sendu.Seruni menatap heran lelaki yang berjalan cepat di depannya ketika semua karyawan menyapa dan mengangguk hormat padanya. Hatinya diliputi tanda tanya. Sebenarnya, siapa manusia yang selalu tampak galak itu?Tubuh Seruni mendadak kaku ketika Bram berhenti di depan kamar di lantai empat.“Masuk!” Dengan dagunya, Bram memberi isyarat agar Seruni segera masuk ke kamar.“Bapak mau apa? Kalau hanya karena baju ini saya harus melayani Bapak, saya tidak sudi!”“Astaga!” Bram melirik Rolex di
“Permisi. Ada pesanan makan untuk Anda.”Pesanan makan? Belum sempat otak Seruni mencerna, tiba-tiba pintu didorong dari luar. Seruni mundur selangkah hingga pintu terbuka dan dilihatnya pegawai hotel berdiri di depan kamar dengan nampan di tangan.“Pesanan makanan untuk Anda, Mbak.” Pegawai itu tersenyum meski pandangannya menelisik. Wajah lusuh Seruni mengusik pikiran.Tatapan heran Seruni menyapu wajah pegawai hotel. “Saya tidak pernah pesan apa pun. Sepertinya Anda salah kamar.”Senyum belum tanggal dari bibir laki-laki muda itu. “Pak Bram yang memesan untuk Anda. Katanya Anda perlu makan malam.”“Makan malam?” Seruni bergumam. Ia bahkan tak merasa lapar. Lebih tepatnya, ia tidak ingat kalau belum makan sejak siang. Sebelum dibawa si tato kalajengking, Seruni hanya minum air putih. Nafsu makannya hilang setiap kali mengingat nasibnya. Kata makan malam yang diucapkan pegawai hotel mendadak membuat perutnya menyanyikan lagu rock.“Silakan, Mbak.” Petugas itu mengulurkan nampan. Wang
Kepala Seruni masih tertunduk. Ia mendongak ketika lift berhenti dan pintunya terbuka. Dibiarkannya Bram menarik tangannya.Raut muka Bram seketika berubah masam ketika melihat resepsionis dan satpam yang tersenyum penuh arti saat melihatnya. Setelah ini ia harus bersiap menghadapi gosip yang akan menyebar cepat di antara karyawan.“Berapa nomor telepon orangtuamu? Besok pagi saya telepon mereka.”“Orangtua saya sudah meninggal, Pak.” Seruni menjawab tanpa melihat Bram demi menyembunyikan embun di matanya.Kaki Bram yang akan menekan pedal gas tertahan. Ia menoleh dan menatap Seruni yang menunduk hingga wajahnya tertutup sebagian rambutnya. Lantas, tanpa menanggapi ucapan Seruni, ia melajukan mobil. Otaknya sudah tidak mampu bekerja. Biarlah Seruni tinggal semalam di rumahnya.Di samping Bram, Seruni duduk dengan tegang. Ia berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Bagaimanapun juga, ia harus tetap waspada.Kantuk yang menyerang tubuh Seruni seakan terangkat ketika mobil memasuki hal
“Saya tidak sengaja sampai Jogja, Nyonya.” Lantas, mengalirlah cerita dari bibir Seruni dari awal pelarian hingga terdampar bersama Bram di Hotel La Luna.Tatapan prihatin Kanaya menyapu wajah Seruni. “Aku pernah dengar tentang prostitusi online. Tapi baru kali ini ketemu orangnya.”“Sa-saya belum pernah melayani satu orang pun pria hidung belang.” Suara Seruni bergetar. Hatinya seperti dibanting ketika mendengar ucapan Kanaya.“Ehm, sorry. Bukan aku nuduh kamu.” Kanaya menghela napas. “Maksudku, baru kali ini aku ketemu korban pedagangan manusia seperti kamu.” Tangannya terulur lalu menggenggam jemari Seruni yang gemetar. “Sekarang, kamu mau ke mana? Katamu, tidak ada saudara di sini.”“Saya belum tahu, Nyonya. Tapi semalam Pak Bram bilang kalau ada pekerjaan buat saya. Apa Nyonya butuh pembantu? Saya bisa masak, beres-beres rumah, nyci, setrika, apa saja saya bisa.” Semangat di hati Seruni kembali timbul. Dengan mata berpendar, disebutnya semua pekerjaan rumah tangga seperti renteta
Pandangan Bram dan Seruni bertemu. Dada Seruni berdebar melihat bola mata Bram yang hitam legam menatapnya lebih tajam seperti menuntut jawaban segera. Otaknya berhenti bekerja sekian detik. Saat itu, ia baru sadar kalau Bram memiliki mata yang indah.“Gimana, bisa masak masakan Eropa?”Suara Bram menyentak kesadaran Seruni. Otaknya kembali bekerja normal dan mengirim jawaban. “Belum bisa, Pak.” Seruni memilih berkata jujur. Kata Ibu, jujur itu mujur. Meski ia pernah mendengar pamannya bilang, jujur tak selalu mujur karena kadang bisa ajur 1). “Tapi saya bisa belajar, Pak,” sambung Seruni ketika melihat setitik kecewa di mata Bram. “Saya yakin tidak sulit.”Mata Bram sedikit melebar mendengar ucapan Seruni. Sombong sekali, pikirnya.Seolah tahu isi kepala Bram, Seruni meneruskan ucapan. “Saya kira segala hal di dunia ini bisa dipelajari, Pak. Asalkan mau berusaha, pasti tidak sulit.” Gadis itu tersenyum penuh percaya diri. Diselipkannya helai-helai rambut ke balik telinga dan memandan
Bram menghela napas. Tangan kanannya memegang kemudi kuat-kuat sementara jemari kiri menggenggam ponsel. Urusan pegawai ada di tangannya, bukan Aditya. Laki-laki itu selalu ingin ikut campur di luar kewenangannya. “Nanti aku bicara pada Om Adit, Kai.” Suara Bram rendah dan berat. “Tapi seingatku, kemarin kita sudah sepakat kalau butuh tambahan asisten chef selama tiga bulan ke depan. Kamu sendiri yang mengajukan tambahan orang ke HRD karena bakal ada event dan ada asisten yang cuti.” Dada Seruni mendadak berdebar. Pembicaraan Bram seperti magnet yang membuatnya menoleh hingga matanya menangkap paras tampan Bram sedikit berkerut. Dari kalimat-kalimat Bram, Seruni tahu jika lelaki itu pasti sedang membicarakannya. “HRD sudah setuju dapur nambah tiga orang. Om Adit juga tahu itu.” Jejak rasa kesal terdengar jelas di balik ucapan Bram. “Soal Om Adit biar aku urus nanti. Dia tidak bisa seenaknya ngubah keputusan.” Seperti motor yang tiba-tiba berbelok tanpa menyalakan lampu sein, Bram m
“Nggak usah diterima.” Bram menjawab santai. Seruni melongo. Hatinya kebat-kebit. Sepertinya dia memang harus memeras otak mencari kemungkinan pekerjaan lain. “Oke.” Kai menjentikkan jari. “Aku pergi dulu.” Bram menepuk lengan lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa pun pada Seruni. Sesaat gadis itu mematung, mendadak ia merasa seperti anak ayam ditinggalkan induknya. “Ikut saya.” Ucapan Kai menyentak kesadaran Seruni. Segera diikutinya lelaki berperawakan sedang itu menuju ruangan kecil di belakang dapur. “Silakan duduk.” Kai memberi isyarat dengan dagu sementara tubuhnya bersandar di dinding dengan tangan bersedekap. Kepala Seruni tertunduk sesaat. Tatapan dari mata cokelat milik Kai membuat Seruni seperti kaki seribu disentuh manusia. “Mungkin Bram sudah memberitahu kalau ada tiga pos yang bisa kamu tempati.” Suara Kai agak kaku, tetapi terdengar jernih. Melibas rasa takut di hati, Seruni memberanikan diri mendongak hingga ia bertemu pandangan dengan Kai. Jemarinya salin
“Saya akan serahkan lamarannya besok, Bu.” Tidak hanya perutnya yang mulas, sekarang tubuh Seruni pun gemetar. Ya, Tuhan, bisakan dia tidak melihatku seperti itu? Seruni benar-benar merasa terpojok oleh tatapan Nina. Detik itu, ia berharap Bram datang. Nina pasti tidak akan semena-mena di depan Bram.“Jangan panggil saya “bu”. Saya belum setua itu,” ujar Nina ketus.“Ma-maaf, Bu. Eh, Mbak.”“Dengar, saya tidak tahu seberapa istimewa kamu di mata Mas Bram sampai tanpa lamaran diterima.”“Saya hanya pegawai rendahan. Cuma kang cuci piring.” Seruni memberanikan diri menyanggah. Perempuan di hadapannya makin menjadi dan keberanian di hati Seruni mulai terbit.“Semua pegawai di sini tidak boleh asal masuk. Apa pun posisinya. Kami profesional.” Nina menggerak-gerakkan bolpoin ke kiri dan kanan.“Tadi saya sudah ketemu Pak Kai dan dia mengizinkan saya bekerja.”Mengabaikan ucapan Seruni, Nina meraih gagang telepon. “Apa benar Seruni kamu terima di dapur?” ujarnya setelah menyapa Kai. “Kamu
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge