Saga mengerang dan merintih kesakitan. Rasa panas menjalar di dadanya hingga ke seluruh pembuluh darahnya.
Sekarang ia berada di kamar lantai satu untuk meredakan sisa-sisa gairah yang membakarnya.
Sialan! Ini terlampau sulit untuk dikendalikan. Hampir pagi dan efek dari obat itu masih terasa.
Saga melirik nakas yang kosong. Tak ada air sama sekali. Dengan linglung, ia keluar kamar dan berjalan menuju dapur.
Dapur masih kosong dan belum terlihat satu pelayan pun. Biasanya mereka akan keluar pukul setengah 6 pagi artinya masih tersisa 30 menit lagi sebelum dapur ini dipenuhi oleh pelayan yang berlalu lalang.
Ia segera berjalan menuju kulkas untuk mencari air dingin. Demi apa pun tenggorokannya seolah terbakar.
Belum juga sampai di depan kulkas, ia sudah dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba saja muncul dari depan kulkas sambil menggigit sebuah apel.
"Juni?" Pencahayaan yang remang-remang membuat Saga bertanya dengan nada r
Dua hari berlalu sejak kejadian Saga yang mencoba menembak Juni lalu menyita ponselnya.Sejak itu pula Juni tak ingin bertemu dengan Saga, entah itu di meja makan, di ruang tengah yang mana tidak pernah Juni datangi, pun dengan perpustakaan yang ia yakini mungkin saja Saga juga akan berkunjung ke sana.Juni hanya berada di kamarnya. Memikirkan banyak hal tentang apakah dia mesti bertahan beberapa waktu lagi atau mencoba sebisa mungkin untuk keluar dari penjara neraka berkedok istana ini.Saga tak pernah lagi datang ke kamar Juni dan memaksanya ikut makan. Lelaki itu seolah memberi ruang bagi Juni untuk mendinginkan kepala dan hatinya.Baguslah. Juni memang tidak ingin bertemu dengannya.Ia hanya butuh ponselnya.Karena seberapa pun dia mencoba berpikir untuk tinggal lebih lama lagi dan melihat perubahan Saga alias memberinya kesempatan, Juni tetap merasa ia hanya membuang-buang waktu.Saga tak menginginkan Juni
Esoknya Juni memutuskan ikut sarapan. Ia tak bisa mendapatkan ponselnya jika terus-terusan mengabaikan Saga.Mereka duduk di ujung meja masing-masing dan makan dalam diam. Tak ada suara apa pun selain denting piring yang beradu dengan sendok dan pisau makan.Meski begitu, hanya Juni yang mengabaikan Saga. Sedang lelaki itu begitu khidmat memandangnya tanpa putus. Seolah Juni adalah malaikat yang tidak berwujud manusia."Akhirnya kau ikut makan juga," ucap Saga di tengah makan mereka—lebih tepatnya hanya Juni yang makan karena mata lelaki itu terfokus sepenuhnya padanya.Juni mengabaikan. Tak mengangkat wajah, tak jua mengangguk ataupun bersuara. Seolah ucapan Saga barusan hanyalah nyanyian nyamuk yang lewat. Dia tetap fokus pada makanan di piringnya.Saga memejamkan mata rapat-rapat sembari menahan gelombang amarah di dadanya. Desah napasnya yang menggebu ia coba untuk pelankan.Ada gejolak asing yang masih coba ia renungkan. Pada gest
Saga menggandeng Juni memasuki kamarnya dengan tergesa, seolah gairahnya tak lagi dapat ia tahan.Untuk sejenak hati Juni berdenyut nyeri. Bahwa lelaki ini hanya menginginkan tidur dengannya. Ia hanya ingin Juni menurut dan melayani hasratnya.Juni tersenyum nanar kala Saga membaringkannya di atas kasur dan kembali mencumbu dadanya dengan lihai seolah tak ada lagi waktu yang tersisa untuk mereka.Gerakannya gesit, namun begitu ahli dan sangat tahu cara membuat Juni menikmati setiap sentuhannya. Bahkan Juni tak merasakan dirinya sudah telanjang bulat di bawah kuasa Saga dengan tatapan penuh pemujaan dari lelaki itu."Ah, kau sangat indah. Aku ingin memilikimu. Aku menginginkanmu ... lagi dan lagi." Kemudian menghunjamkan ciuman mesra di sepanjang perut juni.Sekian menit yang dipenuhi oleh desahan dan gairah yang meluap-luap, di situlah Juni merasakan senjata keras Saga mencoba menembusnya."Kau begitu indah," katanya lagi. Entah sudah
Dua hari kemudian, kediaman Atlanta .... Seorang pelayan berkuncir dua menunduk dengan Lenna di hadapannya. Sang kepala pelayan tengah memeriksa sebuah surat yang baru saja diserahkan pelayan itu. "Apa penyakitnya separah itu?" "Ya, Kepala. Sebenarnya sudah lama ia mengalami gejalanya, tapi baru sekarang penyakitnya ketahuan setelah ia memeriksanya ke dokter. Dia ingin fokus berobat dulu." "Aku turut berduka. Sampaikan salamku pada kakakmu, Serina." Serina masih menunduk. "Baik. Terima kasih atas pengertiannya. Anda sangat baik." "Pergilah. Aku akan mengirimkan tunjangan dan gaji terakhir untuk kakakmu nanti." "Baik, terima kasih. Saya akan mengemasi barang-barang Kakak." Pelayan bernama Serina itu menunduk hormat lalu berlalu dari hadapan Lenna. Tiga puluh menit kemudian, Serina sudah berada di depan pintu utama dengan sebuah koper besar di tangannya dan ransel di punggungnya. Ia ditahan oleh beberapa pengawal se
Saga mengakui ... bahwa keberadaan wanita itu begitu penting. Saat ia dengan tergesa menyelesaikan rapat dan tanpa basa-basi pulang ke rumah.Ia tahu dirinya telah jatuh begitu dalam. Membiarkan dirinya tenggelam seperti halnya Rosalia. Saat dia dengan bodohnya melupakan apa saja yang Juni lakukan di belakangnya.Saat ia menurunkan ego untuk meminta maaf terlebih dahulu dan pulang dengan cepat untuk memeluknya erat.Sama seperti dua hari sebelumnya, Saga juga pulang empat jam lebih awal sebelum malam mengambil alih.Dengan dada berdebar antusias, ia langsung menuju kamar Juni. Setengah berlari dan menahan gejolak asing di hatinya.Dibukanya pintu kamar Juni sedikit lebih keras, lalu kemudian menyesal. Mungkin saja Juni akan kaget. Ah, sepertinya dirinya sedikit terlalu antusias.Namun, yang ditemuinya bukan Juni yang terkesiap atau menatapnya dalam, melainkan kekosongan.Mungkinkah ia sedang berjalan-jalan di sekitar
"Nyonya tidak ada di mana-mana, Tuan," lapor Edward. Walau terlihat datar, tapi sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang kental.Rahang Saga semakin mengetat. Rambut kelamnya teracak liar dan sorot matanya berkilat bengis menatap lantai seolah benda itulah yang telah menenggelamkan Juni ke dasar tanah."Cari," bisiknya rendah, hampir-hampir seperti desisan. "Cari sampai ketemu.""Baik." Edward tetap mempertahankan gestur tenang dan profesional-nya."Bawa Lenna ke hadapanku," perintah lelaki itu kemudian.Tanpa menunggu lama, Lenna sudah berdiri di hadapan Saga yang tengah duduk terpaku di atas sofa.Saga mengangkat wajah dan menghunjam Lenna dengan pandangan mengintimidasi."Apa ada petunjuk menghilangnya Juni?""Tidak, Tuan. Kami sudah mencarinya tapi tak ket—""Laporkan semuanya! Semua yang terjadi selama dua hari ini. Apa pun itu. Sekecil apa pun, aku ingin tahu.""Baik."Lenna melaporkan banyak
Ketukan sepatu tinggi Maria memenuhi lantai ruang tengah kediaman Lahendra. Langkahnya terayun dengan anggun dan tak memedulikan sekitar."Dari mana, Kak?"Suara lembut yang terdengar menyebalkan itu menghentikan langkah Maria yang hendak meninggalkan ruang tengah. Ia menoleh pada Leticia yang tengah duduk santai di sofa sembari menyilang kaki seperti ratu.Maria mengangkat sebelah alis dengan dingin sebelum kembali mengayun langkahnya, mengabaikan Leticia sepenuhnya."Habis mengerjakan urusan penting?"Maria tetap tak menghiraukan. Baginya, Leticia tak ubahnya seperti nyamuk tidak tahu diri."Oh, ayolah, Kak. Sampai kapan kau akan mengabaikanku, hm?""Aku tidak punya waktu untuk meladenimu."Leticia mengangkat bahu dengan senyum mengejek."Dan jangan bersikap sok manis padaku.""Ohho ... aku kan memang manis dari dulu, itu sebabnya Mas Sandi berpaling padaku. Iya, kan?"Ekspresi dingin dan kaku di wa
Tak sedetik pun terlewat oleh mata Saga, semua pergerakan pelayan maupun para pengawal yang sibuk mencari Juni ke sana kemari."Sudah temukan pelayan itu?" tanyanya saat Edward menghadap."Kami sudah mendatangi rumahnya, tapi rumah itu kosong dan tetangganya mengatakan dia sudah pergi tiga hari yang lalu."Kedua alis Saga beradu. "Ke mana dia pergi?""Tak ada petunjuk tentang itu, Tuan.""Aku tak mengharapkan kata 'tak ada' dari mulutmu, Edward. Cari tahu semua tentang keluarganya dan juga adiknya yang bernama serina itu!" Rahang Saga semakin mengetat dengan hunjaman mata yang kian tajam.Edward tertegun sejenak sebelum menarik napas dan kembali melanjutkan laporannya. "Dari penuturan orang-orang terdekatnya, dia tak punya adik. Dia hanya punya ayah yang sakit-sakitan sejak lama.""Tidak punya adik? Lalu siapa Serina?" Saga mendecak keras sampai pelayan-pelayan yang lewat bergidik ketakutan."Kami sedang mencari tahu, Tuan."
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari