Yuan merasa seperti ditampar oleh kata-kata Bi Sumi. Ia merasa seperti sedang berada di ujung jurang, merasa terpukul oleh kenyataan pahit yang selama ini ia coba hindari. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai, terombang-ambing tanpa arah dan tujuan.Namun, di tengah keputusasaan itu, ada sesuatu yang muncul dalam pikirannya. Sesuatu yang mungkin bisa menjadi solusi dari masalah yang selama ini ia hadapi. Sesuatu yang mungkin bisa membantunya untuk meraih impian yang selama ini di idamkan."Bi Sumi," panggil Yuan dengan suara yang bergetar. "Apa Bibi bisa membantu ku? Aku ... aku ingin tahu lebih banyak tentang makanan yang bisa menambah kesuburan. Mungkin itu bisa membantuku."Bi Sumi menatap Yuan dengan ekspresi yang penuh simpati. "Tentu, Bu Yuan. Saya akan membantu sebisa mungkin."Dan begitulah, Yuan mulai menjalani perjalanan baru dalam hidupnya. Ia mulai belajar tentang makanan yang bisa menambah kesuburan, mulai mencoba resep baru, dan mulai mengubah pola hidupnya. I
"Enggak, Rafan nggak gitu. Dia berbeda dengan Danish, dia bukan Danish. Mereka memang kakak beradik, tapi mereka memiliki karakter yang berbeda. Tidak mungkin dia meninggalkanku hanya karena aku tidak hanya memberinya anak. Bukankah dia yang mengatakan bahwa anak itu adalah bonus? Tidak semua orang bisa mendapatkan bonus itu."'Memang tidak semua orang mendapatkan bonus dalam kehidupannya. Tapi harus kau sadari bahwa sebagian besar manusia di bumi ini memiliki bonus berupa anak meskipun itu hanya satu. Sekarang Rafan bisa mengatakan bahwa tidak masalah jika kalian tidak memiliki anak. Tetapi bagaimana dengan lima sampai sepuluh tahun ke depan?'Yuan merasa frustasi, berteriak di dalam hati. Pikiran dan perasaan yang berjalan tidak beriringan, tidak sejalan, dan tidak pada satu tujuan membuat ia memberantakkan segala hal yang ada di sekitarnya. Kamarnya menjadi berantakan tak karuan. Ia bingung harus mendengar logikanya atau perasaannya. Di satu sisi ia begitu tertekan dengan keadaan,
Malam itu, di kamar yang sunyi, Yuan terdiam dalam kegelapan, pikirannya menjadi belantara tanpa henti. Kalimat-kalimat Bi Sumi bagaikan bayangan yang tak pernah lepas menghantui benaknya. Noda lipstik itu, seperti bekas luka yang terus berdarah dalam ingatannya, membawanya ke dalam lorong kegelapan pikiran yang tak berujung.Wanita itu merasa terperangkap dalam rentetan pertanyaan tak terjawab, memompa ketidakpastian dan kebingungan dalam dirinya. Ingin rasanya memahami makna di balik kata-kata Bi Suni, namun, seperti kabut tipis yang sulit dipegang, maknanya selalu menyelinap begitu saja.Kepercayaan diri Yuan goyah, hancur oleh keraguan yang tumbuh subur di kepalanya. Cinta suaminya, yang dulu begitu teguh, kini menjadi benda yang dipertanyakan. Setiap kata yang diucapkan suaminya terdengar seperti harmoni yang patah, meninggalkan jejak rasa tidak pasti di setiap sudut hatinya.Mungkin malam itu, bintang-bintang di langit pun merasakan kegalauan yang menghampiri Yuan. Pernikahanny
Dalam perjalanan ketidakpastian menyusul pemeriksaan kesuburan yang lancar, Yuan terombang-ambing di lautan pikiran yang tak menentu. Bayangan harapan dan kekhawatiran saling bersaing di benaknya, menciptakan pergulatan emosional yang mendalam. Meskipun proses pemeriksaan berjalan tanpa hambatan, beban psikologis yang dipikulnya semakin terasa membebani.Setiap detik yang berlalu menjadi sebuah medan pertempuran antara optimisme dan kecemasan. Meski Yuan berusaha mempertahankan ketenangan, pikirannya terus dihantui oleh spekulasi tentang hasil tes yang belum terungkap. Kehawatiran akan masa depannya merajalela, membentuk badai kekhawatiran yang tak kunjung mereda.Sementara hasil tes masih menjadi misteri, kegelisahan Yuan semakin meruncing. Setiap kemungkinan hasil menghadirkan gambaran hidup yang berbeda, dan setiap imajinasi itu menggigit perasaannya dengan tajam. Pada setiap langkahnya, ia merasakan tekanan yang tak terlupakan, membebani setiap keputusan dan tindakan yang diambiln
