Damian mengambil kunci mobilnya, melangkah terburu-buru hendak meninggalkan penthouse-nya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Freddy baru saja tiba di penthouse-nya. Tampak sorot mata dingin Damian menatap tegas Freddy yang masih berada di hadapannya. “Ada apa kau ke sini, Freddy? Bukankah aku sudah bilang padamu, aku hari ini tidak ke kantor?” tanya Damian penuh ketegasan. Sebelumnya, dia sudah meminta Freddy untuk menggantikan meeting penting. Masalah dengan Kimberly belum selesai, dia tak mungkin bisa mengerjakan pekerjaannya.“Maaf mengganggu Anda, Tuan, tapi ada beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan pada Anda,” jawab Freddy penuh kesopanan.“Katakan, apa yang ingin kau katakan?” tanya Damian tak ingin berlama-lama. Sejak tadi malam pikiran Damian tak tenang. Bahkan dia tak bisa tidur nyenyak memikirkan Kimberly yang berada di hotel sendirian. Dia sengaja tak langsung menemui kekasihnya itu, karena dia ingin memberikan ruang untuk Kimberly sendiri.“Tuan,
Pelupuk mata Kimberly bergerak-gerak bersamaan dengan bulu mata lentik yang juga ikut bergerak. Sayup-sayup ketika mata Kimberly sudah terbuka, sorot mata pertama kali menangkap cahaya berwarna kuning berasal dari lampu mewah kamar hotel.Rasa pusing di kepala mulai menyerang. Kimberly memilih memejamkan mata sebentar demi mengurangi rasa pusing di kepalanya. Entah dia tak mengerti kenapa kepalanya bisa sampai sakit seperti ini. Tak hanya sakit saja, tapi juga berat. Tubuhnya benar-benar terasa lemah tak memiliki energy untuk bergerak.Hingga ketika pusing di kepala Kimberly mereda, wanita cantik itu kembali berusaha membuka matanya. Sorot matanya mengendar ke sekitar, melihat dirinya di hotel tempat di mana dirinya menginap. Lantas, tatapan matanya menoleh ke samping tak ada siapa pun.Napas Kimberly berembus pelan sambil terdiam sejenak. Ingatannya langsung otomatis tergali akan apa yang sebelumnya terjadi. Dia mengingat Damian datang dan sempat berdebat dengannya, sampai akhirnya d
Kimberly menatap begitu banyak makanan yang terhidang di atas meja. Mulai dari aneka pasta, steak, seafood, taco, aneka dessert. Sungguh, Kimberly tak menyangka pelayan akan menghidangkan begitu banyak makanan di atas meja. Dia tahu ini sudah jam makan malam, tapi Kimberly tak pernah mengira makan malam yang disajikan untuknya dan Damian malah seperti makan malam untuk lebih dari sepuluh orang.“Nyonya, apa Anda ingin tambahan menu lainnya?” tanya sang pelayan kala sudah menghidangkan menu makanan di hadapan Kimberly.Kimberly mendesah pelan. “Makanan yang kau hidangkan saja banyak sekali. Bagaimana bisa aku meminta tambahan menu? Siapa yang memesan makanan sebanyak ini?”“Tuan Damian Darrel, Nyonya. Beliau mengatakan Anda sedang hamil. Jadi, Anda bisa bebas memilih menu makanan mana yang paling Anda sukai, Nyonya,” jawab sang pelayan sopan.Kimberly mendecakan lidahnya. Damian memang sudah benar-benar gila. Bisa-bisanya pria itu memesan begitu banyak makanan untuknya. Bayangkan saja,
Kimberly memuntahkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam perutnya. Entah pagi ini sudah berapa kali dia ke kamar mandi. Tubuhnya benar-benar terasa lemah dan lemas. Bahkan kepalanya sejak tadi sudah berputar. Jika saja tak ada Damian di sampingnya, mungkin saja dia sudah ambruk.Pria tampan itu begitu cekatan memegang rambut Kimberly. Tak hanya itu saja, tapi sekarang Damian juga yang memutar keran warstafel, membasuh bibir Kimberly dengan air bersih. Tampak Kimberly sangat patuh kala Damian mengambil peran membantunya. Pasalnya memang Kimberly begitu lemah tak bisa untuk melawan. Meskipun Kimberly masih marah padanya, tapi dia memilih menyingkirkan ego dalam hal seperti ini.“Apa sudah lebih baik?” Damian menyeka bibir Kimberly yang basah menggunakan tisu.Kimberly menganggukkan kepalanya. Raut wajah Kimberly benar-benar lemah. Kehamilan kerap membuat Kimberly enggan untuk melakukan sesuatu. Seperti sekarang ini, setelah mual hebat yang dia inginkan hanya beristirahat.“Maaf
Kimberly menyimak dengan baik laporan dari Brisa tentang kondisi perusahaan. Asisten pribadi Kimberly itu bukan hanya melaporkan tentang perusahaan pribadi miliknya saja, tapi perusahaan milik Kimberly, bersama dengan Carol. Beruntung laporan yang dia dapatkan adalah laporan baik—yang mana semuanya tak memiliki masalah.“Nyonya Kimberly, ada lagi yang ingin saya laporkan pada Anda,” ujar Brisa penuh rasa sopan.Kimberly menatap Brisa. “Katakan, hal apa yang ingin kau laporkan?”“Begini, Nyonya, pengacara Anda mengatakan minggu ini jadwal sidang rasanya tidak memungkinkan, kecuali kondisinya Tuan Fargo tidak menghalangi perceraian ini. Semua terhambat karena Tuan Fargo selalu saja menunda-nunda,” kata Brisa melaporkan—dan langsung membuat Kimberly meloloskan umpatan pelan.“Sampai kapan pria berengsek itu menunda perceraian?!” geram Kimberly kesal. Dia sudah tak sabar ingin berpisah dengan Fargo. Terlebih kondisinya sekarang sedang mengandung anak Damian. Akan lebih baik jika dirinya b
Damian duduk di kursi kebesarannya seraya menatap grafik saham milik perusahaan Fargo di pasar saham. Aura wajah dingin dan terselimuti ketegasan itu memberikan tatapan yang begitu lekat ke grafik saham perusahaan Fargo. Sore ini tujuannya ke kantor karena memeriksa dokumen penting yang harus segera disetujui. Sekarang setelah Damian memeriksa beberapa pekerjaannya, dia langsung melihat posisi perusahaan Fargo.“Tuan, apa yang akan Anda lakukan sekarang?” tanya Freddy yang berdiri tepat di hadapan Damian.“Perusahaan Fargo meski sedang terpuruk, tapi tidak akan langsung bangkrut dengan mudah. Biarkan saja dulu seperti itu. Aku ingin sekarang kau melakukan sesuatu,” jawab Damian dengan begitu serius. Ada alasan khusus dia tak langsung membantu Fargo. Lagi pula Fargo belum di ujung tanduk.“Apa yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya Freddy sopan.Damian menggerakan gelas berkaki tinggi di tangannya. “Sampai detik ini, Fargo selalu menolak bercerai, kau selidiki alasan kuat kenapa Fargo tidak
Suara kicauan burung saling bersahutan menyambut mentari pagi. Perlahan, Kimberly yang tertidur pulas pun mulai terbangun. Wanita cantik itu merentangkan kedua tangannya—menggeliat, dan menguap. Saat matanya sudah terbuka, tatapannya menoleh ke samping—mendapati ranjang di sampingnya sudah kosong.Kimberly mengendarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari keberadaan Damian. Namun, Kimberly tak menemukan sama sekali keberadaan pria tampan itu. Rasanya tak mungkin Damian pergi ke kantor tanpa berpamitan dengannya. Dia sangat mengenal sang kekasih yang pasti akan berpamitan jika pergi ke mana pun, tapi ke mana Damian pergi?Kimberly memasang telinga dengan baik, memastikan bahwa tak ada suara gemericik air di kamar mandi. Benar saja! Tak ada suara apa pun. Semua sunyi senyap. Tidak biasanya Damian pergi tanpa pamit. Apa Damian menjawab telepon? Banyak terkaan muncul dalam otak Kimberly saat ini.“Ck! Ke mana Damian pergi?” Kimberly mulai kesal, karena Damian pergi tanpa membangunkan
Suara Damian berseru dengan lantang, dan penuh ketegasan. Raut wajah Damian menunjukkan jelas aura emosi dan amarah tertahan. Kilat mata cokelat gelapnya terus menatap Fargo tajam. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Dia tak peduli pada apa pun. Sebab pada akhirnya semua akan terbongkar. Tubuh Deston dan Olsen mematung menatap Damian tajam. Pancaran mata mereka menunjukkan jelas tatapan terkejut, tapi tak percaya begitu saja. Ruang meeting itu semakin mencekam akibat tatapan tajam semua orang. Fargo yang berdiri tak jauh dari Damian—memberikan tatapan tajam yang terselimuti kemarahan membara.“Jangan main-main dengan ucapanmu, Damian!” bentak Deston keras, dan menggelegar. “Damian, kau jangan gila! Ucapanmu itu konyol! Kami mengenal Kimberly dengan baik!” seru Olsen dengan nada tinggi penuh amarah.Damian masih bergeming di tempatnya dengan tatapan yang masih dan terus menatap tajam Fargo. Aura wajahnya menunjukkan jelas keseriusan dan ketegasan. Tak ada sedikit pun
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s