Sore harinya, dia benar-benar dimandikan dengan cara yang sangat spesial. Sabun beraroma mawar pekat itu ditambahkan dalam jumlah dua kali lipat dan dia berendam lebih lama dari tadi pagi. Parfumnya lebih menyengat dan pakaiannya lebih terbuka.
"Tunggu, Vera."
Vera, salah satu pelayannya. menghentikan gerakan memasangkan anting yang mencolok di telinganya.
"Untuk apa semua ini?"
Ini terlalu berlebihan dan sama sekali bukan dirinya.
"Tuan Besar yang meminta untuk mempersiapkan, Nyonya."
"Tapi kenapa harus begini?"
"Tuan Besar suka yang seperti ini, Nyonya."
Juni menatap pelayannya itu dengan tajam. "Aku bukan pelacur. Tidak perlu sampai seperti ini."
"Mohon maafkan kami, Nyonya. Tuan Besar sudah memerintahkan. Kalau kami berbuat kesalahan, beliau akan menghukum kami semua."
"Kalian semua dihukum?"
Vera mengangguk ragu. "Benar, Nyonya."
"Soal yang tadi pagi juga?"
Vera baru akan membuka mulut hendak menjawab kembali ketika suara Lenna menginterupsi dari pintu.
"Anda sudah selesai, Nyonya?"
Juni menoleh sekilas lalu kembali menghunjam Vera dengan tatapan menuntut, tapi pelayan itu menunduk dengan ekspresi takut.
"Jawab aku, Vera. Kalian juga dihukum soal tadi pagi?"
"Nyonya, kalau Anda sudah selesai, saya akan mengantar Anda ke kamar Tuan Besar."
Pandangan menuntut Juni beralih pada Lenna. "Apa mereka juga dihukum soal tadi pagi?"
"Saya sudah bilang, Anda tidak perlu mengkhawatirkan hal sepele seperti itu."
"Bagaimana bisa kamu menyebutnya sepele? Cuma karena aku menyatakan ketidaksetujuanku, dia langsung menghukum kalian. Manusia gila macam apa dia?"
"Oh ya? Manusia gila?"
Suara berat dan dingin itu membuat Juni terkesiap. Ia memandang sosok di belakang Lenna. Seolah ada aura penguasa kutub Utara yang menyelimuti dirinya.
"Kau sebut aku manusia gila?" desisnya.
Lenna menyingkir dan membuat Juni berhadapan langsung dengan Saga. Lelaki itu mendekatinya dengan seringai mengerikan di bibir tipisnya yang dingin.
"Kenapa kau begitu berani berkata seperti itu, hm?"
Juni tidak menjawab, pandangannya terfokus penuh pada bola mata cokelat yang berkilat murka itu.
"Apa kau sudah merasa aman di rumah ini? Apa menurutmu aku akan berlaku baik padamu?" Ia mengangkat dagu Juni dengan kasar. "HAHH?!!" Kemudian berteriak keras di depan wajah Juni.
Juni memejamkan mata rapat-rapat karena dia luar biasa terkejut, hampir-hampir ia terjengkal jatuh jika Saga tidak menahan dagunya.
"Jangan mengusik ketenanganku, Juni Aulia. Jangan pernah membayangkan apa yang bisa kulakukan padamu."
Juni menarik napas dan mengatur ekspresinya. "Aku bukan budakmu, Tuan. Jangan pernah mendikteku sesukamu."
"Oh, jadi level kurang ajarmu semakin bertambah sekarang ya ...."
Juni mengerutkan kening dan saat itulah ia melihat kilat marah di mata Saga berubah menjadi berapi-api.
"Jangan mengerutkan kening di hadapanku!"
Juni mengatur kerutan keningnya dan merubah ekspresinya menjadi datar.
Saga beralih ke Lenna. "Sudah kubilang kan, Lenna. Ajari dia. Apa yang kau lakukan seharian ini?"
"Maafkan saya, Tuan."
"Lenna dan para pelayan itu tidak bersalah. Kau tidak berhak menghukum mereka."
Saga tertawa sinis. "Oh ya? Kenapa aku tidak berhak menghukum mereka? Rumah ini adalah istanaku."
Rahangnya semakin mengeras. Kulit lehernya yang pucat memerah. "Kalau bukan mereka yang dihukum, lalu siapa? Kau?" Juni melihat seringai mengerikan di bibir tipis lelaki itu.
"Aku tidak pernah melakukan kesalahan."
"Tampaknya kau harus diberi pelajaran dulu supaya mengakui kesalahanmu."
Tahu-tahu Saga menarik tangan Juni dan menyeretnya keluar kamar.
"Apa-apaan ini! Lepaskan aku!"
Juni memberontak dan berusaha menghempaskan tangan lelaki itu tapi hasilnya nihil. Saga masih terus menyeret hingga langkahnya terseok-seok.
"Lepaskan aku!"
Juni terus meronta. Langkahnya bahkan tersandung-sandung tapi pria itu tidak peduli. Cengkeramannya begitu kuat. Diam-diam Juni meringis sebab pergelangan tangannya sangat perih.
Lelaki itu berhenti di depan pintu kayu yang besar. Dia buka pintu itu dan Juni langsung dihempaskan dengan kasar hingga tubuhnya terpelanting ke lantai. Ia merasakan sekelilingnya berputar. Hampir saja ia muntah, kepalanya sangat pening.
Di depannya, Saga berdiri tegak bagaikan dewa kegelapan. Kamar yang remang-remang semakin menonjolkan bayangan hitam dari tubuhnya. Ia berkacak pinggang dengan sombong.
"Sadari posisimu."
Juni meringis pelan merasakan bokongnya yang perih karena mencium lantai. Ia menengadah dan membalas tatapan Saga dengan berani.
"Kau tidak perlu melakukan ini padaku!"
Ia belum bangkit dari posisi jatuhnya ketika Saga menarik lengannya dengan kasar dan lagi-lagi menyeret tanpa kenal ampun. Juni bahkan sudah tidak tahu lagi apakah pergelangan kakinya yang begitu perih diakibatkan keseleo selama lelaki itu menyeretnya.
Juni meringis sejadi-jadinya saat tubuhnya dilemparkan dengan beringas ke tempat tidur. Punggungnya memanas dan telinganya berdenging.
Belum sempat ia mengambil ancang-ancang untuk bangun, Saga sudah menindih dan mendaratkan bibirnya di mana saja, di leher dan sekitar dada Juni.
Juni meronta, menggeliat dan mendorong tubuh Saga yang seperti batu di atasnya. Berat dan keras. Lelaki itu sama sekali tak bergerak, seberapa keras pun Juni berusaha menyingkirkannya.
Bibir tipis dinginnya mengisap dengan brutal dan mencumbu kulitnya tanpa ampun. Sekali pun Juni merintih di bawahnya, ia tidak peduli.
"Lepas!"
Alih-alih dilepaskan, sekarang rahangnya dicengkeram kuat hingga membuat ia diam dan tak bisa lagi memberontak lewat mulut.
"Diam! Jangan berlagak suci di depanku!"
Rahang tajamnya mengetat. Samar-samar, Juni melihat pupil lelaki itu melebar. Kala ia tengah memikirkan cara untuk lepas dari kungkungan tubuh Saga, lelaki itu mendaratkan bibir di sudut bibirnya. Mata Juni melotot, ia segera berpaling hingga ciuman Saga berakhir di telinganya.
Juni bisa mendengar gertakan gigi lelaki itu. Lagi dan lagi ia terperanjat ketika Saga memukul ranjang tepat di samping kepalanya. Wajah, telinga, hingga leher pria itu memerah seperti bara api.
"Aku tidak suka ada wanita yang melawanku di atas ranjang!"
Juni bergeming. Detak jantungnya berlomba dan darahnya berdesir panas.
"Palingkan wajahmu."
Juni mengabaikan.
"Buka pakaianmu."
Juni memejamkan mata rapat-rapat.
"Buka kakimu."
Juni membuka mata dan menghunus Saga dengan sangat tajam. Dia tidak akan pernah menerima dirinya dilecehkan seperti binatang.
"Aku tidak mau!"
"Jangan berani-beraninya kamu melawanku, Juni."
"Lepaskan aku!"
"LAHENDRA!!"
Juni membeku ketika lelaki itu berteriak murka di depan wajahnya. Seluruh tubuhnya seperti dialiri aliran listrik berkekuatan tinggi.
"Jangan main-main denganku."
Juni menggigit bibir dalamnya kuat-kuat saat Saga kembali melancarkan bibir di lehernya. Isapannya terasa sangat perih, kepala Juni pening dan ia merasa akan kehilangan kesadaran sebentar lagi.
Juni terkesiap saat tangan Saga menyingkap bathrobe dan menjelajahi pahanya. Ia meronta hingga tak sengaja menendang perut Saga.
Lelaki itu menghentikan aksinya. Ia menatap Juni dengan sorot mata kaget. Mungkin terkejut sebab baru pertama kali ditendang oleh seorang wanita.
Detik berikutnya, kedua paha Juni yang terekspos ditarik dengan kasar. Ia memekik kesakitan.
"Kau harus tahu, kau tidak ada bedanya dengan perempuan yang aku tiduri setiap malam. Jadi tidak usah sok jual mahal dan buka pakaianmu sekarang juga."
