"Sudah bangun? Enak tidurnya beberapa hari ini? Bisa tidur dengan nyaman dan pulas setelah melakukan hal bejat?"Pertanyaan dari Rafan membuat Danish beberapa kali mengerjap seakan pertanyaan itu menyadarkannya dari lamunan dan rasa terkejutnya yang menyadari ada sang kakak di hadapannya. Belum sempat Danish memikirkan apa yang ia lakukan setelah ini semesta membawanya ke dalam situasi lain. Dipertemukan dengan Rafan dalam keadaan yang lemah tak berdaya seperti ini bukan sesuatu yang menguntungkan untuknya. "Kenapa aku harus tidak bisa tidur dengan nyenyak? Aku belum melakukan apa-apa pada wanita itu. Apa yang terjadi tidak sebanding dengan apa yang terjadi padaku. Lagi pula kau ini siapa? Kenapa kau terlalu ikut campur dan masuk ke dalam urusanku? Atau jangan-jangan kau memiliki hubungan dengan wanita bekas adikmu yang bejat ini." Danish mengatakan hal itu dengan sangat enteng seakan keadaannya baik-baik saja, sehat walafiat, dan bisa melindungi dirinya ketika serangan datang. Ia
Dalam keheningan di ruang bawah tanah itu, Danish masih berusaha berdiri dengan rintihan menahan sakit di kakinya. Setelah beberapa saat ia berusaha untuk melarikan diri, ia berpikir dan berhenti sejenak. Jikalau ia berhasil berdiri, berjalan, belum tentu ia bisa melarikan diri dari sini. Rasanya tidak mungkin jika tidak ada yang menjaga bangunan ini dari luar. Kalaupun ia bisa pergi dari ruangan ini, apakah itu akan menjamin keselamatannya? Danish kembali duduk dengan putus asa, kakinya yang berdenyut nyeri ia abaikan. Pikirannya terus bekerja bagaimana caranya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Terhitung sudah seharian ini ia terkurung di sini tanpa makanan minuman. Rafan benar-benar memperlakukan sang adik sama seperti saat Yuan di sekap olehnya. Entah jam sekarang, tapi ia merasa malam sudah larut jika merasakan dinginnya menembus kulitnya. Rasa sakit yang ia rasakan di seluruh badan semakin terasa meyakitkan. Saat sedang berpikir tentang keselamatan dirinya sendiri, terdenga
Setelah bunyi tembakan itu terdengar di telinga, suasana mendadak menjadi hening. Semua orang yang berada di sana mematung dengan napas yang seakan terhenti. "Ayah, Ibu, Yuan, apa yang kalian lakukan di sini?"Satu-satunya manusia yang sadar dari tercengangnya adalah si pelaku penembakan. Ia menurunkan tangannya yang awalnya lurus ke depan menjadi mengarah ke atas. Ya, peluru itu mengenai atap. Beruntung, tak ada korban jiwa yang terluka. Pak Jo datang dan menyelamatkan Danish tepat pada waktunya. "Kau masih bertanya apa yang kami lakukan? Kau sudah gila dengan berniat melenyapkan adikmu sendiri?""Memangnya kenapa kalau aku ingin melenyapkannya? Manusia seperti dia tidak pantas hidup di dunia, Yah. Apa yang sudah dia lakukan sangat bejat. Coba bayangkan saja kalau aku tidak datang tepat waktu? Apa yang terjadi dengan Yuan? Bagaimana keadaan mental dan juga psikisnya, kesehatan fisiknya? Apakah kalian yang akan menjamin kesehatan wanita itu jiwa raganya?""Dengan membunuhnya tidak
Yuan kini tengah berdiri di depan cermin. Penampilannya begitu anggun dibalut dengan kebaya mewah berwarna putih. Rambutnya tersanggul rapi, wajahnya dirias make up tipis dengan bibir yang juga diberi pewarna pink nampak alami di bibir Yuan yang sebenarnya sudah cantik. Pandangannya lurus ke depan dengan mata yang berkaca-kaca. Bukan karena kesedihan, tapi ia bahagia berada di titik ini. Banyak perjuangan dan darah yang ia keluarkan untuk sampai di sini. Belum lagi rasa sakit yang ia rasa sebelum ini. Ah rasanya sakit jika mengingat masa lalu. Yuan menghela nafas panjang dan tersenyum lebar. Ia merasa bersyukur atas segala hal yang telah ia lalui dan berhasil ia lewati. Ia merasa bangga dengan dirinya sendiri karena telah berhasil mencapai impian dan tujuannya. Yuan merasa bahwa semua perjuangan dan rintangan yang ia hadapi sebelumnya, kini terbayar dengan indahnya momen ini. Ia merasa sangat bahagia dan bersyukur atas semua yang telah ia dapatkan. Ia memutuskan untuk menikmati mome
Setelah mengucap janji suci, Rafan dan Yuan memulai perjalanan baru sebagai pasangan suami istri. Dalam beberapa hari pertama pernikahan mereka, terasa kehangatan cinta yang memenuhi rumah tangga. Mereka menyesuaikan diri satu sama lain dengan penuh kasih sayang dan keinginan untuk membuat pernikahan ini berkembang.Rafan dengan sabar mendengarkan cerita-cerita kecil keseharian sang istri saat di rumah. Harmonis bukan berarti tidak ada perbedaan kecil yang muncul, tentu saja mereka sesekali beradu argumen dan perbedaan pemikiran. Namun, keduanya dengan cepat menemukan cara untuk mengatasi dan tumbuh bersama sebagai pasangan yang harmonis.Setiap harinya diisi dengan tawa, percakapan penuh makna, dan saling berbagi harapan untuk masa depan. Mereka merencanakan masa depan bersama, menentukan impian dan tujuan sebagai pasangan yang baru saja menikah. Pagi-pagi, mereka bersama-sama menikmati sarapan di meja makan dengan canda tawa, dan di malam hari, mereka menemukan kenyamanan satu sama
Hari-hari terus berlalu membawa pernikahan Rafan dan Yuan ke usia satu tahun, seperti halnya gading yang mengalir begitu cepat. Di setiap detik, kebahagiaan mereka semakin terpahat dalam kenangan indah. Meskipun matahari terbenam dan terbit telah memberikan sinar kehangatan pada perjalanan cinta mereka, belum tampak tanda-tanda kehadiran buah hati.Namun, dalam setiap senyuman dan pelukan, terukir kebahagiaan yang tak tergantikan. Rafan dan Yuan memilih untuk mengejar makna sejati dari pernikahan, membangun fondasi kuat yang diperkuat oleh saling pengertian dan dukungan. Meski belum terlaksana dalam bentuk keluarga kecil, kebersamaan mereka merona dalam keintiman yang penuh makna.Cinta mereka bagaikan bunga yang mekar, memancarkan aroma kebahagiaan tanpa syarat. Setiap detik menjadi saksi bisu kisah cinta yang terus berkembang, tak terkekang oleh waktu atau tekanan. Pernikahan mereka bukan hanya tentang perjuangan melainkan pula tentang kegembiraan dalam setiap momen bersama. Dalam u
Yuan merasa seperti ditampar oleh kata-kata Bi Sumi. Ia merasa seperti sedang berada di ujung jurang, merasa terpukul oleh kenyataan pahit yang selama ini ia coba hindari. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai, terombang-ambing tanpa arah dan tujuan.Namun, di tengah keputusasaan itu, ada sesuatu yang muncul dalam pikirannya. Sesuatu yang mungkin bisa menjadi solusi dari masalah yang selama ini ia hadapi. Sesuatu yang mungkin bisa membantunya untuk meraih impian yang selama ini di idamkan."Bi Sumi," panggil Yuan dengan suara yang bergetar. "Apa Bibi bisa membantu ku? Aku ... aku ingin tahu lebih banyak tentang makanan yang bisa menambah kesuburan. Mungkin itu bisa membantuku."Bi Sumi menatap Yuan dengan ekspresi yang penuh simpati. "Tentu, Bu Yuan. Saya akan membantu sebisa mungkin."Dan begitulah, Yuan mulai menjalani perjalanan baru dalam hidupnya. Ia mulai belajar tentang makanan yang bisa menambah kesuburan, mulai mencoba resep baru, dan mulai mengubah pola hidupnya. I
"Enggak, Rafan nggak gitu. Dia berbeda dengan Danish, dia bukan Danish. Mereka memang kakak beradik, tapi mereka memiliki karakter yang berbeda. Tidak mungkin dia meninggalkanku hanya karena aku tidak hanya memberinya anak. Bukankah dia yang mengatakan bahwa anak itu adalah bonus? Tidak semua orang bisa mendapatkan bonus itu."'Memang tidak semua orang mendapatkan bonus dalam kehidupannya. Tapi harus kau sadari bahwa sebagian besar manusia di bumi ini memiliki bonus berupa anak meskipun itu hanya satu. Sekarang Rafan bisa mengatakan bahwa tidak masalah jika kalian tidak memiliki anak. Tetapi bagaimana dengan lima sampai sepuluh tahun ke depan?'Yuan merasa frustasi, berteriak di dalam hati. Pikiran dan perasaan yang berjalan tidak beriringan, tidak sejalan, dan tidak pada satu tujuan membuat ia memberantakkan segala hal yang ada di sekitarnya. Kamarnya menjadi berantakan tak karuan. Ia bingung harus mendengar logikanya atau perasaannya. Di satu sisi ia begitu tertekan dengan keadaan,
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se