“Ampun, Bibi!” Untuk kedua kalinya bibi menjewer Aldo kembali.
“Sudah dilarang tidur bareng malah ciuman, di depan anak-anak pula. Pantas saja Gita minggat! Jaga sikapmu kalau tidak ingin kehilangan adikmu, Sari.” Bibi Lia menatap tajam Kak Sari.Bibi dan Isma harus pulang. Mereka pulang setelah memastikan Aldo pergi. Bibi tidak mau kecolongan lagi.“Bibi pulang, ya! Aldo sudah pergi. Setelah ini jangan buka pintu, Gita! Sudah jam 9 malam.”“Hati-hati, Gita. Aku tahu kenapa kamu pergi dari rumah. Jaga Kak Sari baik-baik.” Isma melambaikan tangan kemudian pulang bersama bibi.Aku menutup dan mengunci pintu rumah. Aku akan tidur di kamar Kak Sari supaya bisa membantunya. Segera kumatikan lampu dan menyusul kakakku.“Bibi sudah pulang, Gita?” tanya Kak Sari saat aku masuk ke kamarnya.“Sudah, Kak.”Aku langsung naik ke ranjang dan duduk bersandar di samping Kak Sari.“Maafin Kakak, Gita! Ka“Ngapain teriak-teriak? Dasar cewek aneh!” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ilham pergi. Fakta membuktikan bahwa 70% bukti menunjukkan jika dia adalah Mas Aril. Aku tidak sabar pergi ke sekolah dan bertemu dengan Faiha. Aku segera memesan lauk dan sayur untuk sarapan. Kali ini aku membeli cukup banyak makanan karena ada Aldo yang akan menjaga Kak Sari saat aku sekolah nanti. Aku pulang membawa sebungkus makanan di dalam kresek berwarna merah. Dengan hati berbunga-bunga aku berjalan sambil bernyanyi. Sampai di rumah aku dikejutkan dengan kehadiran Aldo dan Erick. Mereka sudah duduk berdua di teras sambil minum kopi. “Kalian sudah datang? Cepat sekali,” tanyaku setelah mengucapkan salam. “Sudah dari tadi, kamu pagi-pagi malah keluyuran. Bukannya nungguin Sari malah pergi,” omel Aldo.“Aku beli lauk di warung, hidupku keras. Kudu usaha kalau mau makan. Makanan gak bisa datang sendiri atau jatuh dari langit.”
“Dia menyukai seorang gadis yang sering berkirim salam, namanya Anindya. Gadis periang yang selalu membualnya. Jika gadis itu tidak berkirim salam,penasara ada yang kurang katanya. Dia kehilangan semangat saat bekerja. Baginya setiap pesan dari gadis itu adalah mood boster.” Faiha menjelaskan dengan mata berbinar. What? Jadi, tanpa sepengetahuanku ternyata dia juga menyukaiku? Atau dia hanya menyukai pesanku saja? Ah, jangan geer dulu, Gita! entah mengapa rasanya ada sesuatu yang membuncah di hati mendengar penuturan Faiha. “Fai, kamu tahu ‘kan kejadian barusan? Isma menyukai Ilham. Mereka bertemu saat di pengajian. Tolong jangan katakan apa pun kepadanya, dia saudaraku. Aku tidak mau melukai perasaannya.” Aku menarik napas panjang. Mungkin aku harus merelakannya. Aku hanya menyukai Ilham sebagai Mas Aril karena dia selalu menghiburku. Mungkin aku cukup menjadi pengagumnya di udara. Bukan untuk di dunia nyata. Biarkan Isma yang bersamanya suatu saat.
Bukannya aku tidak mau berjuang. Ilham saja tidak melirikku. Dia pasti tidak menyukaiku. Bukankah lelaki baik hanya untuk wanita yang baik? Mungkin Isma lebih cocok untuk Ilham daripada aku yang barbar. Isma gadis salihah, santun dan taat beribadah. Aku memang tidak pantas untuk Ilham. Tidak lama kemudian Faiha datang membawa dua mangkuk bubur. “Loh, yang satu buat siapa, Fai?” “Buat aku, lah. Aku temenin kamu makan bubur. Kak Ilham sudah datang.” Faiha menunjuk ke arah gerobak bubur kacang ijo milik ayahnya. Di sana sudah ada Ilham yang membantu. Baru kali ini aku melihat Ilham berdagang. Pemandangan yang indah, pantas saja banyak cewek mengantre. Mereka pasti hanya ingin bertemu Ilham. Membeli bubur pasti hanya alibi supaya bisa memandangi Mas Arilku. Menyebalkan sekali. “Ehem!” Faiha tersenyum menggoda. Aku terciduk telah memandangi kakaknya. Mampus aku! “Apaan sih, Fai?” Aku mulai menyerutup bubur kacang ijo sedikit dem
“Semenjak saat itu kami semakin jauh. Dia pindah tempat duduk. Padahal kami satu kelas duduk bersebelahan dan terbiasa bersama ke mana-mana. Kumohon bantu aku. Tolong jelaskan kepada Isma jika waktu itu adalah ketidaksengajaan.” Aku memegang tangan Ilham untuk kedua kalinya. “Kumohon, aku nggak bisa didiemin sahabatku sampai kayak gini.”Tidak bisa lagi kutahan air mataku. Aku memang secengeng ini. Aku lebih memilih Isma kembali seperti dulu lagi daripada meraih bahagia. Mungkin dia memang bukan jodohku. Jodoh? padahal belum lulus sekolah, tetapi entah mengapa aku sudah berpikir sejauh itu. “Lepasin tanganku! Nanti dilihat ayah. Lagi pula itu salahmu sendiri. Ngapain bawa-bawa aku dalam urusan pribadimu?” Ilham menarik tangannya dariku. Memang ini salahku. Tidak seharusnya aku memanfaatkan Ilham waktu itu. Namun, semuanya sudah terjadi. Hanya penyesalan yang tersisa. Aku terjebak dalam kerumitan yang kubuat sendiri. “Aku akan melakukan
Astaga! Apa yang dia lakukan barusan? Aku memegangi bibirku. Memang benar hanya kecupan singkat, tetapi efeknya membuat jantungku berdebar hebat. Namun otakku masih waras, aku merasa diremehkan olehnya. Plak!Sebuah tamparan kulayangkan di pipinya. Aku segera mengambil kunci motor dan pergi. Benar-benar keterlaluan. Dia tidak menghargaiku sebagai perempuan. “Tunggu, Gita! Aku hanya bercanda.” Ilham mengejarku, tetapi tidak kuhiraukan. Dia telah memerawani bibirku, tetapi dia bilang bercanda? Hatiku rasanya memanas. Perbuatannya sangat keterlaluan. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini. “Gita, kamu mau pulang?” tanya Faiha, tetapi aku enggan menjawabnya. Aku melewatinya begitu saja, perasaanku sedang kacau. Aku tidak mau berbicara dengan Faiha, aku takut lepas kendali dan melampiaskan amarahku kepadanya. Segara kujalankan motor maticku menyusuri jalanan. Malam ini tidak ada satu pun bintang yang bersinar. Angin berembus kencang dan peti
Aku duduk kembali setelah Ilham melepaskan tangan. Tatapan mata Isma tidak lepas dari tangan Ilham. Aku menjadi semakin tidak nyaman berada di sini. Isma pasti suuzon melihat ustaz kesayangannya berani memegang tangan perempuan. Entah apa yang akan dia lakukan jika mengetahui kami pernah berciuman. “Ehem!” Ilham berdehem hingga membuatku dan Isma menoleh. “Jadi, aku di sini mau jelasin kalau aku sama Gita sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa. Yang kamu lihat waktu itu tidak benar. Gita hanya memanfaatkanku supaya Erick menjauhinya. Namun, tidak hanya Erick yang menjauhinya, kamu juga melakukan hal yang sama.” Aku merasa lega mendengar kejujuran Ilham. Namun, Isma malah mengerutkan kening. Bukankah ini adalah jawaban yang selama ini dia tunggu? “Maksud Ustaz apa? Kok tiba-tiba bilang seperti itu?” tanya Isma. Sepertinya dia pura-pura tidak tahu. “Seperti apa yang selama ini aku jelaskan padamu, Isma. Ilham juga akan mengatakan hal yang sama karena kami memang tidak sedekat yang kam
Aku terbangun kala mencium aroma makanan yang kusukai, bakso. Segera kubuka mataku dan tepat di sampingku ada Faiha dan Isma. Mataku berbinar melihat mereka.“Sejak kapan kalian ke sini?” tanyaku heran. Aku melihat dan menunggu seseorang di balik pintu, tetapi orang yang kuharapkan kedatangannya tidak ada. Ilham tidak datang. Berarti Faiha datang bersama Isma dari sekolah karena masih memakai seragam yang sama. “Kudengar dari Isma kamu sakit, jadi aku ingin menjengukmu. Kangen tahu sama kamu!” Faiha duduk di sampingku. “Mau aku suapin?” tanya Isma, tetapi aku menggeleng. Dari tadi pagi aku tidur setelah minum obat. Kak Sari mengajakku berobat ke klinik. Tidak ada gejala serius, hanya demam biasa dan kecapekan. “Aku hanya demam, Ma. Aku masih bisa makan sendiri.” Aku mengambil alih mangkuk yang dibawa Isma dan memakannya sendiri.Makanan kesukaanku mendadak tidak enak di lidah, rasanya pahit. Teng
“Sebut namaku jika kau rindukan aku. Aku akan datang!”Aku menghentikan langkah kaki mendengar suaranya. Dia menyanyi? Benarkah yang dia katakan? Hatiku ingin percaya tetapi kepalaku berkata tidak. Dia hanya akan menyakitiku.Aku melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. Jika memang takdirnya, aku yakin Allah akan mempertemukan kami di lain waktu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat. Ada hati yang harus kujaga. Isma adalah sahabat juga saudaraku. Dia menyukai Ilham sejak lama. Aku tidak mungkin menghianatinya. Lebih baik aku yang mengalah.“Gita! Aku akan selalu menyebutmu di sepertiga malamku. Akan kukejar cintamu.” Ilham masih berteriak saat aku sudah menjalankan motor.Rasanya hati ini begitu sesak. Andaikan dia tahu siapa Anindya yang sebenarnya, apakah dia akan benar-benar mencintaiku? Atau dia hanya merasa bersalah padaku? Aku harus segera pulang dan menenangkan diri. Besok orang tuaku pulang. Aku tidak mau membuat mereka bersedih melihat keadaanku meskipun nyatanya memang menyed
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o