Saga menggeram murka. "Buka kakimu selebar mungkin, Juni Aulia."
Pada bathrobe maroon-nya yang tersingkap di mana-mana. Pada embusan napas hangat Saga di kulitnya. Pada sentuhan telapak tangan Saga yang kasar. Juni menggigit bibir kuat-kuat dengan harapan bisa meredam jeritan kesakitannya.Seluruh sendi tubuhnya seolah tercabik-cabik. Ia tidak pernah mengalami pelecehan brutal seperti ini.Jangan menangis, kumohon ... jangan menangis, pintanya pada diri sendiri.Tangan lelaki yang bernapas tak teratur itu membuka tali bathrobe-nya dengan kasar. Juni kembali memberontak sekuat tenaga, mencakar dan memukul-mukul wajah Saga."Sial! Kenapa kau tidak mau menurut!""Aku bukan pelacurmu!"Saga memamerkan seringai sinisnya. "Lalu kau datang ke sini untuk apa? Kau datang ke rumahku untuk apa, hah?!""Aku tidak akan pernah menuruti sikap kasarmu ini. Sampai mati aku tidak akan pernah memberikannya kecuali kau meminta dengan sopan!""Meminta?"Saga menegakkan badan dan tertawa dengan kilat
Saga menatap lurus wanita berstatus istrinya itu. Ia mendengus kala Juni Aulia, si pembangkang jahanam mencoba berdiri dengan kakinya yang lemah.Selama hidupnya, baru kali ini dia berhadapan dengan perempuan yang sangat berani melawannya. Ia menyeringai puas. Ini benar-benar menyebalkan sekaligus sangat menantang.Saat wanita itu sudah berhasil bangkit dari posisinya, ia mendekat dengan langkah pasti namun pelan, seperti raja singa yang tengah mendekati mangsanya.Sesampainya di hadapan wanita berjubah mandi maroon itu, ia mengangkat dagu pongah dan menyipitkan mata dengan arogan, menegaskan bahwa dialah pusat dominasi di istana megah ini.Dari wajah wanita itu, dilihatnya kesakitan yang dibungkus dalam ekspresi datar yang dingin. Gemetar di tangannya disamarkan dengan cara mengepalkan tangan dan ada air mata yang mati-matian disembunyikan dengan sorot mata yang tajam menghunusnya."Dia selalu memohon padaku sejak lama, tapi kau yang melawan ini .
"HOEK! HOEEK!"Juni memuntahkan seluruh isi perutnya setelah sesi makan malam secara paksa beberapa menit yang lalu. Matanya berair dan ia kembali menundukkan kepala di wastafel."Nyonya, Anda tidak apa-apa?" Suara lembut Sarah dan pijatan di tengkuknya terasa lebih baik.Ia mencuci bekas muntahan di wajahnya kemudian menerima handuk basah dari Sarah."Terima kasih, Sara.""Nyonya sakit? Perlu saya ambilkan obat?""Tidak usah. Aku akan segera membaik."Juni menyeka wajahnya dengan handuk basah. Demi Tuhan, badannya terasa sangat tidak enak. Ia meringis merasakan kaki dan tangannya belum juga berhenti gemetar sejak ia keluar dari kamar Saga hingga lelaki itu memaksanya bangun untuk makan malam."Nyonya baik-baik saja?" Sarah terlihat benar-benar khawatir."Iya, aku baik-baik saja.""Nyonya mau saya buatkan teh hangat?""Tidak, aku mau tidur. Oh ya, Sarah ....""Iya, Nyonya?""Pelayan bernama Ro
Juni terus menyaksikannya. Menonton sesi percintaan lelaki itu dengan wanita yang berbeda setiap malam. Mendengar erangan dan desahan yang sama dari perempuan yang beraneka ragam. Ia terus dipaksa merekam perbuatan tidak senonoh itu dalam kepalanya.Gilanya, setelah melakukan hal bejat itu, Saga akan mengajaknya makan malam dengan santai—yang mana tidak pernah bisa Juni nikmati karena perutnya selalu mual dan ingin muntah. Ia jijik sejijik-jijiknya.Malam ini adalah malam keenam setelah Saga mengurungnya di kamar mandi. Ia harus mempersiapkan perutnya agar tak terguncang lagi.Setelah Sarah memakaikan jubah tidur berwarna hitam, ia segera keluar bersama Lenna."Anda tidak apa-apa, Nyonya?" tanya Lenna saat melihat langkah Juni yang sempoyongan."Aku tidak apa-apa, Lenna. Hanya ... mual."Membayangkan dirinya akan kembali dihadapkan pada pemandangan yang sama, suara menjijikkan yang sama dan malam-malam yang sama. Rasanya dia ingin memu
"Sarah? Kenapa kau memakaikan gaun padaku?"Juni menatap pantulan dirinya di cermin besar. Tubuh kurusnya yang tinggi terbalut gaun putih yang menampakkan seluruh bahunya dan menjuntai sampai ke betis. Menonjolkan tulang selangkanya yang indah."Tuan Besar mengadakan makan malam bersama keluarga Nyonya. Anda belum diberitahu?""Keluargaku?" Alis Juni menyatu."Benar, Nyonya.""Tapi, kenapa?""Tuan sudah mengundang keluarga Nyonya untuk makan malam, mungkin Tuan Besar lupa memberitahu karena semalam Nyonya demam parah."Kemarin malam dia memang demam. Tadi pagi saat dia terbangun, Saga sudah tidak ada di kamarnya. Kata Lenna dia sudah berangkat kerja. Demamnya sudah mereda. Karena terbiasa hidup sulit selama tujuh tahun, membuat tubuh Juni kebal dan cepat pulih dari sakit. Dia juga tidak terbiasa memanjakan tubuhnya walau sakit sekalipun.Juni mengernyit dan menunduk mengamati gaun putihnya yang terbuka di bagian b
Saga memuji aktingnya. Pada langkah anggun dan postur tegaknya yang elegan. Gaun sabrina putih yang menjuntai hingga ke betis semakin menambah kharisma wanita itu dan membuat siapa pun tidak ingin mengusiknya, kecuali mungkin dirinya."Sudah bicaranya, Sayang?" Ia mengamit pinggang Juni yang baru datang bersama Maria."Ya." Ah, lirikan mata bosan itu membuat Saga benar-benar tertarik.Ini malam yang sangat seru.Ia mengajak wanita itu duduk di sampingnya tanpa melepaskan rangkulan tangannya."Bagaimana menurut Anda, Tuan Lahendra? Ini proyek yang sangat besar. Aku berharap Anda menyetujuinya dengan cepat.""Aku akan memikirkannya dengan cepat." Sandi Lahendra alias ayah mertuanya melirik Juni sekilas.Bah. Keluarga ini palsu. Tak ada keharmonisan sama sekali.Lihatlah istri kedua Sandi Lahendra yang sibuk mengedarkan pandangan liar pada seisi rumahnya kemudian berbisik-bisik pada anak perempuannya. Sedangkan kedua p
Lenna menyusuri koridor remang itu dengan langkah anggun yang tegas. Rambut sebahunya bergerak-gerak seiring dengan langkahnya yang melambat ketika mendengar suara-suara aneh.Ia memasang telinga baik-baik dan memajukan langkahnya dengan hati-hati."Akh! Hmphh—"Lenna menyatukan alis mendengar desahan dan rintihan itu. Terkesiap ketika matanya menangkap sang tuan besar yang sedang menindih seorang perempuan di atas sofa.Ia memutar tubuh dan ingin enyah sesegera mungkin, tapi seorang pelayan tiba-tiba muncul dan membuatnya kaget.Lenna mengurut dada. "Apa yang kau lakukan? Kau membuatku kaget.""Aku sudah lumayan lama berjalan dari sana, Kepala Lenna." Pelayan berkuncir itu menunjuk koridor."Tunggu, Rita. Kau mau ke mana?" tahannya ketika melihat Rita hendak maju."Aku ingin membersihkan ruang tengah. Pertemuannya sudah selesai, kan? Bukannya keluarga Nyonya sudah pulang?""Ya, nanti saja kau bersihkan."Ri
Saga membuka kancing-kancing kemejanya dengan kasar.Sial! Ini sangat panas.Jantungnya berdebar kencang dan sesuatu di bawah sana masih mengeras dengan sempurna."Lenna!"Lenna masuk kamar dengan cepat dan menghampirinya."Bawakan wanita untukku."Ada jeda sekian detik sebelum Lenna menjawab seperti biasanya."Baik, Tuan Besar." Kemudian mundur teratur dan menghilang dari pandangannya.Perpaduan antara amarah yang menggelegak dan gairah yang memberontak. Benar-benar kombinasi yang akan membuatnya membunuh seseorang malam ini.Beberapa menit kemudian, Lenna datang dengan seorang wanita bertubuh tinggi dan sintal, tipe wanita yang disukainya."Kemari."Seperti biasa, wanita itu akan dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Menggoda dan memohon di bawah kuasanya.Tapi Juni Lahendra sialan itu sama sekali bukan tipe yang seperti ini, yang akan membuka pakaiannya dengan gerakan sensual dan membisik
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤠Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari