Pelayan suruhannya berdiri di ambang pintu dengan keringat bercucuran.
"Bagus. Mana wanita itu?"
Pelayan laki-laki itu mematung. Wajahnya tampak gelisah.
Hidung Dipomo mengerut. "Aku tanya di mana wanita itu? Kau tuli?"
Dipomo mendecak kesal. Gairahnya sudah menggebu tapi pelayan bodoh itu masih berdiri dan tidak memperlihatkan Juni Lahendra padanya.
Ia baru saja ingin mendekat ketika sang pelayan menggeser tubuhnya dan sosok lain yang bukan Juni terlihat.
Dipomo membelalak.
"Wanita siapa yang kau cari?"
'Ke-kenapa Saga Atlanta yang muncul?'
Dipomo menelan ludah gugup. Bagaimana bisa rencananya ketahuan secepat ini?!
Dengan satu lirikan mata Saga, pelayan itu bergegas keluar dan meninggalkan Dipomo berdua dengan Saga.
Saga melangkah maju. Sosoknya yang tinggi tegap menguarkan aura yang mengerikan.
"Aku tidak tahu kau senekat ini, Dipomo."
Dipomo mundur dengan sorot mata
Juni membuka mata dengan pelan. Terasa berat, seolah kelopak matanya tertindih batu besar.Ia mengerjap untuk memperjelas penglihatannya. Perlahan ia mengedarkan mata ke seluruh isi ruangan. Dinding serba putih, plafon putih dan gorden yang putih pula. Apa ini rumah sakit?Tapi tidak ada bau disinfektan dan obat-obatan. Sepertinya bukan. Ini terlalu mewah untuk disebut ruang inap rumah sakit, bahkan untuk ruang VIP sekalipun.Sofa cokelat besar di tengah-tengah ruangan dengan vas bunga keramik yang mengkilat. Gorden tipis yang memperlihatkan langit kekuning-kuningan yang dihiasi oleh bangunan-bangunan tinggi yang berderet indah. Ini seperti kamar hotel berfasilitas mewah.Ia menggerakkan kepala ke arah kiri kemudian mengernyit merasakan sakit yang mendadak mendera kepalanya.Sepersekian detik kemudian, Juni terbelalak. Sepertinya dia melihat punggung seseorang.Ia kembali menoleh. Punggung kokoh dengan otot-otot yang menonjol tep
Juni mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Mengernyit ketika mendapati pakaiannya berserakan di lantai samping ranjang, pun dengan milik Saga. Ia merona malu saat pakaian dalamnya juga bertebaran.Rasa berat masih terasa di kepalanya setiap kali ia bergerak. Juga perih di area selangkangan dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya.Suara deras air dari pancuran shower terdengar, gesekan kulitnya dengan selimut dan kicau burung yang sayup-sayup di luar jendela.Juni bergerak hendak bangkit dari tempat tidur. Ia harus segera pergi dari sini."Akh!" Gila! Seluruh sendi tubuhnya terasa lepas dari engselnya. Tulang-tulangnya berasa remuk.Sebenarnya malam seperti apa yang sudah mereka lalui?Ia tertatih memungut satu per satu pakaiannya kemudian memakainya sambil meringis.Juni menoleh ke arah kamar mandi, memastikan Saga belum keluar dari sana. Menarik napas sebelum membuka kenop pintu dan meninggalkan kamar.Juni meringis di ten
Satu jam kemudian, Edward datang dan menghampiri Saga."Kami sudah menemukan keberadaan Nyonya, Tuan. Beliau ada di rumah lamanya.""Bagus. Ayo ke sana."Saga bangkit dari sofa kemudian melangkah keluar dengan wajah dingin. Pandangan matanya lurus seolah siap menjemput mangsanya yang kabur.Edward, sang kepala pengawal dan anak buahnya menuntun Saga melewati jalan yang belum pernah dilaluinya. Perkampungan kumuh yang sepi dengan jalanan licin dan sedikit berlumpur.Mobil sport biru itu berhenti di depan halaman rumah tua yang sudah reot dengan dinding mengelupas.Mengerutkan kening, Saga menatap rumah itu lurus. "Ini tempatnya?""Iya, Tuan. Nyonya ada di dalam."Saga membuka pintu mobil dan berjalan pelan memasuki area rumah itu. Dalam pikirannya, ia merasa heran. Mengapa ada orang yang bisa tinggal di rumah kecil dan tua seperti ini? Dibandingkan rumah, lebih cocok jika dijadikan lokasi syuting film horor. Gelap da
