Tinggg .....
Sebuah notifikasi masuk ke handphone Vero. Terhitung masih sangat pagi. Pukul enam, dan laki-laki itu masih bergumul dengan kasur biru kusam lengkap dengan selimut berwarna senada.
Dengan malas dan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya tangannya beringsut meraih kotak gepeng sumber notifikasi.
“Siapa sih! Ganggu banget.”
Sebuah pesan dari nomor baru ‘Pagi Vero.’
“Nomor baru lagi. Tidur lagi bisa kali, ntar aja balasnya. Males banget!” gumamnya dalam hati. Kemudian terpejam dan tidur lagi.
Hingga kemudian HP-nya berdering kencang sekali. Nada dering, volume penuh. Matanya langsung terbelalak. Seperti ditiup trompet sangsakala di depan telinganya.
“Haaa .... hallo,” jawabnya gelagapan. Sempat salah sisi HP nya. Micropone di telinga dan speaker di mulut.
“Hallo!! Vero kamu baru bangun? YA TUHANNNN!!” umpat seseorang di seberang telefon sana. Demi melihat nomor yang meneleponnya ia baru sadar kalau handphonenya terbalik.
“Engg ... enggak kok. Maap nih, dengan siapa ya ini?” tanyanya polos. Masih belum juga paham.
“Guess who?”
Vero mendengus kesal. Bahkan otaknya masih serupa cumi-cumi di dalam kulkas semalaman, membeku.
“Oh kamu ya ternyata. Ngomong dong dari tadi.”
“Hah? Siapa coba?” Perempuan di seberang telepon makin heran.
“Hayo siapa coba tebak!”
“Ih ga jelas! Saya tunggu di restoran kemarin malam atau kamu langsung saya coret dan portofolio kamu bakal jadi bungkus kue cucur. Sekarang!! Saya beri wa
Tut... tut... tut....
Belum suara terputus selesai Vero sudah melompat. Jangkahnya lebih jauh, paling jauh malah. Panjang kasur dilompatinya dalam satu langkah. Handphonenya mendarat entah ke mana. Pintu yang tertutup ditabraknya sampai terbuka. Mentang-mentang tubuhnya kekar.
“Berliana, Berliana, janda sialan!! Kenapa nggak bilang daritadi!” umpatnya di dalam hati.
Di dalam kamar mandi celana dalamnya meluncur begitu. Kaos lusuh ditariknya ke atas asal-asalan. Berujung suara robek ketika melewati ketiaknya yang diapit otot-otot besar lengannya.
Ia guyur sembarangan tubuhnya. Sabun cair meluruh di tubuhnya dengan tak beraturan pula. Hanya ia ratakan sebisa dan secukupnya. Membilas pun dilakukan dengan tak beraturan.
Belum kering air di tubuhnya diisap handuk, ia sudah melompat keluar kamar mandi. Melihat kamarnya yang berantakan. Pintu engsel yang makin rusak berkat keahlian dobraknya.
Persetan!
Ia butuh kaos. Bukan bukan! Ia butuh kemeja. Di tumpukan paling atas lemarinya. Ia ambil yang terbaik. Setelan ala karyawan baru, kemeja putih dan celana hitam. Tak sampai semenit sudah melekat di tubuhnya.
Melompat cepat lagi. Memasang jam tangan, menyisir rambut. Meraih handphone, memasukkannya ke dalam tas yang ia sendiri tak ingat isinya apa saja. Berlari ke depan, menutup pintu meraih sepatu.
Menabrak pintu lagi dengan kasar. Ia lupa kontak motornya masih di atas kulkas.
Berlari cepat lagi meraih helm, melompat ke atas motor, tanpa menunggu lagi laki-laki itu langsung tancap gas.
Ia tak peduli kemacetan bahkan kalau perlu ia naikkan motornya ke trotoar. Hampir ia menabrak motor yang keluar gang seenak jidat. Hampir melindas kucing yang tiba-tiba menyeberang. Berujung umpatan darinya dan bukan mengurangi gas justru menambahinya.
Sesampainya di restoran ia langsung menurunkan standar motor matic-nya. Mesin mati, Vero tahu ia memarkir motornya sembarangan, bukan cuma motor, hidupnya sudah ngawur dari awal.
Ia merangsek masuk restoran. Begitu di depan pintu memutar pandangannya mencari satu orang biang ke-ngawurannya hari ini. Sampai-sampai tak sadar, bahwa semua orang di restoran yang sedang bersantap sarapan pagi di restoran itu kini menatapnya dengan menahan tertawa.
“Ketemu!” Vero tak peduli dengan semua orang yang baginya asing. Ia seperti singa yang baru saja menemukan kijang. Mengintai, menemukan, lalu mengejar.
“Huh ... huh ... huh...!!!! Belum telat kan??” tanyanya dengan napas ngos-ngosan. Susah sekali menelan ludah seolah kelenjarnya ikut melupakan tugas memproduksi ludah demi mengejar 10 menit paling berarti dalam hidupnya.
Perempuan itu dengan santai menaruh kembali gelas teh di ke atas cawannya. Sekilas tampak bekas gincu di pinggir bibir gelas bekas bibirnya.
“Sembilan menit tiga puluh tujuh detik, hanya kurang dua puluh tiga detik, kamu tahu kan artinya?” ujarnya sambil menunjukkan layar handphone yang menampilkan stopwatch.
“Saya diterima?”
Berliana mengangguk, “Assaaalllllll.”
“Asal??”
Perempuan itu mengerutkan kening. Menatap laki-laki itu dari atas hingga bawah. Kemudian menggeleng. Ekor matanya menunjuk ke atas. Tapi seperti orang buru-buru lainnya, Vero tak mengerti.
“APA SI MBAK, VERO NGGAK NGERTI.” Rengek Vero sambil mengangkat alis.
“YA TUHAN VEROOOOO! Harus banget ya mbak ngomong? Itu tuh,” tunjuk Berliana ke arah kepala Vero.
“Hehehe, iya lupa.” Vero si kekar tampan tapi lola. Ia lupa masih mengenakan helm.
“ITU JUGA!” tunjuk berliana lagi ke arah baju Vero. “KANCING KAMU!”
Gemas akhirnya perempuan itu berdiri merapatkan tubuhnya menghalangi orang lain melihat.
“Kalau kancing nomor 2 ya sama lubang kedua dong jangan sama yang ketiga.”
Vero dibuat diam gelagapan. Kening Berliana hanya dua jengkal dari dagunya. Yang artinya dengan hanya memajukan tubuhnya sedikit Vero bisa mencium kening perempuan di depannya itu.
Dengan jarak segini Vero bisa mencium aroma parfum yang semalam membuatnya susah tidur. Dengan jarak sedekat ini, seharusnya ia bisa menangkap pinggangnya, merapatkan tubuhnya hingga tak lagi berjarak, memeluknya.
Seharusnya itu bisa dengan mudah ia lakukan, tapi lihat apa yang terjadi sekarang. Vero malah diam, tangan kiri masuk kantong tangan kanan memegang helm bodohnya yang ikut masuk ke dalam restoran.
“Dah, gini kan rapi.” Tangan perempuan itu menepuk-nepuk kemeja yang Vero kenakan. Merapikan tiap lekuk bentuk kemeja yang menempel dengan tubuh kekar Vero.
Merasa diamati, Berliana mengangkat wajahnya. Dan tatap mata keduanya bertemu.
Vero tersenyum, Berliana tersipu. Hanya dengan satu jinjitan kaki atau rundukan kepala Vero bibir mereka akan bertemu.
Berliana refleks memundurkan tubuhnya. Membuat Vero jadi kikuk di depannya. Menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Emmm .... Mending kamu balikin helm dulu deh. Rapihin dulu tuh rambut. Jangan ketemu saya acak-acakan gitu dong! Saya ini calon bos kamu loh.”
“Baa ... ba ... baik Mbak. Saya permisi dulu.”
