"Aku di sini, Sayang. Kau aman, tenanglah," kata Rafan mendekat ke wajah Yuan. Tak berselang lama, Yuan berusaha membuka mata. Pelan namun pasti, kedua kelopak mata wanita itu terbuka perlahan dan akhirnya terbuka sepenuhnya. Rafan adalah orang pertama yang ia lihat begitu kedua matanya terbuka. "Jangan mendekat! Pergi, jangan dekati aku," teriak Yuan histeris. Yuan mengubah posisinya menjadi duduk dan mendorong-dorong tubuh Rafan agar menjauh darinya. Dorongan wanita itu cukup kuat, sejak tadi Rafan berusaha untuk mendekat dan menyentuhnya, namun hanya tepisan yang Rafan dapat. Dengan kebingungan dan panik yang menyerang, Rafan berusaha untuk tenang. Sejak tadi ia berusah untuk menyadarkan wanita itu, namun suaranya seakan teredam dengan teriakannya. "Yuan, Sayang, dengar aku. Ini aku Rafan. Coba tenang dulu, diam dulu, dan lihat aku. Tenang Sayang, lihat aku!" ucapanya sedikit keras diakhir kalimat. Rafan mengguncang pelan lengan wanita itu berharap ia bisa sadar dan bisa bers
Mendengar cerita dari ibunya bahwa Danish meninggalkan apartemen bersama keluarga kecilnya membuat pikiran Rafan semakin condong ke arah sana. Pikiran yang tadinya tidak ingin ia pikirkan dan pikiran-pikiran yang berusaha ia tepis jauh-jauh seakan dibantah oleh kepergian Danish yang membuatnya curiga bahwa apa yang ada dalam pikirannya adalah kebenaran. Jika memang itu kenyataannya, itu artinya ia tinggal mencari bukti bahwa Danish pelaku dibalik semua ini dan mencari keberadaannya. "Ibu nggak nanya dia pindah ke mana?""Enggak. Entahlah, tadi Ibu mendadak kesel aja pas ketemu sama istrinya. Padahal tadinya Ibu pengen banget ketemu dan ngobrol lama, tapi melihat wajah istrinya membuat Ibu sakit hati."Terdengar ponsel yang berbunyi nyaring di tengah-tengah ruangan yang sunyi itu. Melihat si penelepon adalah pekerja yang ia utus untuk mencari tahu pelaku utama membuat Rafan melipir sebentar keluar ruangan. "Apa yang kau dapat?""Dari ponsel pelaku yang tewas, saya menemukan beberapa
"Ibu," kata Rafan lirih. "Tadi kau–"Pertanyaan yang ingin diajukan oleh Bu Veronica terpaksa beliau hentikan karena ponsel Rafan yang berdering. Beliau seketika mendengus kesal karena pertanyaan yang tidak tersampaikan. Sementara Rafan justru merasakan sebaliknya. Ia sangat lega ponselnya berdering di waktu yang tepat. Sungguh ia belum siap memberitahukan ibunya bahwa ia dan juga Yuan memiliki hubungan. Lagi-lagi panggilan itu dari pekerjanya. Ia sedikit menjauh yang akhirnya kepergiannya itu di manfaatkan oleh Bu Veronica untuk menuntaskan hasrat keingintahuannya soal panggilan sayang yang tadi ia dengar. Wanita itu menuntun Yuan untuk masuk rumah dan menanyakannya. "Berita apa yang kau bawa?""Saya sudah mengetahui dan mengantongi pelaku utamanya, Pak. Sesuai dengan dugaan saya, Pak. Pak Danish yang menjadi dalang penculikan Bu Yuan tidak lain dan tidak bukan adalah adik Bapak sendiri. Saat ini saya sudah berhasil memasuki apartemennya dan menemukan sebuah bukti kamera yang terhu
Meski Rafan sudah melibatkan pihak berwajib, ia tidak akan duduk diam saja. Ia masih terus menggencar kawan-kawannya untuk tetap mencari. Akan lebih bagus jika mereka yang menemukan terlebih dahulu, ia tak kesusahan untuk menyiksa dan mengirimnya ke neraka. Namun sayangnya, keinginan Rafan bertentangan dengan keinginan kedua orang tuanya. Pak Jo yang mengetahui kabar anak bungsunya seketika pulang dan menuntut penjelasan atas apa yang terjadi. Begitu sampai rumah, Pak Jo mendapati istrinya yang sudah menumpahkan air matanya, Rafan yang menampakkan wajah tegangnya, dan Yuan yang menenangkan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Mereka bertiga terlihat mempertahankan ego masing-masing. "Kau masih ingin membela anak bungsumu, Ayah? Kau akan berpihak pada Ibu untuk mencabut tuntutan? Ayah, apa yang dilakukan Danish sudah di luar batas kemanusiaan. Bajingan saja tidak akan melakukan apa yang dia lakukan. Merendahkan harga diri wanita dan menyiarkannya langsung di sebuah ap
Malam itu juga Danish meninggalkan rumah yang baru ia tempati beberapa hari. Bahkan ia belum sempat mengenal orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Kepergiannya meninggalkan isak tangis bagi sang istri. "Feli, kalau kau ikut aku, nyawamu juga dalam bahaya. Aku tidak mau sampai terjadi apa-apa denganmu atau anak kita. Jadi lebih baik kau tinggal di sini. Nanti biar aku kirim orang untuk menemanimu di sini, oke. Kau jangan khawatir, kau tidak perlu takut, tidak akan terjadi apa-apa denganku." Sebuah pelukan penenang Danish berikan. "Aku takut terjadi apa-apa denganmu, kau meninggalkan aku di sini juga belum tentu posisiku aman, Danish. Bawa aku saja, aku tidak masalah kau bawa ke mana pun, asalkan kita sama-sama.""Nggak bisa, Sayang. Aku meninggalkanmu justru karena aku ingin kita bisa bersama-sama terus. Itu sebabnya aku harus mengamankan diriku sendiri dulu, kalau sudah aman, aku janji aku akan datang ke sini menjemputmu dan kita tinggal di tempat yang baru. Kau bersabarlah sebent
"Sudah bangun? Enak tidurnya beberapa hari ini? Bisa tidur dengan nyaman dan pulas setelah melakukan hal bejat?"Pertanyaan dari Rafan membuat Danish beberapa kali mengerjap seakan pertanyaan itu menyadarkannya dari lamunan dan rasa terkejutnya yang menyadari ada sang kakak di hadapannya. Belum sempat Danish memikirkan apa yang ia lakukan setelah ini semesta membawanya ke dalam situasi lain. Dipertemukan dengan Rafan dalam keadaan yang lemah tak berdaya seperti ini bukan sesuatu yang menguntungkan untuknya. "Kenapa aku harus tidak bisa tidur dengan nyenyak? Aku belum melakukan apa-apa pada wanita itu. Apa yang terjadi tidak sebanding dengan apa yang terjadi padaku. Lagi pula kau ini siapa? Kenapa kau terlalu ikut campur dan masuk ke dalam urusanku? Atau jangan-jangan kau memiliki hubungan dengan wanita bekas adikmu yang bejat ini." Danish mengatakan hal itu dengan sangat enteng seakan keadaannya baik-baik saja, sehat walafiat, dan bisa melindungi dirinya ketika serangan datang. Ia
Dalam keheningan di ruang bawah tanah itu, Danish masih berusaha berdiri dengan rintihan menahan sakit di kakinya. Setelah beberapa saat ia berusaha untuk melarikan diri, ia berpikir dan berhenti sejenak. Jikalau ia berhasil berdiri, berjalan, belum tentu ia bisa melarikan diri dari sini. Rasanya tidak mungkin jika tidak ada yang menjaga bangunan ini dari luar. Kalaupun ia bisa pergi dari ruangan ini, apakah itu akan menjamin keselamatannya? Danish kembali duduk dengan putus asa, kakinya yang berdenyut nyeri ia abaikan. Pikirannya terus bekerja bagaimana caranya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Terhitung sudah seharian ini ia terkurung di sini tanpa makanan minuman. Rafan benar-benar memperlakukan sang adik sama seperti saat Yuan di sekap olehnya. Entah jam sekarang, tapi ia merasa malam sudah larut jika merasakan dinginnya menembus kulitnya. Rasa sakit yang ia rasakan di seluruh badan semakin terasa meyakitkan. Saat sedang berpikir tentang keselamatan dirinya sendiri, terdenga
Setelah bunyi tembakan itu terdengar di telinga, suasana mendadak menjadi hening. Semua orang yang berada di sana mematung dengan napas yang seakan terhenti. "Ayah, Ibu, Yuan, apa yang kalian lakukan di sini?"Satu-satunya manusia yang sadar dari tercengangnya adalah si pelaku penembakan. Ia menurunkan tangannya yang awalnya lurus ke depan menjadi mengarah ke atas. Ya, peluru itu mengenai atap. Beruntung, tak ada korban jiwa yang terluka. Pak Jo datang dan menyelamatkan Danish tepat pada waktunya. "Kau masih bertanya apa yang kami lakukan? Kau sudah gila dengan berniat melenyapkan adikmu sendiri?""Memangnya kenapa kalau aku ingin melenyapkannya? Manusia seperti dia tidak pantas hidup di dunia, Yah. Apa yang sudah dia lakukan sangat bejat. Coba bayangkan saja kalau aku tidak datang tepat waktu? Apa yang terjadi dengan Yuan? Bagaimana keadaan mental dan juga psikisnya, kesehatan fisiknya? Apakah kalian yang akan menjamin kesehatan wanita itu jiwa raganya?""Dengan membunuhnya tidak
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se