Dear, Readers, terima kasih sudah mampir. jangan lupa tinggalkan komen dan vote ya. biar saya semangat nulisnya. love you all :-)
“Atau, Mas Bram memang suruh dia cari kosan dan nggak balik ke rumah?” Pertanyaan Kanaya kembali bergema di telinga Bram. Sesat Bram terdiam. Ia berdiri kemudian mondar-mandir di depan musala. Angin berembus cukup kencang, meriapkan ujung rambut Bram dan mengirim aroma dedaunan dan tanah basah karena disiram drone penyiram sepanjang sore tadi. Di langit, sepotong bulan setengah penuh seolah sedang menatap bumi. Seingatnya, ia tidak mengatakan apa pun pada Seruni tadi pagi selain memintanya bekerja sebaik mungkin. Seharusnya Seruni kembali ke rumahnya. “Mas ..., Mas masih dengerin aku, kan?” “He em." Kebiasaan Kanaya, tidak sabaran, batin Bram. "Tadi Kai naruh dia di shift pagi. Harusnya sekarang sudah sampai rumah.” Jalan tercepat untuk sampai rumah hanya dengan ojek atau taksi online. Selain itu, Trans Jogja menjadi pilihan terakhir karena harus ganti tiga kali baru sampai halte terdekat dengan rumahnya. Bram berpikir jika Seruni mungkin memilih Trans Jogja karena lebih murah. As
Berita dari Kanaya membuat Bram diliputi kekhawatiran. Lalu, bayangan Seruni mengapung di depan mata. Ia dulu pernah gagal menyelamatkan istrinya. Jangan sampai ia gagal untuk kali kedua. Seumur hidupnya pasti akan dihantui penyesalan.“Kalau dari ciri-ciri yang disebutin Dewi, korban mirip banget dengan Seruni. Gimana kalau Mas Bram tengok ke Polres. Siapa tahu itu memang Seruni.”Hati Bram semakin was-was. Memang ada begitu banyak perempuan dengan ciri mirip Seruni, tetapi tidak ada salahnya ia mengecek ke Polres.“Kalau gitu aku ke kantor polisi dulu, Nay,” putus Bram. “Oh, ya, tadi aku janji bacain cerita ke Ran dan Rain. Tolong gantiin, ya. Bilang ke mereka aku masih ada kerjaan.”“Berees.”“Thanks, Nay.” Bram mengakhiri pembicaraan lalu menyimpan di saku. Segera, ia meninggalkan ruang kerja dan tergesa melewati koridor hingga derap langkahnya memenuhi lorong panjang yang sunyi itu.Ayunan kaki Bram melambat ketika melewati lobi. Ia melambaikan tangan dan mengembangkan senyum pad
Sempat keberatan karena teringat dengan janjinya pada Rain dan Ran, Bram akhirnya menyerah. Diturutinya permintaan Kanaya untuk mencari Seruni meski ia tidak yakin akan menemukan gadis itu. Ada puluhan indekos di sekitar La Luna dan Bram tidak mungkin menyambangi satu per satu. Jika hal itu sampai terjadi, bisa-bisa ia harus mengerjakannya sampai tengah malam. “Tenang, Mas. Rain dan Ran tidak rewel, kok. Mereka selalu jadi kucing manis di depan tantenya.” “Oke, deh. Nitip mereka. Bilang ke mereka kalau aku baru bisa bacain cerita besok malam.” “Berees.” Suara Kanaya terdengar ringan tanpa beban. Setelah menutup pembicaraan dan menyimpan ponsel, Bram segera menginjak pedal gas. Sel-sel kelabu di kepalanya sibuk menerka, di mana kira-kira Seruni berada. Namun, Bram tidak juga menemukan titik terang dan lelaki itu menyerah, membiarkan segala pikiran buruk tetap bercokol di kepala. Laju Honda Accord yang dikemudikan Bram berkurang ketika memasuki jalan menuju La Luna. Manik mata hitam
“Bodoh!” Si tato kalajengking berteriak kesal ketika kaki tangannya mengabarkan kalau Seruni sudah dibawa Bram. “Sorry, Bos. Masalahnya tiba-tiba bosnya dateng. Kalau saya langsung culik Seruni, malah berbahaya buat kita.” “Alesan! Bilang saja kamu nggak becus kerja!” Si tato kalajengking mendengkus. Dijatuhkannya tubuh ke atas sofa. Sembari bersandar, dipijitnya pelipis. Kenapa anak buahnya mendadak lemot dan letoy dalam bergerak? Hanya menangani Bram dan Seruni saja dia tidak bisa. “Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi kamu harus bisa bawa Seruni padaku!” Kepalan tangan si tato kalajengking mengenai meja kaca sehingga asbak dan botol di atasnya seperti melompat ketakutan. “Kalau kamu sampai gagal, jangan pernah datang padaku lagi! Mengerti?” Ibu jari si tato kalajengking menekan tombol di sisi kanan ponsel. Lalu, telunjuknya menyentuh panel power. Digenggamnya kuat-kuat ponsel sembari menggeretakkan gigi. Benar-benar menyebalkan! Bisa-bisanya dia kalah dari Seruni. Sejurus k
Jadi yang tertangkap Jack. Kupikir geng sebelah. Si tato kalajengking mengambil koran paling atas seraya berpikir keras. Dibacanya headline surat kabar paling berpengaruh di Yogyakarta itu lalu meletakkannya kembali di atas meja. Si tato kalajengking sama sekali tidak berminat membaca isinya. Untuk apa? Apa pun kata polisi tidak akan ada artinya karena bisnis ini memiliki backing orang berpengaruh. Semua aman. Semua akan baik-baik saja. “Tuan tinggal membayar uang jaminan dan Jack bisa lepas. Semua beres, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Si tato kalajengking menggosokkan kedua telapak tangannya dan menatap tuannya penuh percaya diri. “Kamu terlalu sering mabuk.” Tuan Besar mendengkus. Didekatinya si tato kalajengking hingga tubuh mereka hanya berjarak dua langkah. Perut pria berusia 45 tahun itu sedikit mual mencium aroma rokok dan bir dari mulut orang kepercayaannya. “Kamu terlalu banyak minum.” Telunjuk Tuan Besar menekan dada Gou. “Sampai-sampai otakmu tidak bisa beker
Bram mengambil alih pengasuh anaknya memapah Mbok Asih. Dibantunya perempuan sepuh itu duduk di mobil kemudian membangunkan Seruni.“Bangun, Nona. Jangan sampai kamu ngiler di mobil saya.” Bram membungkuk dan berseru di samping kepala Seruni.Mbok Asih terkekeh. “Gitu amat banguninnya, Mas.”“Iya, ih. Mas Bram nggak ada sopan-sopannya sama orang.” Kanaya menggeser tubuh Bram. “Biar aku bangunin.” Ditepuknya pipi Seruni beberapa kali.“Eh, oh, di mana saya?” Seruni tergeragap. Dikuceknya mata kemudian memandang ke sekeliling dan menemukan tubuh menjulang Bram berdiri di samping Kanaya yang membungkuk.“Kamu sudah sampai rumah., Seruni.”Rumah? Seruni memaksa saraf otaknya bekerja lebih keras. Ia menepuk jidat ketika melihat rumah besar Bram ada di depan mata. Barulah Seruni mengerti kalau dia sudah berada di tempat tinggal Bram.“Cepet keluar, Seruni. Saya tidak punya banyak waktu.” Bram berseru tak sabar.Seruni melongok hingga wajahnya tepat menghadap Bram. Kenapa dia selalu marah-ma
Pandangan Seruni terkunci pada layar ponsel, memastikan apa yang dilihatnya memang anggota komplotan si tato kalajengking. “Sa-saya pernah ketemu dia, Mbak.” Seruni berkata dengan suara bergetar. Mendadak tubuhnya gemetar. Wajah lelaki itu masih tersimpan di kepala Seruni. Begitu juga saat ia mabuk dan hampir menubruk dan mencium Seruni. Kenangan pahit, tetapi enggan pergi dari ingatan. “Makasih Seruni. Maaf aku sudah membuatmu tidak nyaman,” ujar Kanaya penuh sesal. “Habiskan tehmu dan istirahatlah.” Kanaya tersenyum iba. Seruni bisa menjadi saksi dan salah satu kunci untuk membongkar sindikat prostitusi terbesar di Yogyakarta, tetapi Kanaya tidak boleh memaksanya. Ia harus berhati-hati dan pelan-pelan mengorek keterangan gadis itu. Seruni mengosongkan cangkir. Rasa teh yang sudah dingin itu semakin aneh, sangat berbeda dengan teh buatan almarhum Ibu atau Bibi. Dua perempuan itu selalu bisa menghasilkan seduhan teh dengan rasa dan aroma yang pas. Satu hal yang belum bisa diwarisi Se
“Ceroboh!” Bram berdecak. Ditatapnya Seruni sekilas lalu mendekati kotak obat.. Kotak bercat putih dengan tanda tambah merah di kedua pintunya itu menggantung di dinding sebelah kiri. Lirikan kesal Seruni bertemu dengan raut muka acuh Bram. Diabaikannya cemoohan lelaki itu. Ia berjongkok kemudian mengusap dan meniup punggung kaki yang terkena bagian atas pisau. Beruntung, kakinya terkena sisi tumpul pisau, bukan sisi tajam sehingga hanya mengakibatkan nyeri. “Kasih ini.” Bram mengulurkan sebuah botol dengan berisi cairan cokelat. Minyak zaitun. Seruni membaca tulisan yang tertempel di bagian depan botol. Ujung alis Seruni sedikit berkerut. Seingatnya, harga minyak zaitun cukup mahal dan biasa digunakan untuk campuran salad atau menumis bumbu. Kenapa bisa di keluarga Bram minyak ini ada di kotak obat? “Dioleskan saja sedikit, biar tidak terlalu nyeri,” lanjut Bram dengan mata tertuju ke kaki Seruni. Nada bicaranya tidak lagi ketus. “Terima kasih, Pak.” Tanpa melihat wajah Bram,
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge