“Ada apa, Bi?”Bibi menutup mulut dengan tangan kiri dan memberikan telepon kepadaku. Aku segera berbicara dengan orang yang ada di ujung telepon. “Halo!”“Maaf, Sari sedang di rumah sakit, dia pendarahan.” Suara laki-laki ini sama dengan yang mengangkat teleponku.Astaghfirullah ... Kak Sari, mengapa sampai sejauh ini? Aku tidak menyangka mereka bisa melakukannya. “Di rumah sakit mana?”“RSU,” jawabnya singkat. Aku segera mengakhiri telepon dan menenangkan Bibi. Bibi menangis dan memelukku erat. “Maafkan Bibi, Gita! Bibi tidak bisa menjaga kalian.”Dulu ketika Ayah dan Ibuku pergi, mereka menitipkan kami kepada bibi supaya mau menjaga kami. Namun Kak Sari menolak. “Tenang aja, Buk! Sari sudah gede, sudah bisa menjaga Gita.”Padahal saat itu aku baru kelas satu SMP. Aku dipaksa menjadi anak yang lebih dewasa daripada seusiaku. Kak Sari awalnya Menjadi kakak yang penuh tanggung jawab, hingga akhirnya setelah semester dua dia berubah menjadi pendiam. Kak Sari jarang di rumah dan s
Bibi menatapku seolah meminta persetujuan dan aku mengangguk. Biar bagaimana pun aku melihat ada ketulusan di mata lelaki itu. Sepertinya dia benar-benar ingin bertanggung jawab. Namun, apakah orang tuanya akan menyetujui? Sebentar lagi Kak Sari akan lulus dan menjadi sarjana, sepertinya tidak masalah. Melihat orang tua Erick adalah seorang pengusaha ternama, apakah Kak Sari akan diterima di keluarganya? Kak Sari sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Semua biaya administrasi ditanggung oleh pacarnya, Aldo. Setelah menunggu selama setengah jam akhirnya Kak Sari sadar. Dia bingung melihat keadaan di sekelilingnya. “Aku di mana?” tanya Kak Sari. “Kamu di rumah sakit, Sayang.” Lelaki itu bersikap sangat lembut terhadap kakakku. Pantas saja Kak Sari terlena. “Apa yang terjadi?” Kak Sari memegang kepalanya. “Anak kita tidak bisa diselamatkan, maafkan aku.” Ucapan laki-laki itu membuat Kak Sari histeris. “Kamu jahat, Do! Kamu jahat! Aku benci sama kamu!” Kak Sari menangis histeris, d
Aku meminta izin kepada Kak Sari untuk mengangkat telepon. Namun, aku terkejut saat melihat Erick sudah duduk di kursi tunggu bersama kakaknya. Dia masih memakai pakaian osis dan sedikit berantakan. Sepertinya dia bolos sekolah. “Gita! Aku kangen sama kamu.” Tiba-tiba Erick berdiri dan memelukku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini. “Lepas, Rick! Aku akan membunuhmu jika kamu berani menyentuhku lagi.” Dengan sekuat tenaga aku melepaskan pelukannya. Aku merasa jijik melihatnya. Mendadak jantungku berdebar hebat, napasku terasa sesak. “Gita!” Bibi Lia berlari melihatku memegang dada. Tubuhku rasanya lemas, bersyukur bibi segera datang dan menolongku. Aldo dan Erick hendak menolong, tetapi kutolak. Aku tidak mau disentuh oleh mereka. Bibi memapahku sampai di kursi. Beliau membawakan sebotol air putih untukku. “Minum dulu, Gita.” Bibi membuka tutup botol kemudian menyodorkannya kepadaku. Aku mena
“Lama banget, Ta. Kamu berdoa apa saja? Jangan lupa doain aku biar lulus ujian, kuliah, kerja, sukses dan bisa melamarmu.” “Melamarku?” Aku berlalu meninggalkannya. Mimpi jika dia mau melamarku, aku tidak akan mau dilamar olehnya sekalipun menjadi perawan tua. Dia masih mengekoriku hingga di depan rumah sakit. “Tunggu, Gita! Kenapa kamu jadi begini, sih?” Erick mencengkeram tanganku. “Lepas, Rick. Sakit! Aku bisa teriak dan minta tolong Pak Satpam.” Akhirnya Erick melepas tanganku. Aku berlari ke arah parkiran. Di sana sudah ada Isma yang melambaikan tangan. Aku segera berlari menghampirinya. Aku pulang bersama Isma ke rumah Bibi Lia. Sore nanti Ilham akan datang. Aku tidak perlu pulang ke rumahnya lagi karena sudah berbaikan dengan Kak Sari. Aku tidak mau merepotkan keluarganya lagi. Sebelum benar-benar pergi, aku melihat ke belakang. Erick melambaikan tangannya kepadaku dan kiss bye. Aku menggelengkan kep
“Antarkan aku pulang. Kak Sari sudah boleh rawat jalan. Aku harus membersihkan kamarnya.”Tadi siang aku sudah menceritakan semuanya pada Isma tentang apa yang terjadi pada Kak Sari. Dia prihatin dan memaklumi jika aku tidak mau lagi kembali dengan Erick. “Aku salat Magrib dulu, ya!” Tunggu sebentar.”Sembari menunggu Isma, aku mengganti baju. Di sini masih ada beberapa pakaianku karena rumah ini bagaikan tempat tinggal kedua untukku. Bahkan seragam sekolah juga ada di sini. Kami tiba di rumah tepat setelah waktu salat Isya. Rumahku masih gelap karena lampu belum dinyalakan. Aku masih membawa kunci rumah di dalam tas, sehingga tidak perlu meminta kepada Kak Sari. Kami membagi kunci rumah supaya bisa masuk tanpa harus saling menunggu.“Masuk, yuk!”Aku mengajak Isma masuk. Kami langsung menuju ke kamar Kak Sari. Kamarnya sangat berantakan. Sepertinya habis terjadi sebuah pertempuran di sini. Aku mengganti sepra
“Ampun, Bibi!” Untuk kedua kalinya bibi menjewer Aldo kembali.“Sudah dilarang tidur bareng malah ciuman, di depan anak-anak pula. Pantas saja Gita minggat! Jaga sikapmu kalau tidak ingin kehilangan adikmu, Sari.” Bibi Lia menatap tajam Kak Sari. Bibi dan Isma harus pulang. Mereka pulang setelah memastikan Aldo pergi. Bibi tidak mau kecolongan lagi. “Bibi pulang, ya! Aldo sudah pergi. Setelah ini jangan buka pintu, Gita! Sudah jam 9 malam.”“Hati-hati, Gita. Aku tahu kenapa kamu pergi dari rumah. Jaga Kak Sari baik-baik.” Isma melambaikan tangan kemudian pulang bersama bibi.Aku menutup dan mengunci pintu rumah. Aku akan tidur di kamar Kak Sari supaya bisa membantunya. Segera kumatikan lampu dan menyusul kakakku.“Bibi sudah pulang, Gita?” tanya Kak Sari saat aku masuk ke kamarnya. “Sudah, Kak.”Aku langsung naik ke ranjang dan duduk bersandar di samping Kak Sari. “Maafin Kakak, Gita! Ka
“Ngapain teriak-teriak? Dasar cewek aneh!” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ilham pergi. Fakta membuktikan bahwa 70% bukti menunjukkan jika dia adalah Mas Aril. Aku tidak sabar pergi ke sekolah dan bertemu dengan Faiha. Aku segera memesan lauk dan sayur untuk sarapan. Kali ini aku membeli cukup banyak makanan karena ada Aldo yang akan menjaga Kak Sari saat aku sekolah nanti. Aku pulang membawa sebungkus makanan di dalam kresek berwarna merah. Dengan hati berbunga-bunga aku berjalan sambil bernyanyi. Sampai di rumah aku dikejutkan dengan kehadiran Aldo dan Erick. Mereka sudah duduk berdua di teras sambil minum kopi. “Kalian sudah datang? Cepat sekali,” tanyaku setelah mengucapkan salam. “Sudah dari tadi, kamu pagi-pagi malah keluyuran. Bukannya nungguin Sari malah pergi,” omel Aldo.“Aku beli lauk di warung, hidupku keras. Kudu usaha kalau mau makan. Makanan gak bisa datang sendiri atau jatuh dari langit.”
“Dia menyukai seorang gadis yang sering berkirim salam, namanya Anindya. Gadis periang yang selalu membualnya. Jika gadis itu tidak berkirim salam,penasara ada yang kurang katanya. Dia kehilangan semangat saat bekerja. Baginya setiap pesan dari gadis itu adalah mood boster.” Faiha menjelaskan dengan mata berbinar. What? Jadi, tanpa sepengetahuanku ternyata dia juga menyukaiku? Atau dia hanya menyukai pesanku saja? Ah, jangan geer dulu, Gita! entah mengapa rasanya ada sesuatu yang membuncah di hati mendengar penuturan Faiha. “Fai, kamu tahu ‘kan kejadian barusan? Isma menyukai Ilham. Mereka bertemu saat di pengajian. Tolong jangan katakan apa pun kepadanya, dia saudaraku. Aku tidak mau melukai perasaannya.” Aku menarik napas panjang. Mungkin aku harus merelakannya. Aku hanya menyukai Ilham sebagai Mas Aril karena dia selalu menghiburku. Mungkin aku cukup menjadi pengagumnya di udara. Bukan untuk di dunia nyata. Biarkan Isma yang bersamanya suatu saat.
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o