Suara yang keluar dari arah belakang Jaja berdiri, tentu saja membuat karyawan yang berada tidak jauh dari tempat Jaja menoleh, bahkan mereka ikut melotot kaget seperti bu Yasmin dan Jaja. Jaja sendiri, sudah menutup pantatnya dengan tangan kiri, namun bau semerbak itu telanjur melayang di udara dan ditangkap oleh indera penciuman setiap orang yang ada disana.
Kepala Yasmin saja sampai sempoyongan dan perutnya bergejolak, ia berusaha mati-matian menahan mual karena bau busuk yang keluar dari pantat salah satu keryawannya.
Teman-teman Jaja tidak berani tertawa, karena masih ada bos mereka yang menatap tajam pelaku penyebaran bau busuk.
Rahang bu Yasmin mengeras marah, karyawan yang sangat kurang aja, pikirnya. Tangannya yang putih, sedang menutup hidung sekaligus mulutnya.
Jaja sudah menunduk malu, bahkan sangat malu. Ya Allah, Jaja rasanya ingin mati saja saat ini. Air matanya sudah menggenang, tanda ia benar-benar dalam keadaan tidak ada harga dirinya lagi.
"Kamu ke ruangan saya sekarang!" tunjuk Yasmin pada lelaki muda di depannya ini. Jaja mematikan sebentar mesin raksasa itu, dengan langkai gontai ia berjalan mengikuti langkah Yasmin, menuju lift khusus pejabat pabrik. Semua orang melirik Jaja dengan tatapan kasihan sekaligus lucu.
Jaja masih menunduk mengekori langkah Yasmin.
Buugghhh...
Kepala Jaja menubruk punggung Yasmin yang berhenti tiba-tiba. Yasmin kaget, apalagi Jaja. Bahkan saat ini ia menahan, agar tidak terkencing di celana, karena terlalu malu, takut dan gugup.
"Kamu kurang aja sekali! kenapa menabrak punggung saya??" pekik Yasmin saat ia berbalik dan melihat wajah Jaja semakin pucat.
"Maaf, Bu. Ya Allah. Saya tidak sengaja!" kedua telapak tangan Jaja menangkup memohon ampun pada Yasmin. Wajahnya mengiba penuh permohonan. Namun, sepertinya janda muda itu sudah kepalang emosi. Ia tidak berkata apa-apa lagi pada Jaja, langsung kakinya masuk ke dalam lift yang pintunya baru saja terbuka. Kaki Jaja pun melangkah ikut masuk ke dalam lift.
"Siapa yang suruh kamu ikut naik lift ?" teriak Yasmin memberang, kesabarannya sudah habis saat ini. Jaja tersentak kaget. Tubuhnya mundur keluar dari lift dengan wajah seputih kapas.
"Kamu naik tangga, bukan naik lift. Paham!!"
Suara melengking Yasmin bahkan membahana di seluruh ruangan produksi. Mereka menggeleng pasrah, pasrah akan nasib Jaja yang sepertinya akan segera dipecat.
"Iii...iyaa.., Bu. Maaf!" Jaja berjalan ke arah tangga, sebelumnya ia sempat melirik Nanang dan beberapa temannya yang lain,mereka menunjukkan gerak tubuh, memberikan semangat pada Jaja. Lelaki itu hanya bisa mengangguk pasrah, sambil memukul gemas pantatnya.
"Pantat sialan! Ish..." gerutu Jaja sambil memukul pantatnya sendiri.
"Awas kalau gue dipecat, gue pecat juga lu. Biarin gue ga punya pantat, ga papa. Dari pada punya pantat tapi bikin malu doang."
Jaja terus saja menggerutu kesal, hingga tidak terasa sampai juga ia di lantai tiga. Matanya menatap horor plang pintu yang bertuliskan "Direktur" .
"Jaja, cepat!! Udah ditungguin lu!" Seru Renita dari balik mejanya. Ya... Jaja mengenal Renita sekretaris Yasmin dari Nanang. Pergaulan Nanang di pabrik cukup luas, sehingga hampir semua teman-teman Nanang pasti mengenal Jaja.
Jaja berjalan melewati meja Renita dengan tampang kuyu. "Ada apa sih, Ja?" Tanya Renita dengan wajah penasaran. Jaja tidak biasanya berwajah asem seperti ini.
"Doain gue ga dipecat ya, Mba!" Sahut Jaja lesu, ia hanya menoleh sekilas, lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu neraka.
Tokk..tookk..
"Masuk."
Ya Allah, kaki dan tangan Jaja gemetar, padahal baru mendengar suaranya saja sudah seperti akan segera dicabut nyawanya.
Ya Allah, hamba mohon selamatkanlah hamba dari malaikat pencabut nyawa.Kleeekk..
Pelan Jaja membuka pintu ruangan Yasmin. Wanita cantik dengan bulu mata lentik itu, sudah membuka blazernya, hanya menyisakan kemeja biru tua dan celana bahan. Ia duduk di kursi kebesarannya. Sambil menatap sengit Jaja.
Dua tahun sudah Jaja bekerja disini, namun baru kali ini ia bisa memasuki ruangan direktur pabrik. Sungguh ruangan yang simple namun tetap elegan. Ada foto pernikahan Yasmin dengan Arman berukuran cukup besar dipajang disana.
Dengan pelan, Jaja menutup kembali pintu ruangan tersebut lalu sambil menunduk, Jaja berjalan ke arah sofa, kemudian dengan pelan menaruh bokongnya duduk disana.
"Siapa suruh kamu duduk disitu?"
Spontan Jaja bangun dari duduknya. Ia kini berdiri berhadapan dengan bos cantik yang sangat menyeramkan. Lagi-lagi Jaja menunduk, tidak berani memandang wajah Yasmin yang saat ini berada dalam mode fire.
"Maaf, Bu!"
"Kamu tahu kesalahan kamu apa?" Tanya Yasmin dengan nada tinggi.
"Tahu, Bu!"
"Apa yang sebaiknya kamu lakukan?"
"Mati aja, Bu. Eehh..maksudnya terserah ibu saya mau diapakan." Dicium juga mau bu. Bisik hati Jaja dengan tidak sopannya.
"Nama?"
"Ibu tanya saya?"
"Bukan, saya tanya tuyul. Ya kamu dong, kan kamu yang ada di depan saya sekarang."
"Javier Ahmad, Bu."
"Nama siapa itu?" Yasmin mengerutkan keningnya. Perasaan namanya Jaja.
"Nama tuyul, Bu. Ehh...maksudnya nama saya."
"Jangan bohong kamu! Bukannya nama kamu Jaja?"
"Nama panggilan, Bu. Nama sesuai KTP dan akte lahir, Javier Ahmad."
"Usia kamu?"
"Lahir 25 Maret 1998, Bu. Pas banget tanggal tua kata emak saya, ehh...kata mamah saya."
Yasmin menahan senyumnya.
"Usia kamu saya tanya?bukan tanggal lahir."
"Iya tinggal dikurangin aja, Bu. 2020 dikurang 1998, berapa ya?" Jaja nampak berpikir, bahkan sekarang ia menggunakan jari jemarinya untuk menghitung usianya.
"Dua puluh dua tahun, Bu!"
"Sudah berapa lama kamu bekerja disini?sudah diangkat jadi karyawan tetap, atau masih kontrak?"
"Alhamdulillah, sudah dua tahun, Bu. Masih kontrak."
"Kamu saya pecat!"
Jaja terdiam, bahkan kini air matanya sudah menggenang. Ia benar-benar akan menangis, apalagi saat ini terbayang wajah sedih ibunya, jika tahu ia dipecat.
"Hiks...hiks..." akhirnya air mata itu tumpah juga. Yasmin hampir tidak percaya melihat pemandangan di depannya, seorang lelaki muda menangis hanya karena dipecat.
"Iya, Bu. Tidak apa-apa. Saya...hiks...mohon maaf, jika sudah melakukan hiks...banyak kesalahan, hikks..." tersedu Jaja meminta maaf, sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Saya permisi, Bu. Mohon saya dimaafkan." Jaja berlalu sambil menunduk, bahkan ia tidak berani menatap wajah Yasmin yang saat ini, sedikit iba pada Jaja.
*****
Teman-teman di pabrik mengetahui Jaja dipecat, mereka sungguh tidak percaya bu Yasmin, bos mereka. Tega memecat Jaja yang pekerjaannya selama dua tahun ini sangat baik. Bahkan, saat pak Arman masih ada, Jaja pernah mendapatkan piagam karyawan dengan jam kerja full, tidak pernah izin atau pun sakit. Bahkan Jaja dengan senang hati mengambil jam lembur.Satu persatu mereka menyalami Jaja. Nanang tampak begitu sedih, ia memeluk erat Jaja. "Semoga lu dapat kerjaan lebih baik dari sini ya, Ja. Sabar ya!" Nanang mencoba menguatkan Jaja.
"Pantesan aja lakinya mati duluan, orang aslinya perempuan kejam begitu!" Celetuk Dian dengan wajah sebal.
"Ga papa, Dian. Yang salah emang gue." Jaja menyunggingkan senyumnya pada semua teman-temannya. Dengan langkah gontai ia keluar dari pabrik.
Jika ia pulang sekarang, pasti ibunya curiga. Jadilah ia duduk di teras masjid. Menunggu waktu dzuhur hingga ashar.
"Permisi, Kak. Saya lapar!" Ucap seorang anak kecil, kira-kira berusia tujuh tahun. Pakaiannya lusuh begitu juga wajahnya. Tangannya menadah, minta belas kasihan Jaja.
"Ibu kamu kemana?"
"Ga ada, Kak. Saya tinggal sama nenek saja." Ucapnya sedih. Jaja terenyuh, ia bersyukur masih diurus oleh ibunya sendiri. Dengan sigap, Jaja mengeluarkan dompet lusuhnya. Masih ada tiga lembar uang lima puluh ribu disana dan beberapa lembar uang lima ribuan. Jaja mengambil satu lembar lima puluh ribuan, lalu memberikannya pada anak tersebut.
"Ini, De!"
Anak kecil itu menatap tidak percaya uang yang kini sudah berada di tangannya.
"Banyak sekali, Kak!"
"Belikan beras, telur dan mie jadi nenek kamu juga bisa ikut makan."
"Ya Allah, makasih, Kak. Hikkss..." anak kecil itu berlari sambil menangis.
Disaat aku kehilangan pekerjaan, ternyata ada yang lebih susah. Anak kecil menahan lapar karena tidak memiliki uang untuk makan. Astaghfirulloh, aku tidak pantas bersedih, pasti ada jalan buatku untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Jaja bermonolog. Sambil menunggu waktu adzan magrib, Jaja membuka ponselnya.
Restoran Pojok Lesehan, mengundang anda untuk bergabung menjadi keluarga Restoran Pojok Lesehan. Ditunggu kehadirannya besok pukul sembilan pagi, untuk briefing.
Jaja mengusap air matanya yang tumpah.
"Alhamdulillah, Ya Allah!"
Yasmin berjalan keluar dari ruang produksi. Kepalanya menoleh, bagian mesin yang kini telah digantikan oleh orang lain. Yasmin menarik nafas lega, semoga setelah ini tidak ada lagi karyawan yang berperangai buruk seperti Jaja.
****
Pagi yang cerah, matahari sudah tampil sangat cantik pada pukul tujuh pagi. Disebuah gang kecil, seorang ibu sedang menjemur bayinya penuh suka cita. Tidak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya, menjemur ibunya yang sudah sepuh, duduk di kursi roda, sambil berbincang dan memijat lembut tangan wanita sepuh itu. Mata mereka melihat ke arah ujung gang buntu itu, dimana ada tumpukan warga yang cukup ramai.Warung nasi uduk dan lontong sayur yang ramai didatangi warga, apalagi masih baru. Dan rasanya lumayan enak. Ialah bu Ambar, ibu dari Jaja yang berjualan nasi uduk, lontong sayur dan aneka gorengan. Lelaki muda yang sebenarnya memiliki wajah tampan tapi tidak terurus itu, ikut melayani tetangga yang membeli sarapan di warung nasi uduk ibunya. Walaupun hanya beralaskan meja yang sedikit lagi rubuh, namun bu Ambar dan Jaja tetap semangat melayani pembeli."Jaja ga kerja?" Tanya seorang wanita muda yang usianya tidak jauh dari Jaja."Kerja, May. Nanti jam delapan berangkat." Sahutnya s
Reza masih saja menunduk. Ia tidak berani menatap wajah ibunya yang saat ini sepertinya sedang tidak suka dengan yang tadi dia lakukan. Berkali-kali Yasmin menarik nafas panjang, ia harus menyusun kalimat yang tepat dan mudah dipahami oleh anak seusia Reza."Kenapa Abang tadi dorong amih?""Maaf amih," sahut bibir mungil Reza, masih sambil menunduk."Tidak boleh seperti itu lagi ya, Bang!"Reza mengangguk. Kali ini ia mencoba melihat wajah ibunya yang sudah terlihat lelah."Abang kesepian, abang mau punya teman, abang mau punya adik," ucap Reza dengan wajah sedih. Yasmin terperangah dengan ucapan anak lelakinya."Abang bosan main sama oma, opa, kakek, nenek, Mba Narsih. Abang bosan!"Kali ini wajah Reza cemberut. Yasmin mendekati Reza lalu memeluknya."Kan ada adik Sarah, adik Naomi.""Abang mau adik dari perut Amih." Reza menunjuk perut Yasmin.Mata Yasmin berkaca-kaca, sebelum suaminya sakit. Ia sudah membuka alat kontrasepsi IUD agar ia segera diberi keturunan lagi. Namun, baru dua
Yasmin dan Jaja kini duduk di ruangan Maria. Suasana pagi yang awalnya ceria, mendadak panas saat Yasmin menarik Jaja naik ke ruangan Maria. Bahkan Maria dan chef Rahman yang sedang asik berdiskusi, ikut terusir dari ruangan."Ada apa sih?" Tanya Maria pada Faisal. Wajahnya masih kebingungan, saat turun dari lantai dua ruangannya.Faisal hanya mengangkat bahunya tidak paham."Emang Yasmin kenal dengan Jaja? Jaja kan baru berapa hari kerja." Tanya Maria lagi pada Faisal, lagi-lagi Faisal mengangkat kedua bahunya sambil mencebik."Sakit bahu lu ya, Sal. Dari tadi ditanya cuma angkat bahu. Udah sana ke dapur!" Titah Maria dengan wajah sewot.Sementara itu, di ruangan Maria. Yasmin tengah duduk dengan wajah tegang. Ia menatap Jaja dengan tajam, lelaki di depannya ini masih berdiri dengan menundukan wajah."Kamu tahu kesalahan kamu apa?" Lantang suara Yasmin bertanya pada Jaja."Tahu, Bu. Soal nyamuk tua"."Siapa nyamuk yang kamu maksud?""Hewan serangga, Bu." sahut Jaja dengan polosnya,
Sejak kejadian memalukan dua hari yang lalu, Yasmin tidak pernah datang lagi ke resto. Rasa malu dan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dimana dirinya telah tanpa sengaja jatuh di atas tubuh Jaja, karyawannya. Yang lebih memalukan lagi, lelaki brondong itu malah pingsan karena tertindih oleh tubuhnya yang montok.Yasmin menepuk-nepuk jidatnya, kenapa ingatan kejadian memalukan itu selalu saja datang di kepalanya?. Apa dia segendut itu? sehingga mampu membuat lelaki itu pingsan. Yasmin menoleh ke arah cermin yang tepat berada di depan ranjangnya. Mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.Sepertinya tidak gemuk apalagi gendut, dengan memiliki tinggi 170cm dan berat 65kilogram. Ia rasa ia hanya montok saja. Aah...pusing-pusing."Amih kenapa?pusing?" Tanya Reza saat melihat ibunya menepuk-nepuk kening di atas ranjang."Iya, Bang. Sedikit kok!" Sahut Yasmin, sambil menarik tangan Reza agar duduk di dekatnya."Ada apa sayang?""Abang mau beli buku, Amih. Buku dinosaurus.""Oh, gitu. Oke! Seka
Hening, tidak ada yang mengeluarkan suara dari kedua orang dewasa yang berdiri di dekat Reza ini. Bahkan seketika kepala Yasmin seakan berputar. Sedangkan Jaja dengan refleks memegang tengah celananya."Segini, nih!" Reza mengangkat sebelah lengannya ditekuk. Mata Yasmin melotot, ia hanya mampu menelan salivanya."Eh, kurang ... kurang ... segini." Reza mengangkat sebelah lagi lenganya, membawanya berdempetan. Kanan dan kiri.Yasmin dan Jaja semakin melotot. Yasmin yang air wajahnya berubah merah, berusaha menahan tubuhnya agar tidak limbung."Ehm ... kami permisi ya, Ja." Yasmin langsung menarik lengan Reza yang masih saja terangkat menirukan besarnya titit abang Jaja. Jaja hanya melongo tanpa mampu berkata-kata. Wajahnya sudah seperti atap gosong. Ya Allah malunya. Jaja memijat pelipisnya, berarti saat di toilet tadi, Reza melihat miliknya yang memang lebih gede dari ukuran asli indonesia."Dah, Abang Jaja." Reza melambaikan tangannya sambil tersenyum riang, langkahnya mengikuti Yas
Nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan sosis bakar, sebagai menu sarapan Yasmin dan juga Reza, sudah tersedia di atas meja. Seteko teh manis hangat tertata di samping kerangjang buah di atas meja makan. Anak lelaki yang berusia lima tahun menjelang enam tahun itu, masih asik dengan legonya. Sambil menunggu amihnya keluar dari kamar."Makan duluan aja, Bang. Nanti abang telat," ajak Bik Narsih sambil mengambilkan nasi dan juga teman-temannya ke dalam piring Reza."Gak ah, Bik. Abang tunggu Amih aja," sahut Reza sambil memainkan legonya.Yasmin keluar dari kamar dengan rambut basah yang sepertinya baru saja dikeringkan dengan menggunakan hairdryer. Dengan menggunakan kemeja bewarna biru tua dan celana bahan bewarna putih tulang, penampilan Yasmin tampak memesona dan terlihat segar."Cuci dulu tangannya, Bang! Setelah itu mainannya dirapikan," titah Yasmin sambil menarik kursi tepat di depan Reza duduk. Anak kecil itu mencuci tangan di wastafel dapur, setelah menaruh kembali mainanny
Dengan peluh masih bercucuran, Jaja terus saja mengemudi mobil Yasmin dengan kecepatan sedang. AC mobil seharusnya membuat Jaja menggigil, namun tidak kali ini. Hawa dingin berubah menjadi panas, apalagi tangan telapak tangan Yasmin masih berada di atas milik Jaja. Sedangkan tubuh Yasmin miring ke kanan menghadap Jaja dengan mata tertutup. Benar-benar pulas, bahkan tidak ada gerakan refleks sama sekali.Jaja mengambil beberapa lembar tisu yang ada di dashboard. Mengelap keringatnya yang semakin bercucuran. Tanpa sadar, jemari Yasmin bahkan menggaruk milik Jaja. Membuat Jaja melotot dan menahan nafas. Ada rasa geli sekaligus tegang, ia yakin sepuluh detik lagi si untung akan terbangun, jika Yasmin terus saja menggaruk bagian risleting celananya.Untung saja sudah sampai di gerbang rumah Yasmin."Bu, maaf, sudah sampai!" Jaja berusaha membangunkan Yasmin dengan suaranya, namun Yasmin tetap terlelap, begitu nyenyak. Jaja tidak berani menyentuh lengan atau tangan Yasmin, ia tidak ingin di
Bu Ambar tidak bisa tidur, karena Jaja belum juga pulang. Padahal sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya paling malam Jaja pulang jam sebelas, itu pun pasti memberitahu bu Ambar terlebih dahulu.Berkali-kali ia keluar di teras, menatap ujung gang sepi yang belum ada tanda-tanda anak lelakinya pulang. Malah suaminya yang terlihat berjalan sempoyongan menuju rumah. Cepat bu Ambar masuk, lalu naik ke kasur dan berpura-pura tidur . Yang pulang, malah yang tidak diharapkan.Krreeekk...Terdengar suara pintu rumah dibuka. Bu Ambar masih memejamkan mata berpura-pura tidur."Bangun lu!" Teriak pak Jamal pada istrinya.Bu Ambar pura-pura terlelap."Kebo nih perempuan! Hei...bangun!" Teriak pak Jamal tepat di telinga bu Ambar, bau alkohol begitu menyengat. Membuat bu Ambar enneg ingin muntah.Uuueekk..."Bagi sini duit, gue pinjem dulu.""Ga ada, Pak!""Jangan boong lu, mana kunci lemari?" Sempoyongan pak Jamal mencari-cari kunci lemari yang biasa diletakkan istrinya di atas lemar
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan kalimat selamat hari per
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya. "Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah memendam rindu, ia dapat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya meleleh seperti hari ini. CupAmira mencium ponse
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah. "Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira yang berdiri di sampingnya.