Berliana mengangguk kecil tanda mengiyakan. Sambil kembali duduk rapi menyilang kaki. Melihat ke arah Vero pergi hingga tubuh laki-laki itu hilang ditelan pintu restoran.
Setelah hilang baru dia menghela napas panjang. Membuang mimik muka galak yang ia paksakan dari tadi. Mengipasi mukanya sendiri yang kini memerah menahan malu dengan ke sepuluh jarinya.
“Ya Tuhan, gobloknya aku!! Gobloknya aku!!” umpatnya dalam hati sambil mengetuk-ketuk meja.
“Seharusnya aku tak boleh kelihatan murahan di depan dia. Apalagi hanya calon karyawan. Ayolah Berliana tahan dirimu, tahan!” bisiknya pelan sambil mengambil napas dalam-dalam, menahannya sebentar kemudian mengeluarkannya pelan-pelan.
“Tapi mana tahan, Ih! Selera gua banget dia. Muka garangnya. Brewokan yang bikin makin seksi. Otot-otot kekarnya. Bentuk tubuhnya, membayangkannya saja bisa membuat gairahku naik apalagi benar-benar melihatnya telanjang,” gumamnya lagi. Kali ini sambil memijat keningnya.
“Gak! Gak bisa, gak bisa! Lupakan Berliana, lupakan ... kamu harus keliatan berkharisma,” gumamnya terakhir sambil membenahi posisi duduknya.
Sementara di luar, Vero dengan santai menaruh kembali helmnya di motor. Tentu setelah memastikan motornya terparkir rapi.
Sebab tak enak jika main handphone di depan Berliana, sebentar ia buka beberapa notifikasi. Termasuk menyimpan nomor handphone Berliana. Semuanya tampak tak ada yang aneh hingga ia membuka history panggilan.
Panggilan yang Berliana lakukan tadi pukul setengah tujuh pagi. Sejenak ia bergumam,
“Iya pantas saja, ia kan kenal dengan pemilik resto ini. Pasti dengan mudah sang pemilik buka lebih awal.”
Vero menutup layar handphonenya kemudian menilik jam di pergelangan tangannya. Pukul tujuh lebih dua belas menit.
Wait....
“Tapi tadi kan ga ada sepuluh menit,” gumamnya dalam hati. Kenapa jadi sudah 42 menit? Siapa yang salah sih. Jamku apa jam Berliana?
Tapi tadi stopwatch memang belum ada sepuluh menit. Dan memang belum telat. Atau malah sudah telat sekali. Tapi stopwatch tak mungkin berbohong.
Kecuali memang Berliana yang menghentikannya lebih dulu sebelum Vero datang. Apa mau janda satu ini?
Bersambung ...
“Bisa nyetir?”Vero mengangguk “Emmm ... Bisa sih, mau ke mana emang Mbak?Berliana mengangkat pergelangan tangannya, melihat jam yang melingkar di sana. “Udah waktunya cabut atau, kau ingin jadi pengangguran saja?”Vero melotot, menggeleng ke arah Berliana. “Yang benar saja! Aku sudah sampai hampir menghancurkan engsel pintu kamarku demi sampai sini dalam 10 menit.”“Kalau begitu bagus dong,” ucap perempuan itu sambil mengemasi semua barangnya kembali.“Bagus?”“Iya bagus. Pertama, kau lolos ujian tes pertama dan mungkin satu-satunya. Kedua, masa pertama kerja kau pasti akan sangat semangat.” Gerakan tangannya berhenti sebab semua barangnya berhasil ia kemasi.“Ada pintu yang harus segera dibenahi agar tidak sembarangan perempuan bisa masuk kan?&
“Jadi maksudnya kau ingin aku percaya bahwa laki-laki itu semua sama aja?” Kalimat Vero meluncur dari mulutnya setelah melewati sebuah lampu merah tak jauh dari pasar gede.Mobil tua milik Berliana itu berdecit saat melewati sederet polisi tidur kecil membuat keheningan jadi terpecah. Disusul tawa Vero yang kini tak lagi sungkan-sungkan.“Tross ... ejek aja troosss mobil aku,” ketus Berliana. “Seneng banget ya cari masalah.”“Ooopsss, jangan marah-marah dong. Kan kita udah janji kalau kita ga akan masalahin aku yang ngetawain mobil kamu.”“Ya kan tadi janjinya pas minum es coklat. Sekarang es nya habis. Ya janjinya ikut ga berlaku dong!”“Ih kok gitu. Yaudah-yaudah ayok janji lagi deh mumpung ga lagi makan es,” ucap Vero sambil mengacungkan jari kelingking kanannya.Berliana meng
Ciuman kedua yang panjang masih berlanjut. Mereka terpejam dan semakin bisa merasakan semuanya. Tangan Berliana tak lagi memegang cangkir kopi. Tak lagi juga menelusuri dagu Vero yang dipenuhi bulu pendek selepas cukur.Tangan perempuan itu kini melingkar di leher panjang nan kokoh Vero. Urat-urat besar leher terasa begitu seksi di telapak tangannya. Sesekali ia menarik leher Vero agar lebih dekat dengannya. Meskipun mereka sudah tanpa jarak. Meskipun mereka kini berciuman dengan perasaan terdalam.Tak ada lagi perasaan ragu di dalam hati mereka masing-masing. Tak ada rasa canggung bagi Berliana. Meski Vero adalah laki-laki yang baru kemarin ia jumpai. Perempuan mana saja pasti akan merasa ternoda jika jadi Berliana. Segampang dan sesingkat itu laki-laki ini mendapatkan bibirnya.Tak ada perasaan ragu juga di dalam hati Vero. Tak perlu merasa sungkan sebab perempuan yang ia cium sekarang adalah atasannya. Tak ada yang pe
“Vero, kita ga bisa lakuin ini terus-terusan,” cegah Berliana. Vero tengah mengimpit tubuhnya ke tembok. Ini jam kerja dan semua orang tengah sibuk di bawah sana.Vero terbelalak mengangkat alis heran. “Ta ... tapi kenapa Mbak? Padahal dua minggu yang la ....”“Vero Cukup!!” bentak Berliana.Membuat laki-laki di depannya menundukkan muka. Menghela napas panjang, beringsut mundur tak lagi mengimpit tubuh Berliana dengan tubuhnya. “Tapi kenapa Mbak! Kenapa?”“Karena kamu dan aku itu beda, Ver! Beda jauh sekali, dari segi mana pun!”Vero menelan ludah begitu kalimat barusan meluncur ringan dari mulut Berliana. Tenggorokannya tidak kering, tapi seketika semua kalimat jawabannya tercekat. Tak sanggup melewati tenggorokannya.Kalimat Berliana barusan melukai perasaannya. Relung hatinya tersayat ol
“Antar ke meja nomor dua!” suruh Dhita pada Vero. Tanpa menunggu aba-aba ulang laki-laki itu sudah bergerak menaruh nampan. Ganti mengangkat nampan yang sudah disiapkan Dhita.Hari ini Coffe and Snack resto JANDA ramai pengunjung. Tak hanya di luar, tapi juga di dalam. Hampir semua tempat penuh. Dari dua puluh lima tinggal satu meja yang dekat dengan pintu masuk yang masih kosong.Vero, Angga bahkan Januar sampai turun tangan melayani pengunjung.Vero bahkan baru saja mengantar pesanan dari luar. Dua kopi Toraja, satu es campur, satu wedang belimbing wuluh, dan sepiring camilan jajan tradisional yang dipilih oleh pembeli sendiri.Baru selesai dari depan, baru sampai depan pintu sudah harus kembali lagi dengan pesanan yang sudah disiapkan Dhita.Di belakang kesibukan dapur tidak kalah riuh. Dhita dan Vera silih berganti mengisi nampan baru dengan berb
Hening sebentar waktu dua pasang mata saling bertatapan. Waktu seakan berhenti meski sebentar. Alunan musik yang sebelumnya diputar oleh Berliana juga tepat sekali pas berganti.Membuat suasana bertambah hening dan keduanya sama-sama canggung bertatapan.Apa seutuhnya hening dan sepi? Sebetulnya tidak juga. Resto yang ramai di bawah sana. Suara gemuruh percakapan orang seperti sekawan lebah madu di dalam sangkar. Suara alat masak yang beradu di tangan Wilda dan Dhita, meramu berbagai pesanan.Bahkan jika didengar saksama suara jarum jam Berliana juga ikut berpartisipasi suara.Tapi kesepian yang terjadi lebih dari itu. Mereka berdua seakan tak tahu, kata pertama apa yang pantas keluar dari mulut mereka.Hingga sebuah petikan gitar mengambil alih percakapan mereka. Ya, lagu Berliana berputar kembali dan mereka sama-sama tahu melodi siapa yang tengah diputar.
“Temani?” Vero mengangkat alis.Berliana mengangguk, masih dengan tangan dingin dan gemetarnya yang menahan Vero pergi.Matanya, meski Vero tak dapat melihatnya langsung, laki-laki itu tahu Berliana tengah sangat memohon padanya.“Maaf,” jawab Vero. Jemari tangannya menggeliat melepaskan diri. Melepaskan diri dari genggaman tangan Berliana.“Saya kira kita masih jauh berbeda. Dari sisi mana pun,” lanjutnya dengan amat menyakitkan.Sepatu pantofel kerja yang Vero kenakan mengetuk lantai. Tapi suaranya seolah menyalak di telinga Berliana. Kepergian, dan penolakan terang-terangan itu seperti menggarami hati Berliana yang berdarah.Ia ingin melanjutkan tangisnya. Tapi udara dingin dan sikap Vero, membuatnya diam. Tak ada air mata yang tersisa. Tak ada kesedihan yang sanggup ia tangisi lagi.Ia ingin sekali
Untuk jangka waktu yang cukup lama akhirnya bibir mereka bertemu lagi.“Buat aku tak menyesal dengan pilihanku sore ini, Ver,” ucap Berliana.“Masih adakah orang yang mampu seperti itu Mbak?” Ujung jari Vero menelusuri garis wajah Berliana. Menyingkirkan anak rambut yang berantakan dari pipi dan matanya. Memandang jauh ke dalam bola mata yang dengan iris berwarna coklat terang.“Kita hanya bisa membuat penyesalan terasa lebih indah,” lanjut Vero.Laki-laki itu mendorong tubuh sintal Berliana. Tubuh yang sedikit lebih pendek darinya namun padat berisi. Membuat perempuan itu melenguh saat tubuhnya merapat ke meja. Hanya satu gerakan bagi Vero untuk mengangkat tubuh perempuan itu, menaikkannya.“Jadi,” tagih Berliana.“Jadi?” tatap Vero.“Bisakah kau memberikan penyesalan pali
“Nggak! Nggak mungkin Wil,” jawab Vero cepat sambil menggelengkan kepalanya.“Ver!” Tangan Wilda menangkap lengan Vero. Menghalangi laki-laki itu pergi dari hadapannya. “Tunggu dulu. Ini masih mungkin Ver! Dengerin baik-baik. Duduk dulu!”Laki-laki yang terlanjur berdiri itu mau tidak mau kini terpaksa duduk kembali. Wajahnya tertekuk, mendengus kesal.“Ayolah, kita bisa balik seperti dulu Ver! Ya kan Pak Januar?” ucap Wilda lagi. Ditambah melempar sorot matanya ke Pak Januar juga. Tapi laki-laki paruh baya itu hanya menundukkan kepalanya. Tak bisa menjawab apa pun.Tampak jauh lebih putus asa. Membuat percakapan tiga orang dalam satu meja itu kini berubah sunyi. Saling terdiam cukup lama, berdebat dengan isi kepalanya masing-masing.“Tapi kau tak tahu masalahnya Wil!” protes Vero akhirnya angkat suara. Memecah keheninga
Seorang laki-laki berlari kencang setelah memarkirkan motornya sembarangan. Mengabaikan teriakan tukang parkir yang lagi-lagi harus membetulkan posisi motornya setelah belasan motor lain sebelumnya. Menggerutu menyumpahi laki-laki yang bahkan jaketnya belum terpasang sempurna di tubuhnya.“Maaf Pak maaf, tolong! Nanti uang parkirnya gua tambahin!”Tubuh kurus dengan gaya rambut yang belum berubah itu melanjutkan larinya. Masih gondrong, diikat ke belakang dengan karet gelang. Ujung rambutnya melambai mengikuti langkah kedua kakinya yang bergerak secepat yang ia bisa.Menyibak kerumunan, berjalan miring, berdesakan, merangsek ke tempat yang masih jauh di depan sana.“Permisi Mbak!”“Maaf Buk. Maaf Pak.”“Saya sedang buru-buru. Maaf bapak ibuk.”Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan sederet k
Semua polisi seketika menundukkan kepala. Melihat laki-laki yang baru saja turun dari motor. Laki-laki yang kini sudah sempurna melepas jaket hitamnya. Memamerkan seragam kepolisian dengan berbagai pangkat menggantung di atas saku kiri bajunya.Sementara Wilda berjalan lebih dulu dari pria tersebut. Menyibak kerumunan, memberi jalan pada laki-laki yang mengekor di belakangnya.“Semoga gua belum terlambat,” ucap Wilda begitu tubuhnya tiba di dekat Vero. Melihat laki-laki itu yang kini mengangkat wajahnya. Tersenyum miring menatap rekan kerjanya yang baru datang itu.“Tadi pagi gua yang terlambat. Sekarang malah jadi elu yang telat datang dasar pahlawan kesiangan,” umpat Vero ke arah laki-laki yang kini heboh di sampingnya.Menarik tangan Vero untuk berdiri tapi tertahan. Baru sadar kalau dua tangan temannya tersebut sudah diikat dengan sepasang borgol.&ldq
“Tidak, tidak mungkin!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Berliana saat ia tersadar dari pingsannya.Pukul lima sore, matahari masih cukup menerangi bumi. Sinarnya masih terasa hangat meski di sebagian belahan bumi terasa dingin. Seperti di depan Restoran Janda. Di mana karyawan dan polisi juga Pak Ferdy masih berkumpul. Mengurai, mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi.“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi,” ucap Berliana lagi. Sorot matanya kosong. Menatap ke atas, ke kerumunan awan kecil yang berarak di langit.Hampa, bingung, selesai, perempuan itu seperti orang yang goyah kejiwaannya. Jatuh ke dalam lubang terdalam di hidupnya lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihat kedua bola matanya saat tiba di rumah sakit tadi.Belasan orang, rata-rata anak kecil di bawah sepuluh tahun dalam satu kamar rumah sakit. Selang oksigen yang te
Sayangnya, semua sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat, tak ada yang berhasil dihadang. Tak ada yang bisa dipitar ulang.Berliana kembali ke restoran dengan perasaan lemas. Kedua kakinya layu, bahkan sudah pingsan saat turun dari mobil yang baru membawanya kembali dari TKP.Pintu mobil terbuka. Matanya yang berderai air mata ditutupi tangan yang memegangi tisu. Vero dan Pak Januar seketika berlari saat tubuh Berliana terlihat berjalan sempoyongan. Meraih kedua lengannya, membopongnya.“Selesai, terlambat, ini semua selesai,” bisik perempuan itu terakhir. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang.Suasana restoran berubah mencekam saat belasan polisi tiba-tiba datang. Datang dengan tiga mobil sekaligus.Siapa yang tidak kaget dengan kedatangan mereka tiba-tiba. Semula semua orang mengira bahwa bapak-bapak polisi ini hanya akan makan siang di restoran ini seperti bisan
“Kalau kamu, Ta?” Leher Berliana berputar. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang ada di sisi kanannya. “Apa ada masalah dengan rotimu? Sebaiknya kali ini kabar baik yang kuterima.”Sama seperti Vero, perempuan itu juga menggelengkan kepala. “Semua aman, Mbak. Tetap di posisi dan bentuk terakhir sebelum saya meninggalkannya pulang kemarin sore. Kabar baiknya, saya juga sudah buatkan kardus khusus untuk mengemas roti ini nanti. Karena kardus yang kita punya di gudang tidak cukup besar untuk mengemasnya. Jadi saya putuskan untuk bawa dari rumah.”“Good!” jawab Berliana singkat. Melipat tangan di dadanya, melirik ke arah Vero dan Dhita bergantian. “Hari ini, seperti kemarin, kita adakan rolling jam. Kalian akan bekerja bergantian lagi. Bedanya, sekarang Vero lebih dulu. Masukkan rotimu ke dalam cup langsung setelah ini. Jadikan seratus cup cake sekalian. Nanti agar lebih cepat biar sa
Kemudian hari baru, menetas lagi.Membuka sebagian banyak mata manusia yang sudah melabuhkan lelahnya di dalam tidur yang panjang. Memberi kesempatan mereka menarik napas lega pagi ini. Merasakan nikmat yang tak terkira di hari yang berbeda.Nikmat yang saking seringnya mereka rasakan sampai lupa bahwa mereka masih memiliki itu semua. Kenikmatan bernapas, kenikmatan membuka mata dengan semua organ tubuh yang masih lengkap. Kenikmatan melihat matahari masih terbit dan mata hati mereka yang masih berani menatap kenyataan.Bahwa bumi masih berputar hari ini. Bahwa matahari masih menggantung di atas langit sebelah timur sana. Bahwa waktu masih memberi kita panggung untuk pentas sandiwara maha agung dengan peran kita masing-masing.Anak sekolah berangkat ke sekolah dengan penuh gairah. Ada yang diantar, ada yang berjalan bersama-sama, ada yang berlarian saling kejar. Nikmat yang bahkan tak pernah mereka s
Dan hari itu pun ditutup seperti hari-hari biasanya.Dimulai dengan pagi hari yang sangat cerah. Ditutup dengan matahari di ufuk barat yang meredup dengan sangat indah. Mengiring orang-orang yang sudah lelah seharian bekerja untuk pulang. Mengantar kalender menutup satu hari barunya. Berganti chapter, mengubah episode tapi dengan kisah yang masih sama.Restoran Janda tutup sedikit lambat hari ini. Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya.Bukan, bukan karena ramainya pengunjung yang datang. Bukan juga karena lembur atau perbaikan alat masak. Bukan juga karena kerja bakti bersih-bersih yang selalu di agendakan oleh mereka setiap akhir bulan.Tapi hari ini, mereka serempak untuk menunggu semua karya Vero selesai. Romantis sekali, bahkan Berliana sampai keluar dari ruangan. Turun ke lantai satu. Berbagi minuman, berbagi kopi dengan semua karyawannya. Berbincang, bergurau dengan semua karyawanny
Sementara itu tepat saat Vero meniti anak tangga, rencana Dhita berjalan sangat lancar. Perempuan licik penuh dendam itu bersumpah tak akan gagal lagi kali ini.Tersenyum penuh kemenangan, di mana pada akhirnya laki-laki itu keliar dari biliknya untuk waktu yang lama.Dhita harus segera menyelesaikan pesanannya, ia tak boleh melewatkan kesempatan ini. Mengambil mangkok sup. Mengisinya dengan seporsi sop buntut. Lengkap dengan taburan bawang goreng dan seledri irisan tipis daging di atasnya.Bergerak lagi mengambil satu piring saji yang pipih dan lebar. Mengambil dua porsi pepes ikan dari panci kukus. Aroma kemangi yang bercampur dengan segarnya tomat dan parutan kelapa menyeruak. Membuah air liur Dhita pecah. Membayangkan menyantapnya dengan nasi putih hangat dan sambal tomat.Tapi tetap saja, aroma itu tak cukup kuat untuk menghentikan Dhita.Tubuhnya sudah bergerak lagi. Berdir