Saat Juni terbangun di tengah malam, ia berada dalam pelukan Saga. Lelaki itu mendekapnya sedikit lebih erat. Ia baru menyadari jika dada Saga ternyata sangat bidang, otot-ototnya begitu keras. Juni mendongak untuk melihat wajah Saga. Rahang yang sangat tajam itu membuat tangan Juni bergerak nakal menelusurinya. Jika sedang tidur, ia tampak tak berbahaya. Hanya seperti lelaki biasa yang tidak akan marah cuma karena hal sepele. Tangan Juni terangkat hendak menyentuh bulu mata yang panjang nan hitam itu ketika Saga menangkap pergelangan tangannya. Juni terkesiap dan langsung menatap mata Saga yang sudah terbuka lebar. Sekarang dia tampak begitu liar dan berbahaya. Juni menelan ludah, sedikit gentar karena tatapan yang tak putus itu. "Sudah pagi?" tanyanya dengan lugas. "Belum. Masih tengah malam." Saga memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap mata Juni. "Ayo kita pulang." Juni belum mengatakan apa pun ketika Saga ban
Juni terperangah, memandang punggung Saga yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Untuk waktu yang lama ia merinding hingga tak bergerak sama sekali.Liar dan berbahaya.Dipandanginya pintu kamar mandi yang tertutup. Beberapa menit lagi Saga akan keluar dan mungkin akan menagihnya.Juni tahu dirinya tidak punya pilihan lain selain itu. Tidur sekamar dengan Saga—dan melayaninya setiap malam, mengingat betapa besarnya gairah lelaki itu—atau melihatnya bercinta setiap malam dengan wanita yang berbeda.Bukan karena cemburu. Ia hanya muak jika terus menonton percintaan yang menjijikkan itu."Jika setuju, maka hanya ada kita yang akan bercinta setiap malam sampai kau tidak bisa berjalan dengan benar."Juni bergidik mengingat perkataan lelaki itu. Itu juga bukan pilihan yang bagus. Ia menutup wajah dan mengerang frustasi. Sama sekali tidak ada habisnya. Saga dan keegoisannya tidak pernah berakhir."Sud
Juni membanting pintu kamar dengan jantung berdebar liar. Dadanya berdenyut nyeri dan ia merasa perlu menarik napas lebih dalam untuk menghilangkan sesak di dadanya. Diliriknya lemari yang terbuka dengan pakaian yang berantakan. Padahal ia baru ingin mengemas pakaiannya dan memilih tinggal di kamar Saga. Ia tidak bisa membiarkan dirinya direndahkan. Dia bukan budak seks dan boneka yang bisa dipermainkan. Tekadnya memang teguh, tapi yang membuatnya merintih adalah dadanya yang kian sesak dan tiba-tiba saja setetes air jatuh dari matanya. Juni tertegun menyadari dirinya baru saja menangis. Dengan cepat dihapusnya air mata itu, mendongak untuk menahan air mata yang hendak keluar dengan deras. Pintu di belakangnya diketuk dengan sopan. "Ini Lenna, Nyonya." Juni menepuk-nepuk kelopak matanya yang sembab sebelum membuka pintu, kemudian mengatur ekspresinya sedatar mungkin. "Boleh saya masuk, Nyonya?"
Saga menatap dirinya lewat cermin wastafel. Wajah dingin yang kejam itu memandangnya dengan ekspresi yang rumit. Dalam mata cokelat yang bersinar di bawah lampu kamar mandi itu terpancar kebingungan, kemarahan, kekecewaan, dan luka yang besar."Aku memilih pilihan yang kedua asal kau tahu.""Kalau kau sebegitunya menyukai seks, aku akan berdiri di sudut kamarmu dan melihat hobimu yang tidak beradab itu."Saga menggertakkan gigi. Seluruh rasa yang tadi menyelimutinya terkalahkan oleh amarah ... dan dia kebingungan harus marah pada siapa.Apakah pada wanita itu yang mengatainya maniak seks dan tak beradab, atau pada dirinya yang memang sudah melakukan apa yang dikatakan sang istri.Detik berikutnya ia tertawa miris. Ia memang maniak seks. Memanggil wanita manapun untuk melampiaskan hasrat dan amarahnya. Itu memang benar.Memaksa Juni untuk menonton percintaannya memang tak beradab. Memang benar. Dia tidak beradab.Dia
Sudah tiga hari Saga tak terlihat. Ia tak pernah ikut sarapan ataupun makan malam. Ini di luar ekspekstasi Juni. Dia pikir Saga akan kembali memaksanya berdiri di sudut kamar dan menonton adegan bercintanya setiap malam.Tapi lelaki itu malah tidak pernah menampakkan batang hidungnya.Tak ada yang memaksanya, hidupnya tenang selama tiga hari ini dan ia merasa sangat lega.Harusnya itu yang dia rasakan alih-alih merasa gelisah dengan dada berdenyut nyeri. Mestinya ia menyegarkan pikiran ketimbang terus memikirkan hal-hal yang tidak penting, seperti:"Apa perkataanku keterlaluan?""Ya? Ah, tidak ... memang saya yang salah."Juni terkesiap ketika menyadari ia telah mengatakan isi pikirannya dengan lantang. Menunduk untuk mendapati Sarah yang berlutut di hadapannya sambil membersihkan pecahan mangkuk. Juni mengerutkan kening di atas ranjang."Apa yang terjadi?""Sa-saya menumpahkan sup yang saya
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari