"Sarah? Kenapa kau memakaikan gaun padaku?"
Juni menatap pantulan dirinya di cermin besar. Tubuh kurusnya yang tinggi terbalut gaun putih yang menampakkan seluruh bahunya dan menjuntai sampai ke betis. Menonjolkan tulang selangkanya yang indah.
"Tuan Besar mengadakan makan malam bersama keluarga Nyonya. Anda belum diberitahu?"
"Keluargaku?" Alis Juni menyatu.
"Benar, Nyonya."
"Tapi, kenapa?"
"Tuan sudah mengundang keluarga Nyonya untuk makan malam, mungkin Tuan Besar lupa memberitahu karena semalam Nyonya demam parah."
Kemarin malam dia memang demam. Tadi pagi saat dia terbangun, Saga sudah tidak ada di kamarnya. Kata Lenna dia sudah berangkat kerja. Demamnya sudah mereda. Karena terbiasa hidup sulit selama tujuh tahun, membuat tubuh Juni kebal dan cepat pulih dari sakit. Dia juga tidak terbiasa memanjakan tubuhnya walau sakit sekalipun.
Juni mengernyit dan menunduk mengamati gaun putihnya yang terbuka di bagian b
Saga memuji aktingnya. Pada langkah anggun dan postur tegaknya yang elegan. Gaun sabrina putih yang menjuntai hingga ke betis semakin menambah kharisma wanita itu dan membuat siapa pun tidak ingin mengusiknya, kecuali mungkin dirinya."Sudah bicaranya, Sayang?" Ia mengamit pinggang Juni yang baru datang bersama Maria."Ya." Ah, lirikan mata bosan itu membuat Saga benar-benar tertarik.Ini malam yang sangat seru.Ia mengajak wanita itu duduk di sampingnya tanpa melepaskan rangkulan tangannya."Bagaimana menurut Anda, Tuan Lahendra? Ini proyek yang sangat besar. Aku berharap Anda menyetujuinya dengan cepat.""Aku akan memikirkannya dengan cepat." Sandi Lahendra alias ayah mertuanya melirik Juni sekilas.Bah. Keluarga ini palsu. Tak ada keharmonisan sama sekali.Lihatlah istri kedua Sandi Lahendra yang sibuk mengedarkan pandangan liar pada seisi rumahnya kemudian berbisik-bisik pada anak perempuannya. Sedangkan kedua p
Lenna menyusuri koridor remang itu dengan langkah anggun yang tegas. Rambut sebahunya bergerak-gerak seiring dengan langkahnya yang melambat ketika mendengar suara-suara aneh.Ia memasang telinga baik-baik dan memajukan langkahnya dengan hati-hati."Akh! Hmphh—"Lenna menyatukan alis mendengar desahan dan rintihan itu. Terkesiap ketika matanya menangkap sang tuan besar yang sedang menindih seorang perempuan di atas sofa.Ia memutar tubuh dan ingin enyah sesegera mungkin, tapi seorang pelayan tiba-tiba muncul dan membuatnya kaget.Lenna mengurut dada. "Apa yang kau lakukan? Kau membuatku kaget.""Aku sudah lumayan lama berjalan dari sana, Kepala Lenna." Pelayan berkuncir itu menunjuk koridor."Tunggu, Rita. Kau mau ke mana?" tahannya ketika melihat Rita hendak maju."Aku ingin membersihkan ruang tengah. Pertemuannya sudah selesai, kan? Bukannya keluarga Nyonya sudah pulang?""Ya, nanti saja kau bersihkan."Ri
Saga membuka kancing-kancing kemejanya dengan kasar.Sial! Ini sangat panas.Jantungnya berdebar kencang dan sesuatu di bawah sana masih mengeras dengan sempurna."Lenna!"Lenna masuk kamar dengan cepat dan menghampirinya."Bawakan wanita untukku."Ada jeda sekian detik sebelum Lenna menjawab seperti biasanya."Baik, Tuan Besar." Kemudian mundur teratur dan menghilang dari pandangannya.Perpaduan antara amarah yang menggelegak dan gairah yang memberontak. Benar-benar kombinasi yang akan membuatnya membunuh seseorang malam ini.Beberapa menit kemudian, Lenna datang dengan seorang wanita bertubuh tinggi dan sintal, tipe wanita yang disukainya."Kemari."Seperti biasa, wanita itu akan dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Menggoda dan memohon di bawah kuasanya.Tapi Juni Lahendra sialan itu sama sekali bukan tipe yang seperti ini, yang akan membuka pakaiannya dengan gerakan sensual dan membisik
"Nyonya, Tuan Besar menunggu Anda di ruang makan." Juni mengangkat wajah dari buku yang tengah dibacanya dan menatap Sarah yang berdiri di depan ranjang. Ia sedang duduk di tempat tidur sembari meluruskan kaki dan bersandar pada kepala ranjang. "Aku sedang tidak ingin sarapan." "Tapi Tuan menyuruh saya untuk memanggil Anda." Juni menghela napas kemudian menutup bukunya. "Katakan aku sedang tidak enak badan." "Maafkan saya, Nyonya. Saya takut Tuan Besar datang dan memaksa Nyonya lagi." "Jangan khawatir. Aku akan menurut kalau dia memaksa." "Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud ikut campur. Sudah tujuh tahun saya bekerja di rumah ini dan baru kali saya melayani seorang nyonya besar. Saya sangat senang. Saya tidak ingin melihat Nyonya terus menangis." Juni menatap mata Sarah yang memerah. Perempuan yang tiga tahun lebih muda darinya itu menunduk. Juni terhenyak. "Terima kasih atas kasih sayangmu, Sarah."
