Damian bergeming di tempatnya menatap sosok wanita berambut pirang memeluknya begitu erat. Tak ada reaksi dari Damian akibat keterkejutannya. Dia masih membiarkan wanita itu memeluknya erat dirinya. Dia merasakan wanita itu menangis dalam pelukannya. Tangis yang dulu pernah dia dengar. Masih sama. Tangis itu pilu, menyesakan, hingga membuatnya hanya membeku diam di tempatnya.Malam sunyi dan gelap. Rintikan hujan masih ada, dan tanah basah menandakan tadi telah hujan deras. Damian masih bergeming di tempatnya, membiarkan wanita yang ada di pelukannya itu menangis. Belum ada kata yang dia ucap. Meski cukup terkejut, tapi dia sudah pernah menduga kalau hal ini akan terjadi. Hal di mana sosok wanita yang sudah lama dia tak lihat, mendatanginya hingga ke kantor.“Aku merindukanmu, Damian,” isak wanita itu sesenggukan dalam pelukan Damian. “Hidup tanpamu benar-benar membuatku hampir gila. Aku tidak sanggup jauh darimu.” Wanita itu kian melingkarkan tangannya ke pinggang Damian, menangis cu
Damian merapikan dasi yang melingkar di lehernya. Dia memakai arloji ke pergelangan kirinya. Detik selanjutnya, dia mengambil ponsel yang ada di atas meja—melangkah keluar kamar, menuju ruang makan. Pagi telah menyapa, pria tampan itu seperti biasa ingin segera pergi ke kantornya. Namun, sebelum berangkat, dia akan sarapan lebih dulu di ruang makan.Saat Damian hendak masuk ke dalam ruang makan, langkahnya terhenti kala berpapasan dengan Keiza yang juga masuk ke dalam ruang makan. Tak ada sapaan, dia hanya memberikan tatapan dingin, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang makan, dan duduk tepat di kursi meja makan. Tampak raut wajah Keiza muram kala Damian bersikap acuh padanya. Meski menginap, tapi Damian sama sekali tidak berbicara padanya.Langkah kaki Keiza segera dia paksakan untuk masuk ke dalam ruang makan. Wanita itu duduk di samping Damian. Para pelayan segera menghidangkan sarapan ke atas meja, menyajikannya sarapan untuk Damian dan Keiza.“Tuan, ini kopi Anda.” Pel
Mobil Kimberly memasuki gedung halaman parkir milik Darrel Group. Dia segera turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby perusahaan. Raut wajahnya berubah semakin cemas dan juga takut. Beberapa kali dia menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Dia meyakinkan semuanya akan baik-baik saja. Detik selanjutnya, dia melangkah masuk ke dalam lobby perusahaan—menuju lift. Beruntung, Kimberly memiliki akses masuk ke dalam perusahaan Damian karena sebelumnya Damian yang memberikan padanya.Ting!Pintu lift terbuka. Kimberly melangkah keluar dari lift dengan langkah yang pelan. Dia mengendarkan pandangannya ke sekitar, melihat ke sekeliling tak ada siapa pun. Biasanya jika Kimberly keluar dari lift pasti ada Freddy. “Damian ada di kantor atau tidak, ya?” gumam Kimberly pelan.“Selamat pagi, Nyonya Kimberly?” sapa seorang sekretaris melangkah menghampiri Kimberly. “Ah, pagi.” Kimberly sedikit terkejut melihat sekretaris Damian.“Nyonya, apa Anda ingin bertemu dengan Tuan
“Kenapa Fargo tidak menjawab teleponku?” Gilda meremas ponsel di tangannya kuat-kuat. Tampak raut wajah Gilda begitu kesal karena Fargo tak menjawab telepon darinya. Sudah berkali-kali dia menghubungi kekasihnya itu, tapi nyatanya Fargo tetap tak bisa dihubungi. Sungguh, sejak di mana Fargo keluar dari rumah sakit, kekasihnya itu jarang sekali menghubunginya.Gilda menghempaskan tubuhnya ke sofa, memejamkan mata sesaat seraya memijat pelan pelipisnya. Sekarang dia tinggal di apartemen pembelian Fargo untuknya. Dia tak lagi tinggal di mansion kediaman Davies. Pasalnya Ernest mengusirnya, dan tak lagi mengizinkan Gilda tinggal di sana. Hal tersebut yang membuatnya tinggal di apartemen pembelian Fargo.“Aku harus mencoba menghubungi Fargo lagi,” gumam Gilda seraya kembali mencoba menghubungi nomor sang kekasih, tetapi sayangnya, dia harus menelan kekecewaan karena nomor Fargo sekarang tak aktif.“Ahg! Kenapa ponsel Fargo sekarang malah tidak aktif?!” seru Gilda kesal. Sebelumnya nomor po
Kimberly terkejut sekaligus bergeming di tempatnya kala hasil USG telah dilempar oleh Fargo, menyentuh wajahnya, hingga terjatuh di lantai. Tampak raut wajahnya memucat kala menatap hasil USG jatuh ke lantai. Jantungnya seakan ingin berhenti berdetak.Tenggorokan Kimberly seolah telah menelan sesuatu yang berat. Lidahnya kelu akibat keterkejutan. Matanya menatap nanar hasil USG miliknya yang harusnya ada di dalam tas. Perlahan, Kimberly mengambil hasil USG yang terjatuh itu—menatap begitu jutaan arti terdalam. Otaknya berputar berusaha mencerna kenapa bisa hasil USG miliknya ada di tangan Fargo. Detik itu juga kepala Kimberly nyeri luar biasa memikirkan semua ini.“Kenapa hanya diam, Kim? Kau tidak mampu memberikan penjelasan padaku, hah?!” seru Fargo dengan nada tinggi dan begitu keras.Kimberly mengalihkan pandangannya, menatap dingin dan tajam Fargo. Meski rasa takut menguasai dirinya, tapi Kimberly tak boleh lemah. Sekalipun tak ada yang membelanya, tetap Kimberly mampu berdiri te
“Damian, bagaimana ini kenapa kau malah menunda-nunda project kita di Paris? Harusnya bulan ini kau sudah berangkat ke Paris, Damian.” Deston menatap dingin, dan tajam putranya yang duduk di hadapannya.Damian tetap diam, dan tenang seraya menatap laporan yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja hati dan pikiran pria itu menjadi seperti resah akan sesuatu. Entah, dia merasa ada hal yang telah terjadi. Dia tidak tahu hal apa yang membuat hati dan pikirannya menjadi tak tenang.“Damian! Kau ini mendengar pertanyaanku atau tidak!” sembur Desto kesal kala putranya malah tak menjawab pertanyaannya.“Sorry, apa yang kau tanyakan, Dad?” Damian membuyarkan lamunannya ketika mendapatkan bentakan dari sang ayah.Deston berdecak pelan. “Apa yang kau pikirkan, Damian?! Kenapa kau malah melamun di saat kita sedang membahas pekerjaan!”Damian berdeham sebentar. “Maaf, tadi aku memikirkan beberapa pekerjaan yang harus aku lakukan besok,” ucapnya berdusta. Dia sendiri tak mengerti apa yang dia pikiran.
Carol menggigit kukunya seraya mondar-mandir panik di depan ruang pemeriksaan. Saat ini dokter sedang memeriksa keadaan Kimberly. Jantung Carol seakan ingin berhenti berdetak, kala mengingat darah keluar dari paha Kimberly.Tatapan Carol sekarang mulai teralih ke layar ponselnya. Dia ingin menghubungi Fargo, tapi rasanya tak mungkin dirinya menghubungi Fargo. Kimberly dan Fargo akan segera bercerai. Adanya Fargo di sini pasti hanya membuat Kimberly tambah sakit. Jadi, lebih baik Carol tak menghubungi Fargo.“Aku menghubungi Paman Ernest saja. Paman Ernest harus tahu Kimberly di rumah sakit.” Carol hendak menghubungi nomor Ernest, tapi tiba-tiba ingatannya mengingat pasti nanti Ernest datang ke rumah sakit bersama dengan Maisie. Pun dia tak mungkin lupa Kimberly tidak menyukai ibu tirinya.“Sudahlah, lebih baik aku tidak usah menghubungi siapa pun.” Carol memasukkan ponselnya ke dalam tas. Keputusan yang paling tepat baginya saat ini adalah tidak menghubungi siapa pun. Kimberly saja me
“Fargo bukan ayah dari bayi yang aku kandung, Carol.”Bibir Carol menganga terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Kimberly. Lidahnya menjadi kelu. Otaknya blank seketika—menjadikan dirinya begitu bodoh sampai tak tahu cara merespon. Sepasang iris mata Carol menatap lekat Kimberly seakan memberikan tatapan menuntut sebuah penjelasan. Rasanya Carol seperti mimpi. Pasalnya dia sangat mengenal Kimberly. Dia sangat tahu Kimberly bukan tipe wanita yang suka berganti-ganti pria.“Kim, k-kau sedang tidak bercanda, kan?” Carol akhirnya mengeluarkan suara, demi meminta penjelasan agar otaknya tak menghakimi sahabat baiknya lebih dulu.Kimberly mengatur napasnya. Sekarang, dia tak memiliki siapa pun untuk tempatnya bercerita. Selama ini hanya Damian saja yang tahu segalanya. Dalam hal seperti ini, dia harus segera menjelaskan pada Carol. Dia tak ingin Carol sampai mendengar masalahnya dari orang lain. Pun dia yakin Carol bisa menjaga rahasianya dengan baik.“Aku belum pernah berhubungan seks