Rafan merasa terjepit dalam situasi yang sulit. Ia mulai merasa terganggu dengan kehadiran Maya yang selalu menjadi titik pertengkaran antara dirinya dan Yuan. Meski sebenarnya ia menghargai kerja keras Maya yang selalu tepat waktu dan efisien, namun fakta bahwa kehadiran Maya selalu memicu pertengkaran dengan istrinya membuatnya merasa perlu untuk mengambil tindakan.Setiap kali terjadi pertengkaran, topik yang selalu muncul adalah bekas lipstik Maya yang tidak sengaja tertinggal di jas Rafan. Hal ini membuat Rafan merasa lelah dan frustrasi. Ia merasa bahwa keberadaan Maya di sekitarnya bukan lagi menjadi bantuan, melainkan beban.Setelah berdiskusi panjang lebar dengan ayahnya, Pak Jo, mereka sepakat bahwa solusi terbaik adalah dengan memindahkan Maya ke perusahaan lain. Meski ini bukanlah keputusan yang mudah, namun Rafan merasa bahwa ini adalah langkah yang harus diambil demi menjaga keharmonisan rumah tangganya.Ia berharap dengan keputusan ini, Yuan bisa merasa lebih nyaman dan
Jam masih menunjukkan pukul dua siang. Sengaja Rafan menyelesaikan pekerjaan dan meetingnya dengan cepat agar pulang juga lebih cepat. Ia ingin menghabiskan waktu banyak dengan sang istri, karena ia merasa Yuan butuh waktu lebih banyak dengannya. Tujuan utama setiap ia pulang adalah kamar. Yuan terbiasa menghabiskan waktu di sana. Namun, kali ini tak ada wanita itu di ruangan itu. Rafan melempar tas dan jasnya ke sembarang arah lalu kembali keluar kamar. Pria itu menuruni anak tangga seraya menggulung lengan kemejanya hingga batas siku. Tentu saja hal itu menambah radar ketampanan menjadi lebih paripurna. Ia berjalan mendatangi beberapa sudut rumahnya dan akhirnya ia temukan sang istri di halaman belakang rumah tengah duduk di kursi panjang dengan membaca buku. Seketika bibirnya menerbitkan senyum dan jiwa isengnya naik ke puncak kepala. Ia berjalan pelan agar langkahnya tak terdengar, begitu sampai di dekat Yuan, kedua tangannya terangkat dan menutup kedua mata wanita itu. Ia bert
Pertengkaran yang sudah diramalkan oleh Bi Sumi akhirnya beliau dengar dari luar kamar. Beliau dengan serius dan benar-benar fokus pada pertengkaran kedua majikannya. Telinganya beliau pasang benar-benar agar tak ada yang terlewatkan dari pertengkaran itu. "Astaga, Yuan. Aku baru saja pulang dan sudah kau sambut dengan segala kecurigaanmu yang tidak jelas juntrungannya? Apa yang kau pikirkan? Kenapa setelah sekian lama kita sudah baik-baik saja dan fokus dengan program kita, kenapa kau kambuh lagi? Tidak bisakah kau fokus pada tujuan kita tanpa peduli dengan yang lainnya?""Aku ingin melakukan itu, aku juga selama ini fokus dengan tujuan kita, tapi yang kau lakukan di luar sana membuat apa yang aku lakukan terasa sia-sia. Kau mengatakan padaku bahwa tidak masalah bagimu jika kita tinggal berdua sampai nenek kakek, tapi lihat sekarang. Belum hilang diingatanku ucapan itu, kau sudah bermain api dibelakangku."Di luar kamar, Bi Sumi bertepuk tangan tanpa suara, beliau segera merogoh sak
Pertengkaran besar yang pertama kali terdengar oleh Bi Sumi ternyata hanya menjadi puncak gunung es dari ketidakharmonisan dalam rumah tangga Rafan dan Yuan. Meskipun tampaknya pertengkaran itu hanya terjadi sekali, suasana hubungan mereka semakin redup dan distan. Bi Sumi, yang mengawasi dengan senang hati, merasa puas dengan dampak aksi liciknya.Sementara Rafan, seorang suami yang merasa wajar menghabiskan waktu di luar rumah untuk menanggulangi tanggung jawabnya, bagaimana dengan Yuan? Wanita ini juga memilih untuk pergi setelah Rafan berangkat ke kantor, menyisakan kehampaan di rumah. Pulang larut malam menjadi kebiasaan, menciptakan kesunyian yang semakin menggelayuti pasangan tersebut.Tidak hanya terbatas pada fisik, ketidakharmonisan tersebut juga menciptakan kekosongan dalam komunikasi. Percakapan yang jarang terjadi antara Rafan dan Yuan menambah ketegangan di antara mereka. Bi Sumi, yang mengetahui bahwa rencananya berjalan mulus, semakin meningkatkan kegembiraannya. Belia
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se