“Mas Dion kan? Apa boleh aku memanggil kamu seperti itu?” sahut Venus memotong dengan nada lembut. Dion tertegun dengan perkataan dan sikap Venus padanya. Bulunya meremang dan ia merasakan rasa hangat yang tak biasa di wajahnya.
“Gak boleh ya?” tambah Venus lagi makin mendesak. Wajahnya seperti mengiba dan Dion jadi makin salah tingkah.
“Bukan ... maksudnya, saya ... uh ...”
“Kak Rei, panggilnya Mas Dion. Masa aku gak boleh?” rengek Venus makin membuat Dion menyerah. Ia pun akhirnya mengangguk tanpa ada perlawanan sama sekali. Venus pun tersenyum. Ia sedikit menunduk mencoba melihat posisi tangan Dion yang terluka dan disembunyikan di balik jas.
“Tangan Mas Dion gimana?” tanya Venus tak bisa melihat dengan jelas.
“Baik-baik saja, gak apa!” jawab Dion sambil tersenyum aneh dan salah tingkah.
“Coba aku lihat!” Venus tanpa malu-malu menarik tangan Dion yang sudah diperban. Dion sedikit menahan rasa sakit yang masih tersisa dari kulitnya yang tersayat.
“Saya tidak apa-apa, Nona,” sanggah Dion tapi tak berani menarik jemarinya yang tengah dipegang oleh Venus.
“Tadi darahnya banyak ...”
“Sudah berhenti!” potong Dion tersenyum tipis. Ia menunduk lagi dan menarik tangannya dari Venus. Sikap mereka masih sangat malu-malu. Dion yang tak berani memandang Venus dan Venus yang terus mencuri-curi pandang pada Dion.
“Terima kasih, Mas sudah mau menyelamatkan aku,” ucap Venus setelah beberapa saat.
“Gak, seharusnya saya yang minta maaf. Saya merasa gagal. Hal seperti ini gak seharusnya terjadi,” ungkap Dion ikut meminta maaf. Venus mengangguk lagi.
“Aku juga salah kok. Harusnya aku gak ikut memberikan tanda tangan ke mereka.” Dion mengangguk.
“Biar bagaimana pun pria itu adalah penyusup. Kita belum tahu motifnya. Tapi jika sudah seperti ini, maka benar jika Nona adalah target dari pelaku pembunuhan itu.” Venus mengangguk lagi.
“Kalau begitu, saya harus melapor dulu pada Tuan Harristian. Nona bisa istirahat saja. Saya akan di luar. Jika ada apa-apa, Nona bisa memanggil. Atau saya panggilkan asistenmu untuk datang menemani?” tawar Dion pada Venus. Venus tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dion pun ikut tersenyum dan berdiri meninggalkan Venus di kamarnya.
Dion memerintahkan satu orang untuk berdiri tepat di depan pintu sementara ia akan sedikit menjauh untuk menghubungi Arjoona Harristian. Dan seperti yang di duga Dion, Arjoona langsung panik begitu mendengar hal tersebut.
“Apa Venus baik-baik saja? Apa dia terluka?” tukas Arjoona dengan nada suara agak tinggi. Dion sempat menelan ludahnya agak berat dan menarik napas lebih panjang.
“Dia mengalami luka lecet di telapak tangannya, Pak. Saya sudah berkoordinasi dengan dokter Giandra dan untuk saat ini Nona Venus baik-baik saja. Tapi dia masih harus tinggal di rumah sakit untuk pemantauan,” jelas Dion melaporkan pada Arjoona.
“Lalu polisi bilang apa? Apa penjahatnya tertangkap?” selidik Arjoona masih dengan nada tegang.
“Sudah, Pak. Kami sudah membawanya ke kantor polisi dan det. Brooke sudah menanganinya.” Arjoona terdengar melepaskan napas kesal mendengar laporan Dion tentang putrinya.
“Kamu ini bagaimana sih? Venus itu tanggung jawab kamu kan? Bagaimana dia bisa terluka seperti itu? Ada seseorang menyusup seperti itu ke dalam kerumunan! Apa kamu gak bisa mengurai kerumunan seperti itu? Kamu kan polisi!” sahut Arjoona sambil mendengus kesal berkali-kali. Ia jadi mengomel memarahi Dion yang dianggap telah lalai menjalankan tugasnya.
“Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar telah lalai dan lengah. Saya tidak akan mengulanginya lagi,” balas Dion dengan nada rendah dan hormat. Arjoona tak menjawab permintaan maaf Dion dan malah balik bertanya posisi mereka sekarang.
“Berikan nomor lantai dan kamar Venus sekarang!” perintah Arjoona dengan ketus.
“Kamar 501, Pak,” jawab Dion dan Arjoona langsung memutuskan sambungan telepon. Dion menghela napas panjangnya dan memandang layar ponsel itu. Rasa tak enak terus menyelimuti hatinya. Bagaimana jika Arjoona memecatnya kini padahal misinya belum selesai? Sedang memejamkan mata dan berpikir ponselnya berdering lagi. Sekarang yang menghubunginya adalah detektif Daryl Brooke.
“Selamat siang, Detektif!” sapa Dion lebih dulu.
“Tuan Juliandra, apa yang terjadi? Kenapa Nona Harristian bisa sampai ditusuk!” hardik detektif itu langsung menyemprot Dion. Dion sedikit mengernyitkan keningnya. Ia lupa jika anggotanya Felipe yang membawa pria yang mengancam keselamatan Venus tak tahu keadaan Venus sekarang.
“Uh, det. Brooke, dengarkan aku dulu ...”
“Aku sudah menduga jika pria sepertimu tak akan becus menjaga Nona Harristian!” sahutnya memotong dengan ketus. Dion menarik napas panjang dengan kesal. Sekarang semua orang akan mulai menyalahkannya.
“Dia tidak tertusuk apa pun, det. Brooke!” tegas Dion kemudian.
“Lalu bukankah pria yang dikirimkan oleh anak buahmu itu adalah yang menusuk Nona Harristian?” sahut det. Brooke masih bersikeras.
“Memang ...”
“Jadi kau mau mengelabuiku ya!?” Dion sampai mengurut kepalanya. Ia menghela napasnya agar lebih tenang.
“Dengarkan aku dulu! Nona Harristian baik-baik saja dan hanya lecet saja. Yang tertusuk itu adalah aku detektif Brooke!” cetus Dion sedikit menaikkan level kekesalan pada suaranya.
“Oh, jadi kamu yang terluka?”
“Iya, sekarang tolong lakukan tugasmu untuk menyelidiki siapa pria itu dan apa hubungannya dengan kasus pembunuhan ini!”
“Siapa kamu berani memerintahku?” tukas det. Brooke mulai kesal.
“Aku tidak memerintahmu. Aku memintamu mengerjakan tugasmu dengan baik!”
“Apa kamu sedang menghinaku?” cetus det. Brooke malah menaikkan level suaranya.
“Tidak, tapi aku bisa melapor pada provost jika ini tidak selesai. Kamu tahu aku juga polisi ...”
“Tapi kamu tidak punya yurisdiksi di sini!”
“Itu sebabnya mengapa aku memintamu untuk menyelidikinya!” potong Dion yang berdebat dengan detektif itu. Detektif Brooke akhirnya diam dan menyetujui.
“Tapi aku butuh kesaksian dari Nona Harristian mengenai pria ini. Ngomong-ngomong kalian di mana? Biar aku ke sana mewawancarainya ...”
“Detektif, bukankah anggotaku sudah mengatakan padamu jika aku sendiri yang akan mengantarkan Nona Venus Harristian ke NYPD setelah dia merasa baik? Apa aku harus mengulang itu?” sahut Dion mulai sarkas. Detektif itu memang mulai mengesalkan.
“Oke, baiklah! Tapi aku butuh bertemu dia secepatnya!” sahut det. Brooke masih belum menyerah.
“Aku akan mengantarkannya besok dan aku berharap kamu sudah mendapatkan identitas pria itu sebelum kami datang!” Dion langsung mematikan sambungan panggilannya.
Ia benar-benar kesal jadi bantalan pelimpahan kesalahan untuk kasus tersebut. Setelah menenangkan diri, Arjoona Harristian ternyata datang tergesa-gesa ke rumah sakit untuk melihat putrinya. Ia langsung diberi akses masuk dan Dion menyusuli ikut masuk beberapa saat kemudian.
Tak datang sendiri, Arjoona ikut datang bersama teman baiknya Jayden Lin. Dua pria paruh baya itu masuk ke ruang perawatan Venus. Arjoona langsung memeluk putrinya begitu melihatnya.
“Kamu gak pa-pa, Sayang?” tanya Arjoona sambil menungkupkan kedua tangannya di pipi Venus. Venus hanya tersenyum saja dan menunjukkan luka lecetnya pada sang ayah.
“Cuma luka kecil, Dad ...” adu Venus manja.
Jayden Lin yang berdiri di dekat Arjoona melihat kejadian itu langsung berkacak pinggang dan berbalik pada Dion yang berdiri tak jauh dari mereka.
“Apa yang dilakukan seorang kepala pengawal sampai membiarkan subjek yang dilindungi jadi terluka? Apa kamu tidak membaca protokol pengawalan seperti apa?” hardik Jayden tanpa basa-basi.
Jayden Lin adalah ayah baptis sekaligus telah menjadi paman Venus Harristian. Dulunya, ia adalah pemimpin kelompok gangster triad Cina terbesar di New York. Kini setelah tak lagi memimpin kelompok itu dan digantikan oleh putra angkatnya bernama Ares King, Jayden masih memiliki sifat yang sama.Perusahaan penyedia layanan keamanan Daga Nero yang melibatkan anggotanya menjadi bagian dari tim keamanan yang dipimpin oleh Dion, sempat diambil alih oleh Jayden. Arjoona memiliki masalah besar yang membuatnya pergi selama lebih dari delapan tahun.Selama itu pula, Jayden yang mengatur Daga Nero termasuk menyusun protokol keamanan dan pengawalan VIP. Pelanggan dan pengguna jasa mereka berasal dari kalangan penting seperti bussinessmen sampai anggota kongres dan pejabat tinggi.Maka tak heran jika Jayden begitu marah saat keponakannya Venus bisa sampai terluka di bawah pengawasan Dion.“Apa yang dilakukan seorang kepala pengawal sampai membiarkan subjek yang dilindungi jadi terluka? Apa kamu ti
“Aku gak apa-apa, Daddy! Masa Daddy gak percaya sih? Aku mau pulang aja!” rengek Venus pada ayahnya Arjoona. Arjoona tersenyum pelan dan sedikit memindahkan beberapa helai rambut Venus ke balik telinganya.“Sebaiknya kamu istirahat di sini saja dulu hanya untuk malam ini saja. Besok pagi setelah pemeriksaan menyeluruh, kamu baru boleh pulang. Iya kan, Nathan?” tanya Arjoona sekaligus menoleh ke belakang melihat dr. Nathan yang berdiri di sebelah Jayden Lin. Dr. Nathan langsung mengiyakan dengan senyuman dan menaikkan kedua aliasnya bersamaan.“Iya, lagi pula kamar ini kan bukan kamar perawatan biasa. Kamu dapat kamar VVIP yang senyaman kamar pribadi. Besok setelah Om memastikan kamu baik-baik saja, kamu baru boleh pulang” sambung dr. Nathan menimpali.Venus hanya bisa diam saja. Arjoona pun mengecup kening Venus sebelum ia pamit pulang.“Daddy pulang dulu, besok kalau kamu mau Daddy bisa jemput ...” tawar Arjoona dan Venus langsung menggelengkan kepalanya.“Gak Dad, aku pulang sendiri
Dion masuk ke ruang perawatan Venus tepat saat wanita itu hendak masuk ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Venus langsung tersenyum dan menyapa Dion.“Sudah makan malam, Mas?” Dion mengangguk sekali dengan rasa agak aneh serta malu-malu. Ia sedikit mendekat dan Venus bersikap seakan mereka telah akrab.“Tolong bantuin aku di kamar mandi, boleh gak, Mas?” pinta Venus tiba-tiba. Mata Dion spontan membesar dan memutar tak mengerti.“Uh ...”“Sebentar aja!” Venus tak menunggu persetujuan Dion. Ia terus menarik pergelangan tangannya yang tak terluka ke kamar mandi di dalam ruangan itu.“Tapi ...” Venus langsung memberikan tas make upnya pada Dion. Dion terkesiap dan spontan memeluk tas itu.“Di sini gak ada meja basin, Mas. Jadi aku gak tahu di mana harus menaruh tasnya. Maaf ya?” Dion hanya tertegun saja pada celetukan dan senyuman Venus yang memanfaatkannya sebagai tempat untuk memegang tasnya. Venus mencoba membuka tutup botol skincare yang akan digunakan dan cukup kesulitan.“B
Dion duduk di sebelah ranjang Venus dengan posisi menyamping. Sementara Venus ikut menyamping menghadapnya. “Masih sakit?” tanya Dion pada keadaan tangan Venus. Venus mengangguk dan sedikit tersenyum. Dion sedikit berpikir dan bingung harus berbuat apa untuk membantu. “Apa yang bisa saya lakukan?” Dion mulai pasrah. Ia tak punya ide sama sekali. Venus tersenyum saja dan meminta hal yang lebih aneh. “Kalau mau, Mas Dion boleh tiupin telapak tanganku!” Venus menyengir lalu menyodorkan telapak tangannya pada Dion langsung di depan wajahnya. Dion sampai terkesiap dan kepalanya mundur ke belakang. “Huh ...” Venus malah terkekeh dan masih meletakkan tangannya untuk ditiupi oleh Dion. “Tapi ...” “Ayo, katanya mau tanggung jawab!” potong Venus cepat. Dion pun dengan polosnya meniup perlahan luka lecet itu agar tak terlalu perih. “Yang lebih deket dong, Mas! Gak terasa!” protes Venus makin mengerjai Dion. Dion diam sedetik lalu mendekat
Dion akhirnya pindah untuk duduk di sebelah Venus usai ia bicara seperti itu. Dion mulai khawatir dengan keadaan Venus. Selain jika dia akan mendapatkan banyak kesulitan dengan makin lamanya bergulir kasus karena ia menarik kesaksiannya, Dion juga tak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik jika itu terjadi. “Nona, dengarkan saya. Jika Nona tidak bicara dan malah menarik kesaksian itu maka kebenaran tidak akan terungkap. Sebaliknya, kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Dion sambil memegang tangan Venus. Venus terus menatap Dion dan terpaku hanya padanya. Dion pun tak lagi membuat jarak kali ini. Ia membujuk Venus sepenuh hati. “Tapi aku takut, Mas. Bagaimana jika dia marah dan balik menyerang? Atau dia kabur?” rengek Venus masih meneteskan air matanya. Venus terlihat sangat ketakutan karena ini kali pertama ia akan bersaksi. “Nona, saya ada di sini. Saya akan selalu melindungi Nona 24 jam tanpa jeda. Tidak akan ada lagi insid
“Mas kok nanya-nanya terus, piye toh Mas? Mas Rico itu kan temenmu!” tegur Laras mulai menaikkan nada bicaranya. “Iya, aku tahu. Aku kan cuma nanya kamu ngapain saja!” jawab Dion dengan suara memelas. Ia jadi agak menyesal menanyakan perihal kekasihnya yang pergi bersama Rico, sahabatnya. Tak ada maksud Dion untuk curiga. Tapi kejadian yang terjadi pada Venus membuatnya sedikit was-was. “Tapi nada bicaramu itu lho! Curiga sama aku! Mas pikir aku bakalan selingkuh?” “Bukan begitu, Sayang. Aku gak nuduh kamu kayak begitu. Aku cuma gak mau Rico jadi kebeban harus nganterin kamu,” sahut Dion memberikan alasannya. “Ya Mas Rico-nya baik-baik saja toh!” bantah Laras masih sengit. “Ya sudah, aku minta maaf. Aku gak bermaksud sama sekali curiga sama kamu, enggak! Aku tahu kamu setia sama aku dari dulu. Kita sudah pacaran dari SMA, masa kamu mengkhianati aku. Kan ga mungkin!” sahut Dion meyakinkan lagi. “Ya gak mungkin toh, Mas. Aku tuh cinta sa
“Dasar pengawal bodoh! Ini bukan urusanmu!” bentak Gareth makin marah. Dion yang juga marah tapi tak menyalak lebih memilih untuk menepikan Venus terlebih dahulu. “Kyle, tolong antar Nona Harristian kembali ke kamar!” perintah Dion dengan nada dingin. “Apa-apaan ini! Aku sedang bicara dengan calon istriku!” hardik Gareth menunjuk marah pada Dion. Dion tak peduli. Ia mengawasi Kyle yang mengantarkan Venus kembali ke kamarnya. Gareth mencoba mencegah dengan ikut tapi Dion dengan cepat menghalangi dengan berdiri di depannya. “Apa yang sedang kau lakukan?!” “Silahkan keluar, Tuan Moultens ...” “Felipe, tolong tunjukkan pintu keluar pada Tuan Moultens!” perintah Dion menyambungkan kalimatnya. Gareth benar-benar mendelik keras pada Dion yang ikut campur pada masalahnya dan Venus. “Silahkan, Tuan Moultens!” tukas Felipe makin menimpali. “Kau pikir aku tidak tahu di mana pintu keluar?! Dasar bodoh!” umpat Gareth begitu kesal da
“Aku pacaran sama Laras semenjak SMA. Kami sama-sama kuliah di Surabaya dan setelah aku lulus di Kepolisian, kami masih bersama. Sebelum aku naik pangkat dan pindah ke Jakarta, kami bertunangan. Kebetulan Laras juga harus pindah kerja di salah satu cabang bank di Jakarta juga,” ujar Dion bercerita dengan santai soal kehidupan asmaranya. Dengan senyuman dan raut bahagia, Dion seperti tengah bercerita pada temannya sendiri.Venus tersenyum dan mengangguk. Dion masih bercerita beberapa hal dan Venus hanya mendengarkan.“Dia wanita yang beruntung,” puji Venus masih tersenyum. Dion mengulum senyumannya dan menundukkan kepala.“Kapan Mas Dion akan menikah?” tanya Venus lagi beberapa saat kemudian.“Aku harap secepatnya.” Dion lalu menoleh pada Venus yang juga ikut tersenyum manis padanya.“Aku juga ingin menikah, Mas. Punya anak, jadi ibu rumah tangga. Rasanya seperti life goals yang sulit untuk aku d
Setelah celingukan memastikan tidak ada yang mengikutinya, Dion masuk ke sebuah restoran mewah di kawasan Brooklyn milik chef terkenal Brema Mahendra. Restoran berbintang Michelin itu tidak sembarangan bisa dimasuki oleh orang lain kecuali pengunjung yang telah memesan tempat dan sahabat dekat si pemilik restoran.Maka ketika Dion masuk, para penguntitnya tertahan di depan. Sementara Dion bebas berjalan masuk ke dalam sampai ke area terlarang yaitu dapur. Di sana, Brema sudah menunggu dengan mejanya yang telah disiapkan untuk pertemuan mereka. Ares baru tiba beberapa saat kemudian. Ia masuk dari jalan belakang.“Apa masih ada yang mengikutimu?” tanya Brema setelah Dion duduk di kursinya.“Iya, mereka ada di luar.” Brema langsung memanggil salah satu stafnya untuk mengusir non pengunjung dan yang menguntit Dion dari lingkungan restorannya.“Jauhkan mereka dari parkiran!” perintahnya lebih lanjut.“Baik
Dengan panik, Venus masuk ke kamar mandi lalu menguncinya. Ia langsung memeriksa kulit lehernya lewat cermin dan melihat dengan jelas seperti apa bentuk bekas ciuman yang memerah di kulitnya. Dion memergoki langsung ada bekas pria lain di tubuh Venus. Seketika Venus menahan teriakan dengan membekap mulutnya sendiri.Air mata berlomba-lomba jatuh dan kakinya tidak kuat menopang berat tubuh. Venus jatuh di lantai terduduk menangisi dirinya sendiri. Sangat menyakitkan saat ia harus menyakiti Dion seperti itu. Hati Venus hancur melihat rasa kecewa di mata Dion padanya.“Mas Dion, maafin aku ... maafin aku ...” Venus merapal tanpa suara sambil meremas pakaian di dadanya.“Venus? Cinta? Tolong keluar, Sayang. Ayo kita bicara ...” terdengar suara Dion yang bergetar namun masih lembut memanggil istrinya. Dion tidak meledak marah meski ia menemukan dengan jelas pengkhianatan Venus. Namun hal itu hanya membuat Venus makin terluka.“Aku
‘Mas Dion? Mas Dion, tolong aku! Tolong, Mas ...’Seketika mata Dion terbuka dan ia kaget. Suara Venus memohon pertolongan darinya membuat ia terbangun dari mimpinya. Dion kebingungan. Ia masih berada di kamar. Bedanya ia tidak tidur di ranjang melainkan duduk di sofa dan tertidur. Di tangannya masih tersemat tasbih rosario kala ia berdoa untuk Venus.“Venus? Sayang!” panggil Dion bangun dan berjalan keliling kamar mencari Venus yang ternyata belum pulang. Hari sudah pagi namun belum ada kabar dari istrinya sama sekali. Dion mencoba kembali menghubungi Venus dan masih sama saja seperti ratusan panggilan yang ia lakukan seharian.“Gak, aku gak bisa diam saja! Aku harus cari dia.” Dion akhirnya mengambil keputusan dan keluar dari kamar. Dion kembali menanyakan pada Edward yang juga tidak kunjung mendapatkan kabar dari Venus.“Manajemennya sudah menyebarkan orang-orang mereka untuk mencari Nyonya Venus. Tapi sampai s
“Beatrice memasang banyak kamera di ruanganku dan mungkin hampir di seluruh bangunan kantor, aku gak tahu. Sekarang aku dan Kyle sedang berpura-pura gak akur untuk mengelabui dia.” Dion menjelaskan dengan detail apa yang terjadi di perusahaannya sekarang.“Kenapa gak dipecat aja, Mas?”“Aku gak akan pernah tahu siapa dalangnya kalau dia dipecat. Aku sudah memecat Kyle sehingga dia bisa menyusup. Gara-gara kamera tersembunyi itu, aku gak bisa melayani pembicaraan Venus di sana. Tapi dia malah jadi salah paham.”“Kalau sudah begini, masalah jadi lebih rumit ...” Dion mengangguk mengerti.“Beatrice ingin menyasar Venus, itu yang baru aku ketahui sekarang.” Rei mendengus panjang dan masih terus memperhatikan Dion.“Kyle bilang, Beatrice mengaku jika dia menyasar keluarga kamu dan Venus adalah korban pertamanya.” Rei makin membesarkan matanya cukup kaget mendengar hal seperti itu.
Dion berhasil masuk melewati jalan belakang ke kantor label rekaman Skylar. Ia bahkan belum kembali ke King Corp untuk mengonfirmasi perihal alarm yang dibunyikan saat kebakaran terjadi. Tujuan Dion adalah untuk bertemu dengan Rei.Rei juga telah menghubunginya tadi pagi bertanya jika ia dan Venus bertengkar. Ia tidak bicara banyak tentang apa yang terjadi. Kini Dion mulai penasaran apa yang terjadi dalam satu hari ini.“Rei, maaf aku mengganggu, aku harus bicara sama kamu.” Dion berujar sepruh berbisik pada Rei yang tengah ada di salah satu koridor di dekat ruangannya.“Mas Dion? masuk lewat mana?” Dion menarik lengan Rei agar mereka bisa berjalan bersama.“Lewat belakang. Kita ke ruangan kamu ya.” Rei mengangguk dan membukakan pintu untuk Dion. Dion sempat melihat ke semua arah sebelum ikut masuk dan menutup pintu.“Apa Venus kemari?” tanya Dion bahkan sebelum ia duduk di salah satu sofa di ujung ru
Terjadi sedikit kebakaran di area perakitan A 2.1 di dalam pabrik yang belum diketahui penyebabnya. Kebakaran itu sempat membuat panik beberapa pekerja namun dapat di atasi dengan baik. Sesuai dengan langkah pengamanan, seluruh mesin dan listrik dimatikan saat kecelakaan itu terjadi.Dion langsung bergegas melihat yang terjadi. Beberapa pekerja tengah memadamkan api dengan alat pemadam darurat sampai akhirnya api mengecil lalu hilang.“Pastikan tidak ada percikan sama sekali!” perintah Dion masih mengawasi proses tersebut. Alarm kebakaran masih berbunyi keras dan seluruh pekerja sudah di evakuasi.“Pak, ini hanya kebakaran biasa,” lapor salah satu kepala divisi yang sudah mengecek.“Apa ada ledakan?” Dion balik bertanya untuk memastikan.“Tidak ada, Pak. Aku rasa hanya ada masalah listrik!”“Pastikan semuanya aman sebelum memasukkan para pekerja kembali. Coba cek jika ada yang terluka ...
