Jaja mendengarkan dengan seksama resep yang disarankan oleh Nanang. Mulai dari kasih perhatian lebih, sering berkirim pesan, kasih hadiah-hadiah kecil, pepet terus jangan kasih kendor. Nanang juga memberi tahu metode khusus, yaitu tarik-ulur. Satu yang paling diingat Jaja dari penggalan kalimat yang Nanang ucapkan. Janda mah pasti senang diperhatikan.Jaja mengangguk paham atas petuah dari temannya barusan. Mulai saat ini ia akan berusaha mendekati Yasmin secara perlahan."Janda gang mana yang udah bikin lu ganteng kayak gini?" tanya Nanang sambil menatap wajah Jaja penuh curiga."Ada deh." Jaja menyeringai. Jangan sampai Nanang tahu perihal ia sedang mendekati Yasmin."Jandanya demen kaga sama lu?""Kaga! Hahahahaha..." Nanang dan Jaja terbahak."Dah, cari yang perawan aja kalau janda ga mau sama lu.""Pan, usaha dulu, Nang. Kalau tidak berhasil gue baru berselancar cari yang perawan. Ada sih tetangga gue yang kayaknya naksir sama gue. Tapi...gak deh, janda lebih memikat. Kedodoran h
Jaja membopong tubuh Yasmin masuk ke dalam mobil lalu meletakkan tubuh Yasmin pelan di kursi belakang, serta meluruskan kaki Yasmin agar Yasmin lebih nyaman. Jaja juga mengambil bantal leher kemudian menyangga kepala Yasmin."Saya bukan jompo lho, Ja," ujar Yasmin sambil memutar bola mata malasnya. Jaja hanya menyeringai, lalu masuk ke dalam kursi kemudi."Kita langsung pulang, Bu?" tanya Jaja sambil memasang seatbelt."Iya, saya mau istirahat di rumah saja.""Kalau mampir ke KUA dulu mau gak, Bu? Masih buka jam segini kok, Bu," ledek Jaja sambil terkekeh."Mulut kamu kalau bicara yang sopan, Ja. Saya tidak suka mendengarnya," ujar Yasmin ketus sambil melipat tangannya di dada."Emang mau ngapain ke KUA, Bu?" tanya Jaja keheranan."Jangan suudzon, Bu. Di KUA Kebayoran itu persis di sampingnya ada pom bensin, Bu. Ini si merah hampir habis bensinnya," terang Jaja sambil melihat ke arah Yasmin yang membuang pandangan."Oh ... bilang dong," sahut Yasmin sambil mengeluarkan uang tiga ratus
Reza memekik senang melihat amihnya digendong oleh Jaja saat akan turun dari mobil. Bik Narsih yang berdiri di depan pintu bersama Reza ikut melotot kaget melihat penampilan Jaja yang berubah. Ditambah saat ini Jaja sedang menggendong majikannya.Ada apa ini? Narsih bermonolog.Reza yang ditangannya sedang memegang ponsel, cepat membuka mode kamera lalu memotret amih dan abang Jaja kesayangannya."Amih kok digendong?" tanya Reza begitu amih dan Jaja sampai di depan pintu."Kaki Amih keseleo, Bang. Jadi susah jalannya," terang Yasmin sambil meringis."Narsih, kok bengong? Permisi saya mau lewat, ini Jaja berat gendong saya." Yasmin menegur Bik Narsih yang melongo menatap Jaja dan majikannya bergantian tanpa memberi jalan masuk bagi mereka."Eh...iya,Bu." Narsih tersadar lalu menggeser tubuhnya. Jaja masuk sambil menggendong Yasmin diikuti Reza yang kini sudah merekam adegan romantis amihnya."Kuat gak gendong saya ke lantai dua?" tanya Yasmin pelan sambil menatap Jaja."Kuat, Bu. Tena
Melihat Yasmin yang lemas di atas balkon kamarnya, Jaja panik begitu juga Reza. Masih dalam keadaan tubuh basah, Jaja berlari masuk ke dalam rumah menuju kamar Yasmin. Diikuti oleh Reza yang juga setengah berlari mengekori Jaja."Pelan, Za. Licin!" Jaja mengingatkan Reza agar hati-hati.Jangan dibayangkan betapa anehnya dua lelaki yang satu memakai sempak berenang dan yang satu lagi memakai sempak merah, berlari ke lantai dua.Kreekk...."Bu...ya Allah!" pekik Jaja kaget, melihat Yasmin dalam keadaaan lemas bersandar di tiang balkon."Amiih... hiks..hiks.." Reza malah menangis, menyaksikan amihnya lemas dan wajah yang pucat. Sigap Jaja menggendong Yasmin lalu menaruhnya kembali di atas kasur."Eza, punya minyak kayu putih ga?""Ada, Bang. Tunggu ya!" Reza berlari keluar kamar amihnya. Ia ingin mengambil minyak kayu putih yang memang selalu disimpan di kamarnya."Ini, Bang." Reza mengulurkan minyak kayu putih pada Jaja. Jaja membalur tangan dan juga kaki Yasmin dengan dada berdebar. Me
"Bu, permisi," tegur Jaja saat berdiri tepat di depan kamar Yasmin yang masih terbuka pintunya. Yasmin yang sedang duduk fokus pada ponselnya ikut menoleh."Ada apa?" tanya Yasmin datar. Melihat Jaja sekilas, lalu matanya kembali pada layar ponsel."Reza sudah tidur, saya permisi pulang ya, Bu. Besok saya balik lagi dengan membawa tukang urut.""Oh, oke. Hati-hati," sahut Yasmin sambil tersenyum tipis."Mas Jaja!!" suara Bik Narsih menggema dari dalam kamar mandi Yasmin. Kepalanya menyembul keluar. Hingga Jaja dan Yasmin menoleh pada Narsih."Mau pulang ya? Saya antar ya?" ujar Bik Narsih sambil menyeringai."Emang kamar mandinya sudah bersih?""Sedikit lagi, Bu. Saya antar Mas Jaja dulu ke bawah. Nanti saya lanjutkan lagi sikat kamar mandinya." Bik Narsih sudah berdiri di dekat Yasmin. Matanya tidak lepas menatap Jaja."Tidak bisa! lanjutkan lagi pekerjaanmu!" tolak Yasmin tegas."Sekalian saya kunci pagar, Bu," sela Narsih beralasan. Tetapi ada benarnya juga, pintu pagar memang haru
Jaja sudah sampai di depan gang rumahnya diantar oleh Dokter Vera."Terima kasih sudah mengantar saya, Dok.""Panggil Mbak Vera saja.""Eh iya, Mbak, terima kasih." Jaja menganggukkan kepalanya sambil tersenyum."Besok biar saya bicara pada Yasmin. Kalau Yasmin setuju, mulai lusa, kamu sudah bisa bekerja di rumah sakit.""Alhamdulillah, terimakasih banyak, Mbak Vera." Jaja tersenyum senang. Turun dari mobil sedan mewah Vera dengan hati riang. Vera melambaikan tangan pada Jaja sambil membunyikan klakson.Semoga Bu Yasmin mengizinkanku bekerja pada Dokter Vera, besok. Jaja bermonolog. Senandung riang ia nyanyikan mengisi ruang hati yang tadi sempat gundah karena perkataan pedas Yasmin sekaligus bertemu dengan lelaki yang mengaku calon suami Yasmin. Tawaran pekerjaan teknisi listrik yang dilayangkan Vera membuat ia kembali bersemangat."Assalamua'laykum," seru Jaja sambil membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Tumben sepi, pikirnya. Bu Ambar tidak menyahut, lampu ruang tengah yang d
"Apa?!" Yasmin kaget, bahkan wajahnya pias."Iya, aku bayarin hutang Jaja ke kamu, ini aku lebihkan dua juta sebagai kompensasi. Rumah sakit lagi butuh teknisi listrik.""Tidak bisa!" tolak Yasmin sambil meletakkan kembali amplop coklat ke tangan Vera."Kenapa tidak bisa?bukannya Jaja kerja jadi supir karena mempunyai hutang dengan kamu lima juta. Ini aku ganti uangnya, Sayaang. Jaja biar kerja di rumah sakit saja." Vera berkata lemah lembut sambil kembali menyodorkan amplop yang ia pegang."Aku harus bicara dulu pada Jaja," tukas Yasmin dengan raut wajah sebal."Oke, baiklah. Semoga Jaja juga setuju." Vera mengerling sambil tersenyum licik. Lalu dengan gemulai keluar dari kamar Yasmin, namun baru memegang engsel pintu, Vera berbalik."Bolehkan kalau aku naksir Jaja?" tanya Vera sambil menyeringai."Ya terserah kamu, bukan urusan aku juga," sahut Yasmin dengan memutar bola mata malasnya."Hehehehe...aku baru tahu lho, muka janda yang lagi cemburu itu kayak gini ternyata," ledek Vera s
Reza seharian uring-uringan. Sudah jam sepuluh siang, tapi Reza belum mau makan apa-apa dari pagi. Anak lelaki itu kesal sekaligus sedih karena Jaja tidak datang ke rumahnya hari ini. Bik Narsih sudah membujuknya agar mau makan, tetapi Reza masih mengunci rapat mulutnya."Makan, Bang. Nanti sakit perut," ujar Yasmin parau karena kakinya sedang dipijat oleh tukang urut langganan keluarga Vera."Iya nanti. Abang tidak lapar. Abang cuma sepi saja," sahut Reza sendu sambil melamun memperhatikan lego di depannya."Besok juga Bang Jaja ke sini. Ibunyakan lagi sakit, Bang."Reza tidak menyahut, ia malah keluar dari kamar Yasmin lalu turun ke bawah untuk menghampiri Narsih yang sedang membuat puding di dapur.Yasmin memandang layar ponselnya. Ada nama papanya tertera di sana. Yasmin enggan mengangkat tapi bunyi itu terus saja berdering.Hallo, Assalamualaykum, Pa.Lagi diurut, Pa. Kaki Yasmin keseleo, tapi sudah tidak apa-apa kok.Aduh, jangan besok deh, Pa. Yasmin aja ga tau kapan baru bener
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan kalimat selamat hari per
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya. "Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah memendam rindu, ia dapat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya meleleh seperti hari ini. CupAmira mencium ponse
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah. "Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira yang berdiri di sampingnya.