'Jangan permalukan dirimu di pesta nanti. Buat semua orang kagum dan tunduk padamu.'Juni membaca pesan dari Maria sembari meringis. Keluarga Lehendra pasti juga diundang ke pesta besok. Dia tidak habis pikir untuk apa dirinya melakukan hal seperti itu. Toh tidak ada untungnya juga.Semua orang sudah tahu soal Atlanta dan Lahendra. Dia tidak perlu lagi bersusah payah membuat semua orang kagum padanya. Sudah pasti mereka akan iri dan ingin berada di posisinya.'Semua orang ingin berada di posisiku dan aku hanya ingin melarikan diri dari sini' batinnya sembari mendengus bosan.Dia sangat bersyukur jika ada orang yang ingin bertukar tempat dengannya. Juni akan berterima kasih setulus hati."Nyonya, Anda pilih gaun yang mana?" tanya Vera sembari memperlihatkan gaun-gaun indah dan mewah di hadapannya.Di depan Juni, berdiri deretan manekin yang berpose dan mempertontonkan gaun-gaun indah dan menawan.Semuanya tampak elegan. Tak
Juni keluar dari mobil dan langsung berhadapan dengan karpet merah yang dikelilingi hiasan bunga mewah dengan pot dan guci-guci yang mengkilap.Para wartawan berkerumun dengan kamera siap siaga dan mikrofon yang mereka ulurkan kepada para tamu kelas kakap yang datang."Itu Saga Atlanta!""Atlanta sudah datang!""Kupikir ini cuma rumor, ternyata dia benar-benar datang.""Dia bersama seorang wanita, apa itu istrinya?"Saat pesta pernikahannya bersama Saga, lelaki itu memang tidak mengundang para wartawan. Hanya para kolega dan keluarga terkemuka yang datang. Pestanya pun tak seheboh dan seramai ini. Orang-orang cuma mengetahui namanya—Juni Lahendra—sebagai istri Saga, tidak dengan wajahnya.Saga mengamit pinggang Juni dengan posesif, membuat wanita itu terksiap sejenak sebelum mengatur kembali ekspresinya, berusaha seanggun mungkin. Melangkah dengan percaya diri diiringi senyum tipis dan langkah kaki yang elegan.
Saat umurnya berada pada fase remaja hingga menginjak dewasa, Juni terkenal sebagai putri sulung Lahendra yang sangat potensial untuk mewarisi seluruh kerajaan bisnis Lahendra.Tapi sejak ia memutuskan menikah dengan Rafael dan meninggalkan semua kemewahan itu, dirinya mulai menjadi santapan bibir orang-orang hingga akhirnya dilupakan sepenuhnya.Orang-orang hanya mengingat tiga anak dari Sandi Lahendra. Satu putri dan dua putra. Hanya itu.Hari ini dia datang kembali, sebagai pewaris utama Lahendra sekaligus istri dari Atlanta.Dua keluarga yang disegani di dunia bisnis. Keluarga termasyhur dan memiliki reputasi baik dan buruk masing-masing.Juni Aulia menggenggam kedua keluarga itu setelah kembali dari pernikahan bodoh dan kehidupan melaratnya."Wah ... kau lihat? Tak ada satu pun yang kurang dari wajah maupun tubuhnya untuk menyandang status penting dari dua keluarga itu.""Aku masih ingat terakhir kali aku melihatnya,
"Aku tidak bisa menyentuhnya sedikit pun karena ada Maria yang selalu melindunginya, bahkan ketika dia tidak berada di rumah Lahendra. Sekarang dia ada dalam genggaman Atlanta. Situasinya jadi semakin sulit."Leticia menghentakkan kaki di lantai rooftop sembari memandang kesal pada bangunan-bangunan tinggi yang menjulang di hadapannya."Ini semua karenamu, Jeni. Kalau kau bersedia menikah dengan Atlanta sebagai pengganti Juni, maka kau yang akan menjadi pewaris Lahendra. Semuanya akan jatuh ke tangan kita."Jeni yang berdiri di sampingnya melirik Leticia sengit. "Ibu menyuruhku menikah dengan serigala kutub itu? Dia memang sangat tampan dan amat kaya, tapi dia adalah pemangsa wanita. Dia sangat berbahaya. Ibu mau aku mati sebagai budak seks-nya?"Leticia mendecak. "Makanya kau harus pintar mengambil hatinya dan menjinakkannya."Jeni mengangkat dagu, mengangkuhkan diri pada bangunan-bangunan tinggi di hadapannya. "Bukannya ini kesempatan bagus
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari