Pertanyaan singkat Carol sontak membuat raut wajah Kimberly berubah. Sepasang iris mata hazel Kimberly melebar terkejut. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Telapak tangan Kimberly dingin. Rasa takut menelusup dalam dirinya, hingga menebus ke tulang. Hamil? Aliran darahnya terasa terhenti di kepala, dan membuat kepala semakin sakit memikirkan tentang pertanyaan Carol.“Kim?” tegur Carol kala Kimberly hanya diam, tak menjawab pertanyaannya.Kimberly mengatur napasnya, dan memasang senyuman samar di wajah. Senyuman yang menunjukan bahwa apa yang dikatakan Carol tak nyata. “Aku tidak hamil, Carol. Aku hanya kelelahan saja. Belakangan ini aku terlalu sibuk mengurus perceraianku. Ditambah Fargo juga mempersulit perceraian kami. Aku hanya butuh istirahat lebih.”Carol terdiam beberapa saat. Tatapannya tak lepas menatap wajah pucat Kimberly. Sebenarnya dia tak yakin Kimberly sakit, entah kenapa hatinya meyakinkan Kimberly sedang hamil, terlebih ciri-ciri Kimberly persis sama
Damian membeku diam di tempatnya menatap rekaman CCTV yang ada di hadapannya. Sepasang iris mata cokelat gelap Damian terhunus begitu tajam. Kilat amarah dan emosi tertahan sangat terlihat jelas. Pria tampan itu kian meremas ponsel asistennya yang ada di tangannya, bahkan remasan itu seakan ingin meremukan.Rahang Damian mengetat. Matanya menyorot mengunci sosok wanita cantik yang ada di rekaman CCTV itu. Amarah yang tertahan itu, berusaha keras dia redam. Begitu pun dengan bayangan masa lalu yang muncul di benaknya segera pria tampan itu tepis, mengenyahkan tak lagi mau mengingat apa yang telah berlalu.Damian menghempaskan ponsel Freddy ke atas meja kerjanya, suara bantingan ponsel itu cukup keras. Beruntung, bantingan Damian masih bisa tertolong tak membuat ponsel Freddy sampai pecah.“Tuan, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Freddy seraya mengambil ponselnya, dan menundukkan kepala di depan Damian. Dalam kondisi seperti ini, dia tahu bahwa Damian marah besar. Terlebih sudah lama s
Raut wajah Gilda begitu gelisah memikirkan dirinya tak kunjung bertemu dengan Fargo. Sudah beberapa kali dia meminta bertemu dengan Fargo, tapi Maise tak juga mengizinkannya. Bahkan hingga detik ini kekasihnya itu tak menemuinya. Rasanya dia benar-benar nyaris putus asa. Sekarang hubungannya dengan Ernest sudah tak lagi sama. Bisa dikatakan Ernest tidak peduli padanya lagi.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Gilda meremas-remas kuat rambutnya memikirkan solusi paling terbaik. Dia merutuki keadaan yang membuat hubungannya dan Fargo harus terbongkar seperti ini. Rencana yang dulu dia susun menjadi berantakan.“Nona Gilda.” Seorang perawat melangkah masuk ke dalam ruang rawat Gilda. “Silakan diminum obatnya, Nona.” Perawat itu meletakan obat Gilda ke atas meja. Gilda menatap dingin obatnya yang ada di atas meja. Benaknya memikirkan kalau saja dirinya masih hamil, pasti hidupnya jauh lebih bahagia. Fargo pasti akan lebih mencintainya. Namun, tak bisa memungkiri ada sebuah rasa bersy
Sudah hampir dua minggu Fargo berada di rumah sakit. Kesehatannya telah berangsur-angsur pulih. Luka yang dialami Fargo mulai membaik. Pihak dokter sudah memberikan izin Fargo untuk pulang. Sementara Gilda, sudah keluar dari rumah sakit sejak dua hari lalu. Gilda diperbolehkan pulang lebih dulu, karena luka yang dialami Gilda tak separah luka yang dialami oleh Fargo. Hanya saja Fargo berpesan pada Gilda untuk tidak datang menjenguknya lagi. Pasalnya, pria itu tak mau masalah semakin rumit.Fidelya juga kemarin sudah keluar dari rumah sakit. Hanya saja hingga detik ini Fargo belum bertemu dengan ibunya, karena atas permintaan Olsen, Alasan kuat Olsen belum mengizinkan Fargo menemui Fidelya, karena Olsen tak mau memperkeruh suasana. Ditambah Fidelya masih belum menerima kenyataan Fargo dan Kimberly akan segera bercerai.“Tuan, barang-barang pribadi Anda sudah dimasukan ke mobil. Apa ada hal yang Anda butuhkan sebelum Anda meninggalkan rumah sakit?” tanya Gene dengan nada yang sopan.“Ti
Mata Kimberly melebar terkejut melihat Fargo berdiri di ambang pintu. Benaknya berputar memikirkan bahwa harusnya Fargo berada di rumah sakit. Kenapa Fargo malah di sini? Apa dokter sudah memperbolehkannya untuk pulang? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Sungguh, melihat keberadaan Fargo membuat kaki Kimberly lemah dan tak bisa berpijak kuat. Terlebih pembicaraanya dengan Carol membahas tentang kehamilan.Napas Carol memburu melihat keberadaan Fargo. Sepasang iris mata Carol menatap Fargo yang berdiri di ambang pintu begitu tajam, dan memendung kemarahan. Ingatannya tergali akan kata-kata Kimberly yang mengatakan Fargo berselingkuh dengan Gilda. Rahang Carol mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. “Pria Berengsek! Mati saja kau!” Carol berlari menerjang Fargo. Dengan luapan emosi, dia hendak menghajar Fargo, tapi buru-buru Kimberly menahan tangan Carol. Sementara Fargo hanya bergeming di tempatnya, menatap Kimberly dengan tatapan lekat.“Carol, jangan. Fargo baru saja keluar da
Jantung Kimberly nyaris berhenti berdetak mendengar apa yang dikatakan oleh Sunny. Darah Kimberly seakan terhenti di atas kepalanya, hingga menimbulkan rasa nyeri dan sakit di kepala begitu hebat. Hamil? Tidak ini tidak mungkin. Berkali-kali Kimberly menggelengkan kepalanya lemah, meyakinkan kalau dirinya salah mendengar. Akan tetapi, kata-kata Sunny begitu jelas di telinganya.Kimberly masih membeku di tempatnya. Wanita cantik itu memejamkan mata singkat, merutuki dirinya yang sempat meminum obat maag. Hati Kimberly memang ketakutan dan cemas. Ditambah kondisi dirinya belum resmi bercerai dengan Fargo. Namun, lepas dari ketakutan dirinya tentang orang akan mengetahui skandalnya dengan Damian—Kimberly jauh lebih takut akan tindakannya beberapa hari terakhir ini. Tindakan di mana dirinya meminum obat maag. Shit! Bodoh! Bodoh! Kimberly mengumpati dirinya yang begitu bodoh. Harusnya dia menuruti perkataan Carol yang memintanya menemui dokter.“Sunny, kau yakin aku benar-benar hamil?” ula
Damian bergeming di tempatnya menatap sosok wanita berambut pirang memeluknya begitu erat. Tak ada reaksi dari Damian akibat keterkejutannya. Dia masih membiarkan wanita itu memeluknya erat dirinya. Dia merasakan wanita itu menangis dalam pelukannya. Tangis yang dulu pernah dia dengar. Masih sama. Tangis itu pilu, menyesakan, hingga membuatnya hanya membeku diam di tempatnya.Malam sunyi dan gelap. Rintikan hujan masih ada, dan tanah basah menandakan tadi telah hujan deras. Damian masih bergeming di tempatnya, membiarkan wanita yang ada di pelukannya itu menangis. Belum ada kata yang dia ucap. Meski cukup terkejut, tapi dia sudah pernah menduga kalau hal ini akan terjadi. Hal di mana sosok wanita yang sudah lama dia tak lihat, mendatanginya hingga ke kantor.“Aku merindukanmu, Damian,” isak wanita itu sesenggukan dalam pelukan Damian. “Hidup tanpamu benar-benar membuatku hampir gila. Aku tidak sanggup jauh darimu.” Wanita itu kian melingkarkan tangannya ke pinggang Damian, menangis cu
Damian merapikan dasi yang melingkar di lehernya. Dia memakai arloji ke pergelangan kirinya. Detik selanjutnya, dia mengambil ponsel yang ada di atas meja—melangkah keluar kamar, menuju ruang makan. Pagi telah menyapa, pria tampan itu seperti biasa ingin segera pergi ke kantornya. Namun, sebelum berangkat, dia akan sarapan lebih dulu di ruang makan.Saat Damian hendak masuk ke dalam ruang makan, langkahnya terhenti kala berpapasan dengan Keiza yang juga masuk ke dalam ruang makan. Tak ada sapaan, dia hanya memberikan tatapan dingin, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang makan, dan duduk tepat di kursi meja makan. Tampak raut wajah Keiza muram kala Damian bersikap acuh padanya. Meski menginap, tapi Damian sama sekali tidak berbicara padanya.Langkah kaki Keiza segera dia paksakan untuk masuk ke dalam ruang makan. Wanita itu duduk di samping Damian. Para pelayan segera menghidangkan sarapan ke atas meja, menyajikannya sarapan untuk Damian dan Keiza.“Tuan, ini kopi Anda.” Pel