“Jadi maksudnya kau ingin aku percaya bahwa laki-laki itu semua sama aja?” Kalimat Vero meluncur dari mulutnya setelah melewati sebuah lampu merah tak jauh dari pasar gede.
Mobil tua milik Berliana itu berdecit saat melewati sederet polisi tidur kecil membuat keheningan jadi terpecah. Disusul tawa Vero yang kini tak lagi sungkan-sungkan.
“Tross ... ejek aja troosss mobil aku,” ketus Berliana. “Seneng banget ya cari masalah.”
“Ooopsss, jangan marah-marah dong. Kan kita udah janji kalau kita ga akan masalahin aku yang ngetawain mobil kamu.”
“Ya kan tadi janjinya pas minum es coklat. Sekarang es nya habis. Ya janjinya ikut ga berlaku dong!”
“Ih kok gitu. Yaudah-yaudah ayok janji lagi deh mumpung ga lagi makan es,” ucap Vero sambil mengacungkan jari kelingking kanannya.
Berliana menghela napas panjang kesal, gatal tangannya dengan tingkah menggemaskan berondong tampan di sebelahnya ini. Yang tanpa laki-laki itu kira dirinya sudah menggelitiki Vero.
“Eh eh, Mbak jangan gitu dong... ahaahaha iya iya ampun ampun!” Demi mendengar kalimat Vero akhirnya Berliana menghentikan gerakannya sambil mengacungkan jari tengah ke arah Vero.
“Untung aja ga nabrak ni mobil,” ucap Vero sambil merapikan kembali kemeja putihnya yang berantakan. “Oh iya, soal tadi gimana?”
“Tadi?” Telisik Berliana.
“Soal semua cowo sama aja.”
“Oh itu, iya aku ga bilang semua sama tapi semua yang meninggalkanku kan memang semuanya laki-laki,” terang Berliana.
“Kalau gitu kenapa gak pacaran sama cewek aja?”
Demi mendengar kalimat Vero, perempuan itu jadi melotot. Tangannya gemas membulat-bulati tisu bekas yang ada di dashbor mobil kemudian melemparkannya ke arah muka Vero. Meski tetap saja dengan gesit Vero bisa menghindar kemudian terpingkal.
“Sorry gua masih normal ya.”
Vero balik mencubit dagu Berliana gemas. “Iya tau kok,” bisiknya menggoda di depan telinga Berliana.
“Ya Tuhan laki-laki ini bikin hatiku gemetar lagi tolonggg,” teriak dalam hati Berliana sambil tersipu malu.
Tak mau laki-laki itu mendapati pipinya memerah, ia membuang muka ke luar jendela. Pura-pura menyaksikan anak sekolah dasar berhamburan keluar sekolah atau abang ojek berseragam hijau hilir mudik.
Apa saja asal laki-laki di sebelahnya tidak sadar bahwa hatinya sedang berbunga-bunga.
Mobil pick up tua hampir sampai tuntas mengantar mereka berdua dan tumpukan barang belanjaan. Lambat laun Vero tak lagi tertawa dengan segala hal unik dari mobil ini.
Suara berdecit dari skok belakang. Suara besi beradu yang berasa dari baut bak mobil yang hilang. Suara pintu bak belakang yang tak rapat lagi. Belum suara botol saling berimpitan di dalam box bawaan.
Tak terasa perjalanan mereka berakhir. Mobil tua berwarna hitam yang mulai mengelupas di beberapa bagian itu belok ke dalam garasi sebuah ruko.
Di depan ruko meja dan kursi single tersusun rapi saling berhadapan. Satu meja dikelilingi empat kursi. Ada 4 meja di depan sana, meski terkesan memakan bahu trotoar tapi itulah keunggulannya.
Banyak pejalan kaki yang akhirnya mampir. Sekedar memesan es teh atau berteduh.
Di sisi paling pojok tak ketinggalan sebuah papan tulis persegi setengah meter berdiri dengan standing kayu berkaki tiga. Seseorang yang menuliskan “NOW OPEN!” di muka papan pastilah sangat teliti. Tulisannya indah dan rapi.
Dari luar terdengar suara mesin drill kopi, blender, dan berbagai alat masak lain. Masih bercampur juga dengan alunan Bethoven. Ornamen-ornamen ala cafe klassik modern berbaur dengan latar putih dengan mural dedaunan berwarna ungu dan biru.
Berliana turun dari mobil. Tak lama kemudian dua orang laki-laki keluar dari pintu samping kedai yang menyambung dengan garasi.
“Angga, Julian, kenalin ini calon partner kerja baru kalian. Vero kenalin, ini Angga, ini Julian.”
“Angga Harvey,” ucap seseorang yang badannya lebih pendek dari Vero tapi mempunyai wajah yang masih baby face. Memang usianya baru 19 tahun. Terpaut tiga tahun dengan Vero.
“Julian Alvaro,” terang seorang satunya. Tubuhnya kurus kulitnya coklat sawo matang. Tingginya sama dengan Vero. Tapi punya rambut gondrong ikal dan rahang yang besar.
“Vero Januar, mohon kerja samanya ya,” balas Vero sambil menyalami mereka satu per satu.
“Ekheemm ... jadi Vero, Pak Julian ini driver di kedai ini. Semua yang berkaitan dengan barang masuk dan keluar distribusinya lewat Pak Julian.” Berliana bergeser menjajari Angga.
“Angga ini yang paling muda di sini. Kamu yang lebih tua jangan merasa gengsi kalau diajari sama dia. Mau bagaimana pun SOP Janda dan Lodjie bakery tetap beda.”
Berliana memutar pandangan ke tiga orang laki-laki di sekitarnya. Dan mereka semua tampak mengangguk paham.
“Baik, sekarang kalian turunin barangnya, bawa ke gudang. Dan Vero,” kalimat Berliana terpotong. “Ada tiga orang lagi yang mesti kau kenal di dalam. Jika semua sudah beres, jam dua belas kalian sudah boleh istirahat seperti biasanya.”
“Baik, Mbak!” ucap mereka bersamaan.
Berliana berjalan lebih dulu. Membiarkan ketiga anak buahnya membereskan semua bawaan di dalam bak pick up.
Ruko ini adalah dua bangunan lantai dua yang dijadikan satu. Di lantai bawah separuh dapur jajanan beda. Lalu separuhnya lagi kedai kopi dan sebuah garasi.
Di lantai dua separuh adalah kantor Berliana, sedang separuhnya lagi disulap jadi bilik kamar kecil untuknya. Dari atas sini semua kegiatan orang di lantai bawah bisa diamati oleh Berliana.
Ia bisa melihat bagaimana Vero berkenalan dengan Wilda si barista terbaik yang paling dicari para kostumer. Ia bisa menyaksikan bagaimana Vero berkenalan dengan dua perempuan bidadari di Janda yaitu Vera dan Dhita. Kemudian bertiga saling tertawa saat sadar nama Vero dan Vera hampir sama.
Pukul dua belas, kesibukan di dapur berkurang. Beberapa mesin dimatikan dan orang-orang beristirahat. Seperti biasanya, saat istirahat Dhita dan Vera akan dengan senang hati membuatkan minum untuk anak-anak Janda lainnya.
Kemudian mereka akan istirahat sambil ngobrol bareng di dalam kedai. Menertawakan Wilda yang lupa menambahkan gula pada pesanan kopi. Menertawakan Julian yang salah antar orderan dan banyak lagi.
Sementara di bilik kantor Berliana lantai dua, perempuan itu tertidur. Masih dengan seragam putih kantornya. Ia terpejam di kursi kerja dengan laptop yang masih terbuka menyajikan form laporan-laporan.
Berliana bangun terlambat. Pukul 5 sore, angka yang ditunjukkan jam di pergelangan tangannya. Ia mengucek matanya. Meregangkan urat-urat tubuhnya. Mengumpulkan kesadarannya lagi. Setelah pulih ia keluar dari bilik kantornya.
“Kamu belum pulang, Ver?” tanya Berliana sambil menuruni anak tangga. Nyawanya sudah terkumpul penuh meski pakaian yang ia kenakan kini berantakan, dua kancing kemeja teratasnya terbuka.
“Belum,” jawab laki-laki yang hanya tampak siluetnya karena kedai sudah tutup total. Hanya ada cahaya lampu remang yang berasal dari bilik kantor lantai dua Berliana. Vero sibuk mengelap beberapa gelas basah.
“Mau dong kopi satu,” pinta Berliana. “Aku boleh kan duduk di sini?”
“Gimana sih masa yang punya kedai nanya sama karyawan. Karyawan baru lagi.” Tangan Vero sibuk meracik gula dan kopi. Tak berselang lama memasukkan air panas ke dalam gelas. “Sebuah kopi untuk perempuan mandiri,” lanjutnya sambil memberikan secangkir kopi manis ke Berliana.
“Terima kasih, Ver.” Secangkir kopi mendarat di bibir tipis Berliana. Meski berlepotan dengan lipstik tapi kecantikannya tidak bergeser satu senti pun. “Huuuummmm ... enak kopi bikinanmu.”
“Jelas dong. Tiga per empat kopi, satu gula. Iya kan?”
Gemas Berliana mencubit perut Vero. “Dasar, bocoran dari Wilda ya pasti.”
Vero hanya terkekeh mendengar kalimat Berliana.
“Sini dong duduk, Ver. Mau sampe kapan berdiri gitu?”
Vero beringsut duduk. Masih sibuk mengelap gelas di tangannya. “Nyenyak tidurnya, Mbak?”
Berliana menggeleng. “Tidak ada yang bisa tidur nyenyak di meja kerja, Ver.”
“Tapi katanya di mana pun tempatnya yang namanya ketiduran itu pasti nyenyak.”
Berliana melotot mengangkat alis, kemudian tertawa. “Kalau sekarang, di sini, di kursi ini dan denganmu, mungkin aku bisa percaya kalimatmu barusan.”
Satu kalimat perempuan barusan seketika membuat Vero salah tingkah. Bahkan dalam keremangan perempuan ini masih sangat memesona. Tubuh sintal, padat berisi dan keanggunan yang muncul dari sifat mandirinya membuat Vero jatuh hati. Meski jauh di dalam lubuk hatinya, masih ada nama Cindy.
“Jangan menipuku seolah-olah kau menyukaiku Mbak.”
Berliana tersipu, tapi remang lampu menyembunyikannya. Yang terlihat kini ia merapatkan tubuh, sama seperti tadi siang di parkiran pasar. Bedanya kini mereka berhadapan. Parahnya, Berliana sengaja mendekatkan wajahnya pada Vero.
Embusan napas mereka bertemu. Suasana berubah jadi sangat hangat. Tangan Berliana tak lagi memegang cangkir. Kini berganti meraba dagu Vero yang ditumbuhi bulu halus.
Ujung jarinya merasakan bulu-bulu gentle itu. Geli bercampur gairah.
Jarak bibir mereka hanya tinggal dua jari. Sampai kemudian keduanya menutup mata. Ciuman yang lembut, dua pasang bibir bertemu dalam kecupan kecil nan romantis di tengah kesadaran penuh akan sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka.
Mereka melepaskan kecupan pertama kemudian saling bertatap mata. Di keremangan kedai resto dan senja itu, kecupan kedua terjadi.
Bersambung ....
Ciuman kedua yang panjang masih berlanjut. Mereka terpejam dan semakin bisa merasakan semuanya. Tangan Berliana tak lagi memegang cangkir kopi. Tak lagi juga menelusuri dagu Vero yang dipenuhi bulu pendek selepas cukur.Tangan perempuan itu kini melingkar di leher panjang nan kokoh Vero. Urat-urat besar leher terasa begitu seksi di telapak tangannya. Sesekali ia menarik leher Vero agar lebih dekat dengannya. Meskipun mereka sudah tanpa jarak. Meskipun mereka kini berciuman dengan perasaan terdalam.Tak ada lagi perasaan ragu di dalam hati mereka masing-masing. Tak ada rasa canggung bagi Berliana. Meski Vero adalah laki-laki yang baru kemarin ia jumpai. Perempuan mana saja pasti akan merasa ternoda jika jadi Berliana. Segampang dan sesingkat itu laki-laki ini mendapatkan bibirnya.Tak ada perasaan ragu juga di dalam hati Vero. Tak perlu merasa sungkan sebab perempuan yang ia cium sekarang adalah atasannya. Tak ada yang pe
“Vero, kita ga bisa lakuin ini terus-terusan,” cegah Berliana. Vero tengah mengimpit tubuhnya ke tembok. Ini jam kerja dan semua orang tengah sibuk di bawah sana.Vero terbelalak mengangkat alis heran. “Ta ... tapi kenapa Mbak? Padahal dua minggu yang la ....”“Vero Cukup!!” bentak Berliana.Membuat laki-laki di depannya menundukkan muka. Menghela napas panjang, beringsut mundur tak lagi mengimpit tubuh Berliana dengan tubuhnya. “Tapi kenapa Mbak! Kenapa?”“Karena kamu dan aku itu beda, Ver! Beda jauh sekali, dari segi mana pun!”Vero menelan ludah begitu kalimat barusan meluncur ringan dari mulut Berliana. Tenggorokannya tidak kering, tapi seketika semua kalimat jawabannya tercekat. Tak sanggup melewati tenggorokannya.Kalimat Berliana barusan melukai perasaannya. Relung hatinya tersayat ol
“Antar ke meja nomor dua!” suruh Dhita pada Vero. Tanpa menunggu aba-aba ulang laki-laki itu sudah bergerak menaruh nampan. Ganti mengangkat nampan yang sudah disiapkan Dhita.Hari ini Coffe and Snack resto JANDA ramai pengunjung. Tak hanya di luar, tapi juga di dalam. Hampir semua tempat penuh. Dari dua puluh lima tinggal satu meja yang dekat dengan pintu masuk yang masih kosong.Vero, Angga bahkan Januar sampai turun tangan melayani pengunjung.Vero bahkan baru saja mengantar pesanan dari luar. Dua kopi Toraja, satu es campur, satu wedang belimbing wuluh, dan sepiring camilan jajan tradisional yang dipilih oleh pembeli sendiri.Baru selesai dari depan, baru sampai depan pintu sudah harus kembali lagi dengan pesanan yang sudah disiapkan Dhita.Di belakang kesibukan dapur tidak kalah riuh. Dhita dan Vera silih berganti mengisi nampan baru dengan berb
Hening sebentar waktu dua pasang mata saling bertatapan. Waktu seakan berhenti meski sebentar. Alunan musik yang sebelumnya diputar oleh Berliana juga tepat sekali pas berganti.Membuat suasana bertambah hening dan keduanya sama-sama canggung bertatapan.Apa seutuhnya hening dan sepi? Sebetulnya tidak juga. Resto yang ramai di bawah sana. Suara gemuruh percakapan orang seperti sekawan lebah madu di dalam sangkar. Suara alat masak yang beradu di tangan Wilda dan Dhita, meramu berbagai pesanan.Bahkan jika didengar saksama suara jarum jam Berliana juga ikut berpartisipasi suara.Tapi kesepian yang terjadi lebih dari itu. Mereka berdua seakan tak tahu, kata pertama apa yang pantas keluar dari mulut mereka.Hingga sebuah petikan gitar mengambil alih percakapan mereka. Ya, lagu Berliana berputar kembali dan mereka sama-sama tahu melodi siapa yang tengah diputar.
“Temani?” Vero mengangkat alis.Berliana mengangguk, masih dengan tangan dingin dan gemetarnya yang menahan Vero pergi.Matanya, meski Vero tak dapat melihatnya langsung, laki-laki itu tahu Berliana tengah sangat memohon padanya.“Maaf,” jawab Vero. Jemari tangannya menggeliat melepaskan diri. Melepaskan diri dari genggaman tangan Berliana.“Saya kira kita masih jauh berbeda. Dari sisi mana pun,” lanjutnya dengan amat menyakitkan.Sepatu pantofel kerja yang Vero kenakan mengetuk lantai. Tapi suaranya seolah menyalak di telinga Berliana. Kepergian, dan penolakan terang-terangan itu seperti menggarami hati Berliana yang berdarah.Ia ingin melanjutkan tangisnya. Tapi udara dingin dan sikap Vero, membuatnya diam. Tak ada air mata yang tersisa. Tak ada kesedihan yang sanggup ia tangisi lagi.Ia ingin sekali
Untuk jangka waktu yang cukup lama akhirnya bibir mereka bertemu lagi.“Buat aku tak menyesal dengan pilihanku sore ini, Ver,” ucap Berliana.“Masih adakah orang yang mampu seperti itu Mbak?” Ujung jari Vero menelusuri garis wajah Berliana. Menyingkirkan anak rambut yang berantakan dari pipi dan matanya. Memandang jauh ke dalam bola mata yang dengan iris berwarna coklat terang.“Kita hanya bisa membuat penyesalan terasa lebih indah,” lanjut Vero.Laki-laki itu mendorong tubuh sintal Berliana. Tubuh yang sedikit lebih pendek darinya namun padat berisi. Membuat perempuan itu melenguh saat tubuhnya merapat ke meja. Hanya satu gerakan bagi Vero untuk mengangkat tubuh perempuan itu, menaikkannya.“Jadi,” tagih Berliana.“Jadi?” tatap Vero.“Bisakah kau memberikan penyesalan pali
Vero berdiri, membiarkan perempuan yang tadinya ada di bawah tubuhnya menikmati orgasme panjang. Dengan tenang ia berjalan ke arah meja bar kedai. Mengambil dua botol minuman.Cukup lama mereka terdiam hingga kemudian Vero memecahkan keheningan.“Apa malam ini telah usai?” ucap Vero sambil menyandarkan tubuh di meja tempat Berliana terkulai lemas. Ia membuka dua botol. Satu botol ia minum sendiri. Satu lagi ia letakkan dekat tubuh Berliana.Lumayan lama pertanyaan Vero menggantung. Hingga kemudian perempuan itu terpingkal. Susah payah bangun, duduk di tepian meja tempat Vero menyandarkan tubuhnya.“Abis ganas banget mainnya sih! Jadi cepet keluar kan,” jawab Berliana. Tangannya sibuk mengelap sisa keringat di keningnya. Sambil meraih botol minuman yang sudah Vero bukakan.Vero menerawang jauh ke depan. Matanya kosong, tak menduga malam ini akan terjadi. Ia
Di bawah sinar lampu kamar Berliana adegan itu masih berlangsung. Pelan-pelan Berliana mulai menyukai perannya sekarang.Dari menjadi seorang bos Vero. Memerintah laki-laki itu sesuka hatinya. Membuatnya jadi budak kepuasan birahinya. Hingga kini, dirinya jadi seperti pelacur semalam untuk Vero.Semua bagian punya sensasi debar jantung sendiri-sendiri.Bayangkan seorang laki-laki mengangkat kedua pergelangan tanganmu ke atas. Kemudian menjilati semua bagian tubuhmu dan berlama-lama di bagian sensitif. Pusar, pinggang, ketiak, tengkuk, telinga, mengingat beberapa menit yang lalu di bawah sana membuat gairah Berliana makin menggebu.Tangannya mengepal, menggenggam pangkal batang itu. Meski tak cukup, ia tetap menikmati sensasi saat kulit batang itu bertemu kulit tangannya. Apalagi kulit bagian tubuh Berliana yang lain.Seperti saat ini pelan-pelan bibirnya ikut merasakan sensasi it
“Nggak! Nggak mungkin Wil,” jawab Vero cepat sambil menggelengkan kepalanya.“Ver!” Tangan Wilda menangkap lengan Vero. Menghalangi laki-laki itu pergi dari hadapannya. “Tunggu dulu. Ini masih mungkin Ver! Dengerin baik-baik. Duduk dulu!”Laki-laki yang terlanjur berdiri itu mau tidak mau kini terpaksa duduk kembali. Wajahnya tertekuk, mendengus kesal.“Ayolah, kita bisa balik seperti dulu Ver! Ya kan Pak Januar?” ucap Wilda lagi. Ditambah melempar sorot matanya ke Pak Januar juga. Tapi laki-laki paruh baya itu hanya menundukkan kepalanya. Tak bisa menjawab apa pun.Tampak jauh lebih putus asa. Membuat percakapan tiga orang dalam satu meja itu kini berubah sunyi. Saling terdiam cukup lama, berdebat dengan isi kepalanya masing-masing.“Tapi kau tak tahu masalahnya Wil!” protes Vero akhirnya angkat suara. Memecah keheninga
Seorang laki-laki berlari kencang setelah memarkirkan motornya sembarangan. Mengabaikan teriakan tukang parkir yang lagi-lagi harus membetulkan posisi motornya setelah belasan motor lain sebelumnya. Menggerutu menyumpahi laki-laki yang bahkan jaketnya belum terpasang sempurna di tubuhnya.“Maaf Pak maaf, tolong! Nanti uang parkirnya gua tambahin!”Tubuh kurus dengan gaya rambut yang belum berubah itu melanjutkan larinya. Masih gondrong, diikat ke belakang dengan karet gelang. Ujung rambutnya melambai mengikuti langkah kedua kakinya yang bergerak secepat yang ia bisa.Menyibak kerumunan, berjalan miring, berdesakan, merangsek ke tempat yang masih jauh di depan sana.“Permisi Mbak!”“Maaf Buk. Maaf Pak.”“Saya sedang buru-buru. Maaf bapak ibuk.”Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan sederet k
Semua polisi seketika menundukkan kepala. Melihat laki-laki yang baru saja turun dari motor. Laki-laki yang kini sudah sempurna melepas jaket hitamnya. Memamerkan seragam kepolisian dengan berbagai pangkat menggantung di atas saku kiri bajunya.Sementara Wilda berjalan lebih dulu dari pria tersebut. Menyibak kerumunan, memberi jalan pada laki-laki yang mengekor di belakangnya.“Semoga gua belum terlambat,” ucap Wilda begitu tubuhnya tiba di dekat Vero. Melihat laki-laki itu yang kini mengangkat wajahnya. Tersenyum miring menatap rekan kerjanya yang baru datang itu.“Tadi pagi gua yang terlambat. Sekarang malah jadi elu yang telat datang dasar pahlawan kesiangan,” umpat Vero ke arah laki-laki yang kini heboh di sampingnya.Menarik tangan Vero untuk berdiri tapi tertahan. Baru sadar kalau dua tangan temannya tersebut sudah diikat dengan sepasang borgol.&ldq
“Tidak, tidak mungkin!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Berliana saat ia tersadar dari pingsannya.Pukul lima sore, matahari masih cukup menerangi bumi. Sinarnya masih terasa hangat meski di sebagian belahan bumi terasa dingin. Seperti di depan Restoran Janda. Di mana karyawan dan polisi juga Pak Ferdy masih berkumpul. Mengurai, mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi.“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi,” ucap Berliana lagi. Sorot matanya kosong. Menatap ke atas, ke kerumunan awan kecil yang berarak di langit.Hampa, bingung, selesai, perempuan itu seperti orang yang goyah kejiwaannya. Jatuh ke dalam lubang terdalam di hidupnya lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihat kedua bola matanya saat tiba di rumah sakit tadi.Belasan orang, rata-rata anak kecil di bawah sepuluh tahun dalam satu kamar rumah sakit. Selang oksigen yang te
Sayangnya, semua sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat, tak ada yang berhasil dihadang. Tak ada yang bisa dipitar ulang.Berliana kembali ke restoran dengan perasaan lemas. Kedua kakinya layu, bahkan sudah pingsan saat turun dari mobil yang baru membawanya kembali dari TKP.Pintu mobil terbuka. Matanya yang berderai air mata ditutupi tangan yang memegangi tisu. Vero dan Pak Januar seketika berlari saat tubuh Berliana terlihat berjalan sempoyongan. Meraih kedua lengannya, membopongnya.“Selesai, terlambat, ini semua selesai,” bisik perempuan itu terakhir. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang.Suasana restoran berubah mencekam saat belasan polisi tiba-tiba datang. Datang dengan tiga mobil sekaligus.Siapa yang tidak kaget dengan kedatangan mereka tiba-tiba. Semula semua orang mengira bahwa bapak-bapak polisi ini hanya akan makan siang di restoran ini seperti bisan
“Kalau kamu, Ta?” Leher Berliana berputar. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang ada di sisi kanannya. “Apa ada masalah dengan rotimu? Sebaiknya kali ini kabar baik yang kuterima.”Sama seperti Vero, perempuan itu juga menggelengkan kepala. “Semua aman, Mbak. Tetap di posisi dan bentuk terakhir sebelum saya meninggalkannya pulang kemarin sore. Kabar baiknya, saya juga sudah buatkan kardus khusus untuk mengemas roti ini nanti. Karena kardus yang kita punya di gudang tidak cukup besar untuk mengemasnya. Jadi saya putuskan untuk bawa dari rumah.”“Good!” jawab Berliana singkat. Melipat tangan di dadanya, melirik ke arah Vero dan Dhita bergantian. “Hari ini, seperti kemarin, kita adakan rolling jam. Kalian akan bekerja bergantian lagi. Bedanya, sekarang Vero lebih dulu. Masukkan rotimu ke dalam cup langsung setelah ini. Jadikan seratus cup cake sekalian. Nanti agar lebih cepat biar sa
Kemudian hari baru, menetas lagi.Membuka sebagian banyak mata manusia yang sudah melabuhkan lelahnya di dalam tidur yang panjang. Memberi kesempatan mereka menarik napas lega pagi ini. Merasakan nikmat yang tak terkira di hari yang berbeda.Nikmat yang saking seringnya mereka rasakan sampai lupa bahwa mereka masih memiliki itu semua. Kenikmatan bernapas, kenikmatan membuka mata dengan semua organ tubuh yang masih lengkap. Kenikmatan melihat matahari masih terbit dan mata hati mereka yang masih berani menatap kenyataan.Bahwa bumi masih berputar hari ini. Bahwa matahari masih menggantung di atas langit sebelah timur sana. Bahwa waktu masih memberi kita panggung untuk pentas sandiwara maha agung dengan peran kita masing-masing.Anak sekolah berangkat ke sekolah dengan penuh gairah. Ada yang diantar, ada yang berjalan bersama-sama, ada yang berlarian saling kejar. Nikmat yang bahkan tak pernah mereka s
Dan hari itu pun ditutup seperti hari-hari biasanya.Dimulai dengan pagi hari yang sangat cerah. Ditutup dengan matahari di ufuk barat yang meredup dengan sangat indah. Mengiring orang-orang yang sudah lelah seharian bekerja untuk pulang. Mengantar kalender menutup satu hari barunya. Berganti chapter, mengubah episode tapi dengan kisah yang masih sama.Restoran Janda tutup sedikit lambat hari ini. Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya.Bukan, bukan karena ramainya pengunjung yang datang. Bukan juga karena lembur atau perbaikan alat masak. Bukan juga karena kerja bakti bersih-bersih yang selalu di agendakan oleh mereka setiap akhir bulan.Tapi hari ini, mereka serempak untuk menunggu semua karya Vero selesai. Romantis sekali, bahkan Berliana sampai keluar dari ruangan. Turun ke lantai satu. Berbagi minuman, berbagi kopi dengan semua karyawannya. Berbincang, bergurau dengan semua karyawanny
Sementara itu tepat saat Vero meniti anak tangga, rencana Dhita berjalan sangat lancar. Perempuan licik penuh dendam itu bersumpah tak akan gagal lagi kali ini.Tersenyum penuh kemenangan, di mana pada akhirnya laki-laki itu keliar dari biliknya untuk waktu yang lama.Dhita harus segera menyelesaikan pesanannya, ia tak boleh melewatkan kesempatan ini. Mengambil mangkok sup. Mengisinya dengan seporsi sop buntut. Lengkap dengan taburan bawang goreng dan seledri irisan tipis daging di atasnya.Bergerak lagi mengambil satu piring saji yang pipih dan lebar. Mengambil dua porsi pepes ikan dari panci kukus. Aroma kemangi yang bercampur dengan segarnya tomat dan parutan kelapa menyeruak. Membuah air liur Dhita pecah. Membayangkan menyantapnya dengan nasi putih hangat dan sambal tomat.Tapi tetap saja, aroma itu tak cukup kuat untuk menghentikan Dhita.Tubuhnya sudah bergerak lagi. Berdir