Satu jam kemudian, Edward datang dan menghampiri Saga.
"Kami sudah menemukan keberadaan Nyonya, Tuan. Beliau ada di rumah lamanya."
"Bagus. Ayo ke sana."
Saga bangkit dari sofa kemudian melangkah keluar dengan wajah dingin. Pandangan matanya lurus seolah siap menjemput mangsanya yang kabur.
Edward, sang kepala pengawal dan anak buahnya menuntun Saga melewati jalan yang belum pernah dilaluinya. Perkampungan kumuh yang sepi dengan jalanan licin dan sedikit berlumpur.
Mobil sport biru itu berhenti di depan halaman rumah tua yang sudah reot dengan dinding mengelupas.
Mengerutkan kening, Saga menatap rumah itu lurus. "Ini tempatnya?"
"Iya, Tuan. Nyonya ada di dalam."
Saga membuka pintu mobil dan berjalan pelan memasuki area rumah itu. Dalam pikirannya, ia merasa heran. Mengapa ada orang yang bisa tinggal di rumah kecil dan tua seperti ini? Dibandingkan rumah, lebih cocok jika dijadikan lokasi syuting film horor. Gelap da
Saat Juni terbangun di tengah malam, ia berada dalam pelukan Saga. Lelaki itu mendekapnya sedikit lebih erat. Ia baru menyadari jika dada Saga ternyata sangat bidang, otot-ototnya begitu keras. Juni mendongak untuk melihat wajah Saga. Rahang yang sangat tajam itu membuat tangan Juni bergerak nakal menelusurinya. Jika sedang tidur, ia tampak tak berbahaya. Hanya seperti lelaki biasa yang tidak akan marah cuma karena hal sepele. Tangan Juni terangkat hendak menyentuh bulu mata yang panjang nan hitam itu ketika Saga menangkap pergelangan tangannya. Juni terkesiap dan langsung menatap mata Saga yang sudah terbuka lebar. Sekarang dia tampak begitu liar dan berbahaya. Juni menelan ludah, sedikit gentar karena tatapan yang tak putus itu. "Sudah pagi?" tanyanya dengan lugas. "Belum. Masih tengah malam." Saga memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap mata Juni. "Ayo kita pulang." Juni belum mengatakan apa pun ketika Saga ban
Juni terperangah, memandang punggung Saga yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Untuk waktu yang lama ia merinding hingga tak bergerak sama sekali.Liar dan berbahaya.Dipandanginya pintu kamar mandi yang tertutup. Beberapa menit lagi Saga akan keluar dan mungkin akan menagihnya.Juni tahu dirinya tidak punya pilihan lain selain itu. Tidur sekamar dengan Saga—dan melayaninya setiap malam, mengingat betapa besarnya gairah lelaki itu—atau melihatnya bercinta setiap malam dengan wanita yang berbeda.Bukan karena cemburu. Ia hanya muak jika terus menonton percintaan yang menjijikkan itu."Jika setuju, maka hanya ada kita yang akan bercinta setiap malam sampai kau tidak bisa berjalan dengan benar."Juni bergidik mengingat perkataan lelaki itu. Itu juga bukan pilihan yang bagus. Ia menutup wajah dan mengerang frustasi. Sama sekali tidak ada habisnya. Saga dan keegoisannya tidak pernah berakhir."Sud
Juni membanting pintu kamar dengan jantung berdebar liar. Dadanya berdenyut nyeri dan ia merasa perlu menarik napas lebih dalam untuk menghilangkan sesak di dadanya. Diliriknya lemari yang terbuka dengan pakaian yang berantakan. Padahal ia baru ingin mengemas pakaiannya dan memilih tinggal di kamar Saga. Ia tidak bisa membiarkan dirinya direndahkan. Dia bukan budak seks dan boneka yang bisa dipermainkan. Tekadnya memang teguh, tapi yang membuatnya merintih adalah dadanya yang kian sesak dan tiba-tiba saja setetes air jatuh dari matanya. Juni tertegun menyadari dirinya baru saja menangis. Dengan cepat dihapusnya air mata itu, mendongak untuk menahan air mata yang hendak keluar dengan deras. Pintu di belakangnya diketuk dengan sopan. "Ini Lenna, Nyonya." Juni menepuk-nepuk kelopak matanya yang sembab sebelum membuka pintu, kemudian mengatur ekspresinya sedatar mungkin. "Boleh saya masuk, Nyonya?"
Saga menatap dirinya lewat cermin wastafel. Wajah dingin yang kejam itu memandangnya dengan ekspresi yang rumit. Dalam mata cokelat yang bersinar di bawah lampu kamar mandi itu terpancar kebingungan, kemarahan, kekecewaan, dan luka yang besar."Aku memilih pilihan yang kedua asal kau tahu.""Kalau kau sebegitunya menyukai seks, aku akan berdiri di sudut kamarmu dan melihat hobimu yang tidak beradab itu."Saga menggertakkan gigi. Seluruh rasa yang tadi menyelimutinya terkalahkan oleh amarah ... dan dia kebingungan harus marah pada siapa.Apakah pada wanita itu yang mengatainya maniak seks dan tak beradab, atau pada dirinya yang memang sudah melakukan apa yang dikatakan sang istri.Detik berikutnya ia tertawa miris. Ia memang maniak seks. Memanggil wanita manapun untuk melampiaskan hasrat dan amarahnya. Itu memang benar.Memaksa Juni untuk menonton percintaannya memang tak beradab. Memang benar. Dia tidak beradab.Dia
Sudah tiga hari Saga tak terlihat. Ia tak pernah ikut sarapan ataupun makan malam. Ini di luar ekspekstasi Juni. Dia pikir Saga akan kembali memaksanya berdiri di sudut kamar dan menonton adegan bercintanya setiap malam.Tapi lelaki itu malah tidak pernah menampakkan batang hidungnya.Tak ada yang memaksanya, hidupnya tenang selama tiga hari ini dan ia merasa sangat lega.Harusnya itu yang dia rasakan alih-alih merasa gelisah dengan dada berdenyut nyeri. Mestinya ia menyegarkan pikiran ketimbang terus memikirkan hal-hal yang tidak penting, seperti:"Apa perkataanku keterlaluan?""Ya? Ah, tidak ... memang saya yang salah."Juni terkesiap ketika menyadari ia telah mengatakan isi pikirannya dengan lantang. Menunduk untuk mendapati Sarah yang berlutut di hadapannya sambil membersihkan pecahan mangkuk. Juni mengerutkan kening di atas ranjang."Apa yang terjadi?""Sa-saya menumpahkan sup yang saya
"Aku merindukan bibirmu." Saga mengecup bibir Juni secepat kilat.Jantung Juni mendadak diliputi debaran yang aneh."Aku merindukan matamu yang pembangkang itu." Napas Saga berembus keras di wajah Juni hingga kedua pipi wanita itu merona."Jangan menyiksaku dengan rasa bersalah. Aku tidak akan meminta maaf."Juni merasakan tubuh Saga yang menindihnya kian berat. Tubuh mereka menempel hingga Juni bisa merasakan dada Saga yang panas. Lelaki itu terus meracau dan mengucapkan kata-kata yang tidak ia mengerti."Kau mabuk. Bangunlah."Juni mencoba mendorong tubuh Saga, tapi lelaki itu bergeming dan malah menyandarkan kepala ke bahu Juni. Napasnya mulai berembus teratur dan tubuhnya menjadi sangat berat.Dan akhirnya Juni merasakan lelaki itu tertidur di atas tubuhnya. Tubuhnya sangat berat sekaligus panas. Susah payah Juni memindahkan Saga ke samping dan mengatur posisinya dengan nyaman.Ia mencari-cari selimut untu
Lelaki berambut ikal dengan postur tinggi itu masih membeku. Matanya terbuka lebar menghunjam Juni.Rafael Estigo.Juni menggumamkan nama itu lamat-lamat di hatinya. Sudah lima tahun mereka berpisah dan tak lagi bertukar kabar. Dari reaksi lelaki itu, Juni akhirnya mengukuhkan tebakannya bahwa dia memang adalah Rafael.Jantung Juni berdebar dengan hebat dan hatinya berdenyut luar biasa sakit. Bagaimana sang suami yang dulu dia cintai dan sekarang dia benci ada di hadapannya, sedang menggendong gadis lain yang bersandar pada dadanya dengan manja.Ia bisa mendengar degup jantungnya yang kian menggila ketika lelaki berambut hitam ikal itu mengerjap dan menatap penuh rindu padanya. Sinar hangat dan penuh kasih dalam mata kelam itu terasa masih sama.Juni menggigit bibir dan membuang muka ketika lelaki itu mulai membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu."Mau jalan sekarang, Nyonya?"Juni menyembunyikan ai
Suasana pemakaman sangat sepi ketika Juni turun dari mobil. Angin lembut menyapu wajahnya dan meniup selendang yang melilit di kepalanya.Beberapa pengawal siap siaga di belakangnya. Ia melangkah memasuki area pemakaman setelah menarik napas untuk yang keseki"Nyonya ingin dikawal masuk?" Seorang pengawal yang Juni tahu sebagai tangan kanan Edward mendahuluinya."Tidak emm—""Nama saya Arnold."Juni mengangguk. "Tidak usah, Arnold. Aku ingin waktu berdua dengan putraku."Pengawal berwajah blasteran itu mengangguk lalu mempersilakan Juni masuk.Karena bukan pemakaman mewah, maka lingkungannya tidak sebersih yang dibayangkan. Daun-daun kering yang berguguran tampaknya sudah berhari-hari tidak dibersihkan. Rumput-rumput liar yang merambati makam dibiarkan tumbuh dengan bebas."Kuharap makam Elando tidak sekotor itu," gumamnya sendu sambil melewati makam-makam yang ditumbuhi tanaman liar.Kening Juni mengerut dal
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari