"Malam ini Amira mau tidur di pelukan Bunda sampai pagi." Amira memainkan rambut Risa sambil sesekali menoleh ke arah Gilang. Gadis kecil itu bicara dengan nada lirih karena takut ayahnya akan marah.
"Ehem, tapi Bunda lelah." Gilang menyahut.
"Dulu sebelum tenggelam, Bunda menemani Amira tidur sampai pagi, kok. Bunda juga tidak pernah masuk ke dalam kamar ayah." Amira sedikit bersikeras pada Gilang.
"Tidak pernah masuk kamar Kak Gilang?" Risa menatap Gilang yang tengah menengadah kepalanya. "Seperti apa hubungan Kak Gilang dan istrinya sebenarnya?" batin Risa lagi.
"Baiklah." Gilang mempersilahkan Risa membawa Amira masuk ke dalam kamar Amira.
Amira berbaring di pelukan Risa dan meminta berdongeng seperti kemarin. Gadis kecil itu mendengarkan Risa berdongeng sampai tertidur.
"Bik Ijum?" Risa terkejut saat Bik Ijum tiba-tiba masuk ke dalam kamar Amira.
Bik Ijum Risa. Dia tersenyum dan berkata. "Terima kasih telah kembali."
Risa menatap ke arah Bik Jum. Perempuan itu tampak menyimpan sebuah luka dari sorot matanya. Hal itu membuat Risa heran.
Bik ijum lalu duduk di samping Risa. Dia meraih tangan Risa dan menggenggamnya erat-erat. Air mata Bik Ijum menetes di pelupuk matanya membuat Risa semakin bertanya tentang apa yang terjadi pada Bik Ijum.
"Bibik kenapa?" Risa hendak menghapus air mata Bik Ijum, tapi perempuan itu berlalu begitu saja.
***
Risa menoleh ke arah jendela kamar yang bertutup kan tirai putih yang menjulang setinggi tiga meter.
Di atas langit sana, bintang-bintang bertaburan ditemani rembulan pucat yang bergelayut manja di bawah awan rendah.
"Bagaimana pernikahan ini akan berlanjut sedangkan hingga saat ini aku dan kak Gilang tak banyak saling bicara." Risa merasa hatinya begitu sunyi dan sepi.
Gilang tidak pernah meminta Risa melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri. Dia tidak pernah meminta Risa menyiapkan makan siangnya ataupun menyiapkan pakaiannya. Padahal mereka sudah menikah lebih dari satu minggu.
"Hatinya tak dapat kuraih. Jangankan untuk meraihnya untuk melihatnya saja aku tidak bisa. Hati Kak Gilang seakan ditutupi oleh sebuah tembok kokoh yang menjulang begitu tinggi sehingga aku tidak bisa menggapainya dan tidak bisa menghancurkan kokohnya dinding pembatas." Risa masih mematung di dekat jendela.
Terkadang Risa berpikir apakah arti sebuah pernikahan jika seorang suami istri tidak pernah saling menyapa atau jika seorang suami istri tidak pernah saling menyentuh.
Selama mereka menikah, Gilang tidur di sofa atau di ruang kerjanya dengan alasan dia memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga tengah malam. Dia baru akan naik ke atas ranjang saat Risa sudah tertidur dengan nyenyak dan akan kembali ke ruang kerja sebelum azan subuh berkumandang. Sehingga Risa tidak pernah mendapati Gilang tidur di sampingnya.
"Kak, apakah Kakak tidak lelah bekerja?" Risa akhirnya bertanya pada Gilang di ruang kerjanya.
Gilang menghentikan pekerjaannya, dan menatap Risa lekat-lekat. "Ada yang salah?" tanya Gilang.
"Tidak, Kak."
Gilang menghela napas panjang saat melihat gestur tubuh Risa yang terlihat gelisah. Lelaki itu pun bangkit dan membawa laptopnya ke dalam kamar.
Risa mendengar langkah kaki Gilang mendekati pintu kamar. Jantungnya berdebar tidak karuan. Dia takut kalau tiba-tiba Kak Gilang meminta haknya karena di awal pertama kali menikah, Gilang mengatakan bahwa tidak ada drama pembagian tempat tidur.
"Bodoh, ngapain juga aku harus bertanya seperti itu tadi." Risa memukul kepalanya sendiri.
Gilang melangkah masuk ke dalam kamar. Lalu duduk di sofa dengan laptop dihadapannya. Alisnya saling berkerut memperlihatkan dia sangat sibuk mengurusi perusahaannya.
Seperdetik berikutnya, Gilang menatap Risa yang masih duduk di meja rias dengan kikuk.
"Tidurlah, aku masih banyak pekerjaan." ujar Gilang.
"Iya, Kak."
Risa melangkah menuju ranjang. Lalu berbaring di belakang punggung Gilang karena dia masih fokus dengan laptopnya. Saat Risa hendak memejamkan mata, tiba-tiba gadis itu merasakan pergerakan di belakangnya.
Ternyata Gilang juga naik ke atas ranjang dan duduk berselonjor di kepala ranjang tersebut dengan laptop yang masih berada di atas kedua pahanya.
Risa menoleh ke arah Gilang yang keningnya berkerut. Risa membatin. "Apa pekerjaan sebagai seorang pengusaha amatlah berat sehingga ia begitu sibuk bahkan sampai lupa pada jam istirahatnya?"
Risa tertidur dengan nyenyak hingga tidak sadar sampai jam 02.00 WIB dini hari. Perempuan itu menggeliat kecil dan sedikit menoleh ke belakang.
"Kak?" Risa terkejut karena Gilang masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Gadis itu mensejajarkan kepalanya dengan Gilang demi melihat kerutan di kening suaminya yang semakin banyak.
"Ada apa?" Gilang bertanya.
"Apa Kakak tidak mengantuk?" Risa balik bertanya padanya.
Gilang meletakkan laptop di samping Risa, lalu meregangkan otot-ototnya sehingga terdengar bunyi bergemeretak. Lelaki itu lalu mendesah perlahan seraya menatap Risa yang masih menatapnya meminta jawaban.
"Memangnya mengapa kalau aku tidak mengantuk? Apa kamu ingin melayani ku?" Gilang mendekatkan wajahnya di hadapan Risa.
Refleks, Risa beringsut mundur dari hadapan Gilang, lalu kembali memunggunginya dan menarik selimut hingga ke dada.
"Kirain mau ngasih pelayanan." Gilang terkekeh disamping Risa. Ia kemudian turun dari ranjang dan meletakkan laptop di atas meja.
Risa sedikit menajamkan telinganya untuk Mendengar langkah Gilang. Dia merasa nyalinya menciut saat Gilang kembali melangkah mendekati ranjang.
"Mati aku, Kak Gilang pasti meminta haknya." Risa mengutuk dirinya sendiri yang tadi malah menyapa Gilang ketika terbangun dari tidur.
Tak berapa lama kemudian, Gilang merebahkan tubuhnya di samping Risa. Dia menarik selimut dan menutupi tubuhnya.
"Apakah sepasang suami istri yang sah menikah tidurnya dengan cara seperti ini?" Gilang bertanya.
Risa terdiam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan Gilang karena dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku tahu kamu tidak tidur." Gilang berbisik di telinga Risa membuat bulu-bulu yang menempel di kulitnya meremang. Ini adalah kali pertama Risa dibisikkan oleh seorang lelaki tepat di telinganya.
Gilang menyentuh bahu Risa dengan lembut, lalu berbisik. "Bisakah kamu tidur tidak munggungiku?"
Hening
"Risa, aku suamimu." Intonasi suara bariton Gilang menyadarkan Risa kalau dia harus menuruti perkataan seorang suami.
Risa segera membalikkan badan dan berhadapan dengan Gilang yang sedang berbantal lengan.
"Tidurlah. Ini sudah malam." Satu tangan Gilang membelai wajah Risa dengan lembut.
Gilang kemudian menaikkan selimut kami sampai ke dada.
"Good Night," ujarnya tersenyum sebelum memejamkan mata.
Risa menepuk-nepuk pipinya dengan kuat untuk meyakinkan ini hanya sebuah mimpi atau tidak.
Jantung Risa semakin terasa hendak melompat dari tubuh saat tiba-tiba tangan Gilang melingkar di pinggangnya.
"Kak, tolong lepaskan." Risa berusaha melepaskan tangan Gilang, tapi tangan itu semakin melilit dengan erat, bahkan tubuh besar Gilang pun mulai menindih Risa membuat Risa semakin ketakutan.
Hai pembaca semua. Terima kasih mau ikuti kisah ini. Untuk bab berikutnya akan lebih seru dan jika kalian tidak punya koin, kalian bisa baca pakai iklan kok. Secepatnya Nisa akan kasih visual tokoh Gilang, Risa, dan Amira. Terima kasih Salam sayang Althafunnisa
"Kak." Risa menahan napas saat Gilang semakin merangkulnya ke dalam pelukan dan lelaki itu pun menarik selimut yang tadi sempat terbuka. "Mega ... kenapa kamu ninggalin aku?" Risa tiba-tiba terkejut saat Gilang menangis sambil memeluknya. "Apa kamu nggak tahu kalau aku sangat mencintaimu?" Gilang berbicara sambil memeluk erat tubuh Gilang. "Ternyata ... Kak Gilang mengira aku Mega." Risa beringsut bangkit dari ranjang dan meletakkan guling di pelukan Gilang. Hatinya sakit dan patah karena Gilang ternyata tidak bisa melupakan mantan istrinya yang saat ini Risa tidak tahu di mana keberadaannya. Risa mencoba menerima kenyataan pahit atas pernikahannya, tapi dia berharap lelaki itu mencintainya. Namun ternyata, Risa dinikahi hanya untuk dijadikan ibu bohongan untuk Amira. *** Risa menatap sinar matahari pagi yang menerpa permukaan kolam di depan rumah yang Di dindingnya berdiri sebuah background menyerupai gua. Dia menata bunga bunga cantik yang berada di taman di sudut rumah d
Risa semakin tak mengerti dengan sikap Tante Tika yang bisa-bisanya mengatakan kalau Della bukan anak kandungnya."Apa maksud Tante?" Risa maju dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia ingin menghadiahkan bogem mentah pada perempuan iblis itu."Iya, Dela bukan anakku. Dela adalah anak sahabatku yang meninggal ketika Della masih bayi," ujar Tante Tika membuat Risa dan Della tidak percaya.Tante Tika tersenyum miring. "Aku di beri sahabatku warisan untuk menjaga dan merawat Dela, makanya aku jauh lebih sayang pada Dela yang bukan siapa-siapa dibandingkan kamu, keponakanku sendiri," ujar Tante Tika menuding Risa dengan jarinya.Risa terperangah mendengar perkataan Tante Tika karna dia memang merasakan perbedaan sayang Tante Tika padanya dan Della. Risa bisa memahami karna Della adalah anak kandungnya, sedangkan Risa hanya kemenakan Om Herman.Dela pun terperangah saat mendengar perkataan Tante Tika. Ia menggeleng seakan tidak mempercayai kenyataan tersebut. "Apa?" Gadis itu merosot ke la
"Kita harus segera memakamkan Om Herman." Gilang membujuk Risa dan Della agar berhenti menangis.Setelah jenazah Om Herman dibersihkan oleh petugas rumah sakit, mereka membawa Om Herman pulang ke rumah dengan memakai ambulans rumah sakit. Risa dan Dela ikut bersama ambulans untuk mendampingi Om Herman yang terakhir kalinya. Awalnya, Risa ingin Om Herman dibersihkan di rumah saja dan di kafankan di rumah, tapi Gilang memberi pendapat agar sebaiknya Om Herman dibersihkan oleh pihak rumah sakit agar langsung dimakamkan di pemakaman umum."Kalau kita bawa ke rumah otomatis kita harus membersihkan kan rumah dulu." Gilang menatap Risa dengan lekat. Gilang membantu Risa dan Dela mengurus pemakaman Om Herman. Risa tidak menyangka kalau ternyata Gilang sebegitu peduli padanya dan Della yang telah kehilangan Om Herman. Gilang juga yang sudah membayar semua biaya pemakaman termasuk minta seorang ustadz untuk membantu proses pemakaman tersebut."Kamu tenang saja. Semua biaya sudah aku handle."
Gilang hanya membisu membuat Risa mundur dan memilih untuk menenangkan dirinya sendiri dengan cara yang lain. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya dengan mengemis pelukan pada Gilang."Risa ...!" Gilang menahan tangan Risa yang hendak pergi. Detik berikutnya Gilang menarik Risa dalam ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluk Risa dengan erat sambil mengusap punggung dengan lembut."Aku semakin merasa ini adalah tempat yang paling nyaman untukku. Aku merasa kalau pelukan ini benar-benar membuat aku mampu melupakan semua kesedihanku. Bolehkah aku berlama-lama di sini?" Risa menangis tersedu-sedu di pelukan Gilang."Jangan bersedih lagi, kamu harus mengikhlaskan Om Herman agar dia tenang di sisinya." Gilang membingkai wajah Risa dan mengusap air mata yang membanjiri wajah gadis dengan lembut. "Kamu boleh berada di pelukanku selama apa pun yang kamu mau," tambah Gilang lagi seraya mencium pucuk kepala Risa membuat Risa semakin merasa nyaman.Risa tersenyum mendapati perhatian dari Gilang
"Menurutmu bagaimana?" Gilang balik bertanya kepada Risa."Gimana kalau Della tinggal dirumah Kak Gilang aja. Kan ada Gio yang super duper ganteng menjaganya dari orang-orang suruhan Tante Tika." Gio langsung angkat bicara "Aku nggak setuju!" sanggah Gilang."Elah, Kak. Kenapa nggak setuju? Kan biar kami bisa berangkat barengan ke sekolah?" Gio tetap bersikukuh pada pendiriannya."Barengan? Enak di kamu nggak enak di aku!" cicit Gilang."Aku kan ... cuma ....""Della tinggal di apartemenku saja." Gilang terus menatap ke depan tanpa menoleh pada siapa pun."Di apartemen? Tapi, Kak!"Pletakk"Mulut Lo berisik, bisa diam nggak!" Gilang menjitak kening Gio karena pemuda itu terus membantah ucapan kakaknya. "Kalau Della tinggal di apartemen, itu jauh lebih aman karna tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke sana dan Della juga berangkat sekolah lebih dekat," tambah Gilang lagi."Aku menurut saja bagaimana baiknya menurut Kakak," sahut Risa. Gadis itu membelai rambut Della dengan lembut
"hah?" Risa terkejut saat Gilang menunjuk bibirnya. "Ssstt," Gilang menempelkan telunjuknya di bibir Risa, lalu kembali menunjuk bibirnya. Risa melihat ke arah Gio yang tidur membelakangi mereka. Gilang kembali menyentuh tangan Risa dan menunjuk bibirnya. "Ya Tuhan? Aku harus mencium bibir Kak Gilang?" Tubuh Risa gemetar karena dia tidak pernah mencium lelaki mana pun sebelumnya. "Ckk." Gilang berdecak kesal hingga akhirnya menutup wajahnya dengan selimut yang diberikan oleh Risa. "Masuk ke dalam kamar!" Perintah lelaki itu pada Risa. Risa merasa ambigu apakah harus masuk ke dalam kamar atau mencium bibir Gilang, tapi kemudian dia menyadari kalau tadi Gilang hanya bercanda. Terbukti lelaki itu menutup wajahnya dengan selimut. *** Sepanjang hari, Risa disibukkan dengan membeli barang-barang dan belanjaan untuk Della selama tinggal di apartemen. Gilang menyewa seorang asisten rumah tangga yang umurnya sebaya dengan Risa untuk menemani Della di sana. "Terima kasih karena Kak
"Good Night," ujar Gilang setelah ciuman mereka terlepas."Aku kira ... Kakak ....""Aku tahu kamu belum siap, lagi pula aku tidak ingin melewati malam bersejarah dalam hidupku dengan keterpaksaan." Gilang bangkit dari ranjang dan mengecup kening Risa sekilas. "Tidurlah. Aku masih banyak pekerjaan."Risa merasa lega karena Gilang tidak menuntut haknya. Dia memang belum siap untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri."Malam bersejarah? Bukankah ini bukan yang pertama bagi Kak Gilang? Kenapa dia bilang malam bersejarah? Apa itu artinya Kak Gilang menganggap aku hal yang paling bersejarah di hidupnya?" Risa bertanya di dalam hati. Dia sedikit untuk memastikan Gilang sudah menutup pintu dengan rapat. "Bodoh. Mungkin saja Kak Gilang menganggap kalau malam dia merenggut kesucianku adalah malam bersejarah," umpat Risa pada dirinya sendiri.Sementara itu, Gilang yang kembali duduk di meja kerja segera membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah figura putih dengan Poto seorang
"Aku tidak bermaksud begitu," lirih Risa.Betapa sakit hatinya saat Gilang terang-terangan mengatakan tentang perempuan yang dicintainya. Risa tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah sebatas status, tapi tetap saja sakit hati mendapati kenyataan hidupnya saat ini."Maafin aku, Mega." Gilang mengusap kasar wajahnya dan larut dalam lamunan saat Mega memintanya untuk menjaga Amira."Orang tua Amira." Suara dokter membuyarkan lamunan Gilang dan Risa. Mereka berdua segera menemui dokter tersebut bersama-sama."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Wajah Gilang begitu cemas saat bertanya pada dokter."Amira hanya mengalami demam panas tinggi. Dia hanya butuh istirahat total dan tidak terus teringat pada masa lalu," sahut dokter menatap Gilang dan Risa dengan seksama."Masa lalu?" Gilang bergumam."Benar, sepertinya Amira memiliki masa lalu yang menyedihkan.""Lalu, apa Amira harus dirawat?""Tidak perlu. Kami akan memberikan obat penurun panas yang harus segera Amira minum jika sudah terisi p
Risa memarkirkan mobil di halaman sekolah yang bercat merah putih tersebut. Ia memasuki ruangan yang di tuju. Acara belum di mulai. Ia memilih duduk di deretan bangku paling depan. Setelah menunggu beberapa menit, Acara pun di mulai. Kepala sekolah menyampaikan pidatonya tentang perkembangan sekolah dan meminta maaf atas nama seluruh majelis guru jika pernah menyinggung perasaan wali murid. Tibalah saatnya pengumuman siswa berprestasi dengan nilai terbaik. "Siswa tersebut adalah ..." Hening "Amira Syakila Gading Putri" Air mata Risa meluncur dengan deras membasahi pipi. Amira naik ke atas panggung, menerima piala dan berjalan menuju mikropon yang telah di sediakan. Amira menunduk sebelum berbicara. Setelah mengangkat wajahnya, Risa baru tahu kalau putrinya itu sedang menangis. "Piala ini .. Amira persembahkan untuk Bunda. Bunda yang telah menjaga dan merawat Amira dengan baik dan penuh kasih sayang. Bunda yang begitu tulus menyayangi Amira. Bunda yang begitu sabar dan tabah
Dear Diary ...Sejak awal pertama aku dilelang oleh Tante Tika, aku tidak pernah menyangka kalau hidupku akan menjadi seperti saat ini.Dinikahi laki-laki yang tidak dikenal bukanlah impianku. Namun, aku selalu berharap, untuk bisa mengabdi pada laki-laki yang telah mengikatku pada ikatan pernikahan yang suci.Sejak pertama kali Kak Gilang menggenggam erat tanganku, aku merasa terlindungi. Aku jatuh cinta padanya. Walaupun sikap Kak Gilang sangat dingin padaku, aku merasa nyaman dengan perhatian dan ketegasannya.Aku merasa terluka saat tahu Kak Gilang memilki seorang ratu di dalam hatinya. Aku berharap, dan selalu berdo'a agar Kak Gilang bisa membuka hatinya untukku dan melupakan cinta di masa lalunya.Cinta membawa keajaiban. Kak Gilang yang dahulu sangat dingin, perlahan mulai sedikit mencair dengan seringnya kami merajut kasih. Dan yang membuat aku sangat bahagia adalah ketika Kak Gilang mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Dan aku adalah cinta pertama dan terakhir baginya.Na
"Aku tidak ingin Kakak terus-terusan membicarakan tentang kematian. Kita pasti akan menjaga anak kita dengan bersama-sama." Risa membingkai wajah Gilang dan kembali mencium pipi suaminya itu dengan mesra.Lisa meraba dadah Gilang yang terkena bekas tembakan dan dia merasakan bahwa detak jantung Gilang yang sudah semakin melemah."Jantungku akan berhenti berdetak. Tapi, kamu harus terus maju. Jangan pernah berpikir kalau kamu seorang diri membesarkan anak-anak. Karena aku akan selalu menyelimutimu dengan cinta." Gilang menatap Risa dan mengusap air mata istrinya itu yang semakin deras mengalir."Jangan pernah sakiti dirimu dengan memori tentang kita. Karena aku akan selalu mencintaimu. Aku akan selalu ada dalam hatimu, menemanimu. Karena yang akan pergi, hanya ragaku saja. Tapi jiwaku akan selalu ada ...!""Kak ... Tolong. Berhenti bicara seperti itu!" Risa berhambur memeluk suaminya itu. Gilang mendekap tubuh Risa dengan erat. Membelai rambutnya dan mencium kening istrinya itu berkali
Risa dan Gilang sampai di Villa ketika matahari hampir terbenam. Gilang terlihat sangat lemah. Sesekali dia memegang dadanya. Setiap Risa tanya kenapa? Gilang berkata dia baik-baik saja.Mereka duduk di bangku panjang di Balkon kamar yang dulu pernah mereka tempati untuk merajut kasih. Gilang berkata ingin melihat matahari terbenam. Senyum terbit di wajah Gilang. Senyum itu sangat manis. Namun, seperti menyimpan sebuah luka."Kamu bahagia menikah denganku?" Gilang menoleh ke arah Risa sesaat. Lalu kembali menatap matahari yang semakin hilang dan meninggalkan semburat berwarna merah. "Sangat. Aku sangat bahagia. Kebahagiaanku selama hidup adalah menjadi istri Kakak," jawab Risa dengan uraian air mata."Kakak sendiri? Apa Kakak bahagia?" tanya balik Risa.Gilang menatap Risa, lalu mengecup kelopak bibir istrinya itu dengan hangat. Risa pun memejamkan mata menikmati kecupan yang diberikan oleh suaminya itu. Risa merasakan sentuhan bibir Gilang yang kali ini terasa berbeda. Entah mengapa
Beberapa saat kemudian, Perawat membawa Gilang menuju ruang ICU. Risa dan keluarga Gilang di larang untuk masuk. Dan mereka harus menunggu di luar.Risa semakin gelisah. Perasaan takut semakin menghantuinya. Ia ingin segera bertemu Dengan Gilang. Perempuan itu sudah sangat rindu pada suaminya dan ingin melihat kondisi suaminya itu.Sementara itu, Pak Adiguna dan Gio merasa gelisah karena pihak polisi tak kunjung datang ke rumah sakit. Padahal baik Pak Adiguna maupun pihak rumah sakit sudah menelpon pihak polisi sejak setengah jam yang lalu."Apa sebaiknya aku telepon lagi polisi itu?" Dio hendak merogoh ponselnya di dalam saku celana. Namun Pak Adiguna menahan pergerakan putranya karena khawatir pihak polisi menganggap mereka tidak mempercayakannya.Mereka semua merasa gelisah karena satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Gilang adalah pihak polisi.Della pun sudah datang kembali ke rumah sakit karena ketiga anak Risa sudah tertidur dengan pulas."Kak, polisinya d
"Mati kau Gilang! Lebih baik kau mati dari pada menambah luka hatiku!" Allea tertawa terbahak-bahak."Allea ....!" Gilang memegangi dadanya.Risa terkejut ketika tiba-tiba Gilang meraba dadanya dan ...Darah mengalir dengan deras."Kakak ...! Ya Allah." Air mata Risa mengalir dengan deras. Dia tidak kuasa melihat Gilang yang bersimbah darah."Alea. Kamu sudah gila!" Mamanya Gilang membantu Risa menyanggah tubuh Gilang yang hampir tumbang."Kita akan mati bersama-sama, Gilang. Aku mencintaimu!"Dhuarr ...!Alea menembakkan pistol tersebut ke dadanya. Mata Alea melotot, dengan darah segar mengalir deras dari mulutnya.Alea ambruk ke lantai. Dengan pistol yang masih di tangannya. Alea merenggang nyawa."Allea ....!" Mamanya Gilang terkejut ketika melihat Allea yang benar-benar sudah tidak berkutik dan sudah mati.Risa memeluk tubuh Gilang yang bersimbah darah. Ia merasakan tubuh suaminya semakin dingin. "Gio... Cepat panggilkan ambulans!" Risa berteriak dengan lantang dan suara yang be
"Ya udah deh. Mama dan Papa nginap di sini." Nyonya Adiguna tersenyum membuat Gilang mencium punggung tangannya dengan takzim."Makasih, Ma. Pa."Gio hanya menggeleng melihat kelakuan kakaknya yang dianggap terlalu lebay. Risa pun sebenarnya merasa melihat Gilang yang memiliki karakter tidak sama dengan suaminya yang begitu tegas dan tidak manja."Gue balik dulu, Kak. Udah malam," ujar Gio melirik jam tangannya."Lo juga nginap di sini, Gi. Gue mohon," ujar Gilang dengan wajah memohon."Eh, Kak. Lo kenapa, sih? Melow amat?" Gio mengerutkan keningnya."Gue pengen aja, kita kumpul rame-rame kayak masih kecil dulu!" Gilang kembali merebahkan kepalanya di pangkuan Mamanya. Hal itu membuat Gio mengurungkan niatnya untuk pulang ke rumah.Akhirnya, malam itu mereka berkumpul bersama. Mereka bercengkrama dengan hangat. Risa sesekali ikut tertawa saat mendengar kekonyolan mereka bertiga ketika masih kecil.*****Pukul dua dini hari, Risa merasa tenggorokannya kering. Ia melihat gelas di atas n
Risa mengecek secara detail persiapan ulang tahun Galuh dan Galih yang dirayakan secara meriah. Gilang sengaja mengundang para relasi bisnis dan teman-temannya dalam perayaan kali ini.Sebelumnya, Gilang tidak setuju kalau ulang tahun anak-anaknya di rayakan dengan meriah. Setiap ulang tahun Amira, Galuh dan Galih, mereka memilih untuk merayakannya di panti asuhan. Berbagi kebaikan pada anak-anak yatim di sana.Namun, kali ini Gilang meminta Risa untuk mengadakan pesta ulang tahun yang meriah. Ketika Risa tanya alasannya, Gilang mengatakan kalau dia ingin melihat anaknya bahagia berada ditengah-tengah pesta. Risa merasa itu jawaban yang aneh. "Nggak biasanya Kak Gilang seperti ini," bisik Risa seorang diri.Gilang juga meminta Risa untuk mengundang anak-anak yatim dan panti asuhan yang sering mereka kunjungi. Gilang mengatakan, ia ingin mengajak anak-anak tersebut melihat pesta ulang tahun dan berbagi lebih banyak lagi.Gilang memang suka berbuat baik. Bahkan sampai Sekarang, Gilang
Prangggg ....!"Benar-benar sial! Tak ada satupun anak buahku di Indonesia yang bisa diandalkan. Mereka semua benar-benar bodoh. Tidak ada yang cerdas satupun!" Allea kembali membanting gelas berisi wine yang berada di tangannya.Dia baru saja mendapat kabar dari anak buahnya bahwa mereka sudah gagal menculik anak Gilang."Sepertinya memang harus aku sendiri yang turun tangan untuk menghabisi mereka. Aku tidak akan pernah lagi membiarkan hatiku sakit melihat Gilang berbahagia dengan keluarganya. Memang harus aku sendiri yang turun tangan dan menyelesaikan masalah ini." Allea menatap sinis pada foto Gilang yang masih terpampang di dalam kamarnya.Perempuan itu pun segera membuka aplikasi Traveloka untuk memesan tiket pesawat. Tak sabar lagi bagi dia ingin segera mengakhiri penderitaannya dan melihat penderitaan keluarga Gilang untuk kedepannya."Aku akan melakukan apapun yang aku yakini bisa membuatku bahagia. Aku tidak akan pernah membiarkan Gilang dan keluarganya hidup tenang. Mereka