Rafan berjalan dengan tergesa-gesa. Tidak kunjung ke kantor dan teleponnya dijawab oleh resepsionis membuat ia khawatir dengan keberadaan sang kekasih. "Di mana kau temukan ponsel calon istriku?" tanyanya begitu sampai di meja resepsionis. "Ponsel ini tergeletak di luar, Pak. Saya juga tidak tahu kronologisnya bagaimana ponsel ini ada di luar apartemen." Rafan lalu beringsut dari sana. Ia akan mencoba untuk mengecek dahulu apartemennya. Barangkali ada sesuatu atau petunjuk ada apa sebenarnya dengan kekasihnya ini, dan ke mana perginya? Pria itu menggeledah seluruh apartemen dan tak ada yang mencurigakan, semua tampak rapi seperti biasanya. Ia gegas kembali ke luar. Ia hendak meninggalkan bangunan besar nan tinggi itu, tapi langkahnya terhenti karena panggilan dari satpam yang menjaga bangunan yang menjulang itu. "Pak," panggil satpam itu terengah-engah. "Iya ada apa?""Tadi saya diberitahu resepsionis kalau Bapak nyari pemilik ponsel yang tergeletak di luar.""Iya, Bapak tahu s
Yuan melongokkan kepala ke arah pintu. Nampak siluet seorang pria yang tinggi dan sedikit kurus sedang berdiri tegak dengan kedua tangannya di masukkan ke dalam saku. Ia tampak berjalan dengan perlahan ke arahnya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir pria itu. "Kau mencariku?" tanyanya mengelus pelan pipi mulus Yuan. Tak ada ekspresi terkejut dari Yuan seolah ia sudah paham sedari awal siapa yang menyekapnya. Kebencian dan tatapan tajam justru ia lempar pada pria itu. "Singkirkan tanganmu dari wajahku! Seharusnya aku sudah menduga dari awal jika pelaku utamanya adalah kau. Kau tidak akan berubah sama sekali, kau tetap menjadi pengecut yang hanya berani bermain kasar dengan wanita.""Jangan buat aku marah!""Aku bicara fakta. Kenyataannya memang kau pengecut. Kalau kau gentle, kau tidak akan melakukan ini padaku. Kau ada masalah apa? Apa masalah kita belum selesai? Mari kita selesaikan sekarang, tapi lepaskan aku! Kau laki-laki, kan?"Pandangan Yuan sejak tadi tidak beralih, ba
Kedua pria itu seakan tuli dan buta dengan teriakan Yuan, berbagai ancaman dan kalimat umpatan ia teriakkan di depan wajah mereka. Namun, seberapa besar Yuan menghina kedua pria itu tak menghentikan niatnya. Pakaian mereka sudah mereka tanggalkan. Tangan kedua pria biadab itu pun sudah kurang ajar berkeliaran menjelajah tubuh Yuan. Wanita itu masih mampu berontak meski lemah, air mata sudah bercucuran. Sungguh sehina apa pun dirinya, ia tidak mau dinodai seperti ini. "Langsung ajalah, Bray. Kita langsung aja kasih obat biar makin nikmat. Kita nggak bisa menikmati juga kalau dia nggak nafsu. Buruan, biar aku siapkan kameranya."Mereka lalu membagi tugas, mereka berpencar ke arah yang berbeda. Kamera yang sejak kemarin bertengger di depan Yuan kini sedang ia otak-atik. Sementara laki-laki yang lainnya mengambil obat berkuran kecil. "Minum!" titah pria muda itu dengan kasar. Yuan menggeleng lemah, air matanya terus bercucuran berharap ada belas kasih untuknya. Namun, seakan tidak ada
"Sial! Sayang, ayo kita berkemas dan pergi dari sini." Pagi-pagi buta Danish sudah tergesa-gesa dibarengi dengan amarah. Ia murka melihat perkembangan rencananya yang sudah matang dan hampir berhasil mengkoyakkan harga diri Yuan berantakan saat kedatangan Rafan. Dalam kemurkaannya ia bertanya-tanya siapa yang membawa Rafan ke tempat tersembunyi itu? Menyerang dengan membabi buta pada kedua bawahannya hingga tewas membuat ia bertanya adakah hubungan di antara mereka? Yang ia tahu hanya sekedar Rafan membantu kelangsungan hidup mantan istrinya setelah wanita itu pergi dari rumah. Untuk yang lain ia tak mengetahui banyak. Namun, melihat tindakan Rafan barusan membuat Danish memikirkan hal lain.Tapi sungguh hal itu tidak penting saat ini, ia harus pergi meninggalkan kota ini secepatnya. Dengan bantuan anak buahnya yang lain, ia berencana akan pindah ke desa terpencil. Ke mana pun asal jauh dari sini dan tak bisa dijangkau oleh Rafan."Ada apa? Kenapa kau cemas begitu?""Rafan berhasil
"Emran Dafi Bimantara. Kita manggilnya Dafi," sahut Danish dengan bibir yang sedikit terangkat ke atas. Untuk sejenak sepertinya ia lupa bahwa ia berniat pergi dari tempat itu. 'Kau tampan seperti ayahmu." Bu Veronica tanpa izin atau menatap Feli mengulurkan kedua tangannya dan meraih makhluk kecil yang masih tertidur pulas itu. Kedua bola matanya tergenang air saat makhluk tanpa dosa itu sudah berada dalam dekapannya. Beliau menyesalkan kenapa harus ada drama, kesalahan, dan dosa untuk dapat menimang bayi seperti sekarang ini. Banyak juga yang telah hancur karena hadirnya bayi ini dalam rahim seseorang yang bukan seharusnya. Bu Veronica tidak bermaksud untuk menyalahkan bayi yang wajahnya bak foto kopian Danish itu, hanya saja beliau sayang kenapa bayi ini tidak lahir dari menantunya terdahulu. Sebenci apa pun beliau pada Feli, beliau tak ada hak untuk membenci bayi ini. Otak Bu Feli masih cukup waras dengan tidak membawa kebencian ibunya padanya. Lama Bu Veronica menimang bayi
"Aku di sini, Sayang. Kau aman, tenanglah," kata Rafan mendekat ke wajah Yuan. Tak berselang lama, Yuan berusaha membuka mata. Pelan namun pasti, kedua kelopak mata wanita itu terbuka perlahan dan akhirnya terbuka sepenuhnya. Rafan adalah orang pertama yang ia lihat begitu kedua matanya terbuka. "Jangan mendekat! Pergi, jangan dekati aku," teriak Yuan histeris. Yuan mengubah posisinya menjadi duduk dan mendorong-dorong tubuh Rafan agar menjauh darinya. Dorongan wanita itu cukup kuat, sejak tadi Rafan berusaha untuk mendekat dan menyentuhnya, namun hanya tepisan yang Rafan dapat. Dengan kebingungan dan panik yang menyerang, Rafan berusaha untuk tenang. Sejak tadi ia berusah untuk menyadarkan wanita itu, namun suaranya seakan teredam dengan teriakannya. "Yuan, Sayang, dengar aku. Ini aku Rafan. Coba tenang dulu, diam dulu, dan lihat aku. Tenang Sayang, lihat aku!" ucapanya sedikit keras diakhir kalimat. Rafan mengguncang pelan lengan wanita itu berharap ia bisa sadar dan bisa bers
Mendengar cerita dari ibunya bahwa Danish meninggalkan apartemen bersama keluarga kecilnya membuat pikiran Rafan semakin condong ke arah sana. Pikiran yang tadinya tidak ingin ia pikirkan dan pikiran-pikiran yang berusaha ia tepis jauh-jauh seakan dibantah oleh kepergian Danish yang membuatnya curiga bahwa apa yang ada dalam pikirannya adalah kebenaran. Jika memang itu kenyataannya, itu artinya ia tinggal mencari bukti bahwa Danish pelaku dibalik semua ini dan mencari keberadaannya. "Ibu nggak nanya dia pindah ke mana?""Enggak. Entahlah, tadi Ibu mendadak kesel aja pas ketemu sama istrinya. Padahal tadinya Ibu pengen banget ketemu dan ngobrol lama, tapi melihat wajah istrinya membuat Ibu sakit hati."Terdengar ponsel yang berbunyi nyaring di tengah-tengah ruangan yang sunyi itu. Melihat si penelepon adalah pekerja yang ia utus untuk mencari tahu pelaku utama membuat Rafan melipir sebentar keluar ruangan. "Apa yang kau dapat?""Dari ponsel pelaku yang tewas, saya menemukan beberapa
"Ibu," kata Rafan lirih. "Tadi kau–"Pertanyaan yang ingin diajukan oleh Bu Veronica terpaksa beliau hentikan karena ponsel Rafan yang berdering. Beliau seketika mendengus kesal karena pertanyaan yang tidak tersampaikan. Sementara Rafan justru merasakan sebaliknya. Ia sangat lega ponselnya berdering di waktu yang tepat. Sungguh ia belum siap memberitahukan ibunya bahwa ia dan juga Yuan memiliki hubungan. Lagi-lagi panggilan itu dari pekerjanya. Ia sedikit menjauh yang akhirnya kepergiannya itu di manfaatkan oleh Bu Veronica untuk menuntaskan hasrat keingintahuannya soal panggilan sayang yang tadi ia dengar. Wanita itu menuntun Yuan untuk masuk rumah dan menanyakannya. "Berita apa yang kau bawa?""Saya sudah mengetahui dan mengantongi pelaku utamanya, Pak. Sesuai dengan dugaan saya, Pak. Pak Danish yang menjadi dalang penculikan Bu Yuan tidak lain dan tidak bukan adalah adik Bapak sendiri. Saat ini saya sudah berhasil memasuki apartemennya dan menemukan sebuah bukti kamera yang terhu
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se