Venus tidak membantah sama sekali. Rei terus mengomel karena dirinya yang kabur begitu saja dari lokasi pemotretan. Belum lagi, ia membatalkan acara tiba-tiba sehingga penyelenggara harus merugi karena tiket yang terlanjur dijual.“Ada apa sama kamu, Ven? Kamu gak pernah kayak gini!” tukas Rei dengan ekspresi keheranan. Venus begitu ngotot mau mengakhiri kerjasama dengan beberapa penyelenggara musik.“Aku cuma ingin istirahat, Kak. Itu saja!” sahut Venus bersikeras. Ekspresinya tampak berbeda dan dia seperti tertekan.“Istirahat? Tapi kamu kan ga perlu sampai harus memutuskan kontrak enam bulan ke depan! Kamu mau istirahat selama apa sih?” Venus mendengus kesal dan rasanya ingin berteriak.“Kakak ga ngerti!” Venus makin meninggikan suaranya.“Ya mana aku ngerti kalau kamu gak memberikan penjelasannya, Baby!” DREET DREET … ponsel Venus bergetar saat ia akan mulai bicara. Venus mengin
“Love ... Cintaku! I’m home!” ucap Dion memanggil Venus dengan mesra seperti biasanya. Ia masuk ke dalam dengan sebuket bunga dan mencari istrinya. Venus ternyata berada di dekat meja makan tengah mengatur makan malamnya. Dion langsung semringah lebar melihat istrinya sudah pulang. Ia menghampiri dan memberikan bunga tersebut pada Venus.“Hei, Love ...” ucap Dion mengecup pipi Venus lalu memberikan bunga untuknya. Venus ikut tersenyum lalu membalas mengecup pipi Dion.“Wah, makan malamnya kayaknya enak,” puji Dion melihat beberapa menu yang terhidang.“Sebaiknya kamu ganti pakaian dan setelah itu kita makan malam,” ujar Venus sembari membelai dada Dion. Dion tersenyum lebar dan mengecup Venus sekali lagi sebelum ia berbalik keluar ruang makan menuju kamar. Senyuman Venus hilang terutama saat ia menoleh ke arah kamera yang terus memantaunya.Makan malam Dion dan Venus berlangsung seperti biasanya. Dion
Dion hanya duduk sesaat sambil memandang meja kosong di depannya. Pandangannya menoleh pada seisi ruangan. Semua sudah beranjak pergi dan sebuah suara kini ikut memanggil.“Dion, ayo!” Ares memanggil Dion yang kemudian mengangguk. Dion beranjak dari kursinya ikut pergi bersama Ares dan seluruh sahabatnya yang lain.“Bagaimana sekarang?” tanya Dion pada Rei dan Ares yang masuk satu lift dengannya. Di dalamnya juga ada Cass, Brema serta Devon.“Ayahku masih marah. Aku tidak menyarankan untuk bicara dengannya sekarang. Pengakuan Andy benar-benar membuat dia syok,” ujar Rei kemudian.“Apa kamu tahu soal itu?” celetuk Brema kemudian.“Tidak, dia tidak tahu. Yang tahu hanya aku, Jupiter dan Aldrich!” aku Ares dengan nada rendah. Rei sontak menoleh pada Ares yang juga melirik padanya.“Kenapa kamu tidak cerita padaku Ares?”“Untuk apa? kamu akan membunuh Andy begit