"Aku akan pergi ke kantor lebih awal hari ini," katanya akhirnya, suaranya kembali datar.
Aku mengangguk, mencoba mengalihkan perhatian dari debaran dadaku yang masih belum normal. "Baiklah." Dia berdiri, mengambil jasnya yang tersampir di kursi, lalu berjalan ke pintu. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia berhenti sejenak. "Seraphina," panggilnya tanpa menoleh. Aku mengangkat kepala. "Ya?" Lucian terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Lain kali, kalau kau sulit tidur, jangan hanya berdiam diri di kamar. Kau bisa memanggilku." Dan dengan itu, dia pergi, meninggalkanku dengan ribuan pertanyaan yang belum terjawab. Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk berbicara, tetapi sebelum aku bisaAku berdiri di depan toko bunga ibuku, menarik napas dalam sebelum mendorong pintu kaca yang terasa lebih berat dari biasanya. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi lembut, menandakan kedatanganku. Aroma bunga segar segera menyambutku, membawa kenangan yang sudah lama kusimpan dalam hati. Tempat ini masih sama—rapi, hangat, dan penuh warna. Buket mawar, lili, dan anggrek tertata di rak kayu dengan vas-vas kaca bening yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Aku merindukan tempat ini lebih dari yang kusadari. “Seraphina?” Suara lembut itu membuatku menoleh. Seorang wanita paruh baya dengan celemek bermotif bunga berdiri di belakang meja kasir. Matanya melebar, kemudian senyum hangat terukir di wajahnya. “Hai, Margaret,” sapaku dengan suara yang sedikit bergetar.
Aku balas tersenyum. “Kalau begitu, nikmati penilaianmu.” Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti kami. Lalu, Veronica melirik sekeliling toko ini dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Sayang sekali tempat ini tidak terlalu ramai.” Aku tahu dia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan dan menekanku dengan cara lain. Tapi aku tidak akan goyah. “Bisnis tidak selalu tentang jumlah pelanggan dalam satu hari,” kataku tenang. “Tapi tentang bagaimana sesuatu bertahan dalam jangka panjang.” Veronica menatapku beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kita lihat saja seberapa lama bisa bertahan.” Lalu dia berbalik dan berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Pintu tertutup, meninggalkan udara yang tiba-tiba ter
Dia menyandarkan lengannya ke atap mobilku, mencondongkan tubuh agar lebih dekat. “Aku hanya ingin mengobrol sebentar. Itu tidak masalah, kan?” Aku tertawa pendek, tanpa humor. “Di tengah jalan raya? Kau kehilangan akal sehatmu?” Dia menyeringai. “Oh, ayolah. Aku tahu kau merindukanku.” Aku hampir ingin tertawa lebih keras. Pria ini benar-benar tidak tahu malu. “Kau sudah menikah, Damien. Aku tidak punya urusan denganmu lagi.” Matanya menyipit sedikit, lalu dia melirik ke dalam mobil, ke arah interior mewah yang jelas bukan milikku sebelum aku menikah dengan Lucian. “Lucian Devereaux benar-benar tahu cara memperlakukan istrinya dengan baik, ya?” gumamnya dengan nada sinis.
“Aku baru saja bertemu Damien,” ucapku dengan nada tegas, berusaha memecahkan keheningan di ruang kerja Lucian. Dia tidak mengangkat pandangannya dari layar laptopnya. Jemarinya yang panjang tetap mengetik cepat, seolah kata-kataku tidak cukup penting untuk menghentikan pekerjaannya. “Lucian, aku sedang bicara,” ulangku, kali ini lebih keras. Akhirnya, dia menghentikan apa pun yang sedang dilakukannya. Tubuhnya bersandar ke kursi kulit mahal yang mencerminkan kemewahan hidupnya. Mata abu-abu dinginnya menatapku dengan intens, tetapi tidak ada emosi di sana, hanya kekosongan yang membuatku semakin gelisah. “Aku sudah bilang, jangan dekat-dekat dengan pria itu,” katanya pelan, tapi nadanya tegas. Aku mengerutkan kening, tidak puas dengan jawabannya. “Kau tidak mengerti. Damien tidak hanya mencoba menghubungiku lagi, dia juga mengatakan hal-hal yang .…” Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diriku sendir
“Berusaha menjagaku, tapi di saat yang sama, kau terus mendorongku pergi.” Dia tidak menjawab. Aku menoleh, berharap menemukan sesuatu di wajahnya, tetapi dia hanya menatapku dengan ekspresi datar yang biasa. “Aku hanya ingin kau aman, Seraphina.” “Kenapa?” tanyaku lagi, mataku menatapnya tajam. Dia menghela napas, tetapi tidak menjawab. Aku yakin dia tidak akan pernah mau menjawab. “Lucian,” panggilku, mencoba mendapatkan perhatian penuh darinya. “Apa yang kau sembunyikan dariku?” Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di matanya—keraguan, mungkin bahkan ketakutan. Namun, seperti biasa, dia menguburnya dalam-dalam sebelum aku bisa memahami apa artinya. “Seraphina, ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan,” katanya akhirnya. Aku menggeleng, merasa frustrasi denga
Aku tidak menjawab. Sebagai gantinya, aku hanya menatapnya, membiarkan ketegangan di antara kami menggantung di udara. Tamu-tamu lain di restoran ini berpura-pura sibuk dengan makanan mereka, tetapi aku tahu mereka mencuri dengar percakapan kami. Bagaimana tidak? Sejak aku tiba, Veronica tidak berhenti melempar sindiran pedas. Akhirnya, dia menyeringai kecil. “Yah, aku harap kau menikmati makan malammu.” Aku meletakkan serbet di atas meja dengan gerakan pelan dan terkendali, lalu berdiri. “Tidak. Aku sudah selesai di tempat ini.” Aku meraih tas tanganku dan berjalan keluar tanpa melihat ke belakang. Namun, sebelum aku mencapai pintu restoran, suara Veronica terdengar lagi—cukup pelan untuk hanya kudengar, tetapi cukup tajam untuk menusuk pikiranku. “Aku penasaran, Seraphina. Seberapa lama kau bisa bertahan dalam kebohongan ini sebelum sem
“Aku tidak mengerti kenapa kau terus menghindar." Suara Lucian terdengar dingin, namun tidak terlalu keras. Aku memutar tubuh menghadapnya, menatap pria yang berdiri di depan balkon dengan setelan jas sempurna. “Aku tidak menghindar,” jawabku, berusaha tetap tenang meskipun aku tahu nadaku tidak sepenuhnya meyakinkan. Lucian mengangkat alisnya, matanya tajam seperti selalu bisa membaca kebohongan. “Benarkah? Lalu kenapa kau tidak ada pagi ini saat kita seharusnya sarapan bersama?” Aku mendesah, mengalihkan pandangan ke lantai marmer putih yang dingin. “Aku butuh udara segar. Tidak boleh?” “Tidak jika itu berarti kau meninggalkan apartemen tanpa memberitahuku,” balasnya cepat, menghampiriku dengan langkah mantap. “Kita punya kesepakatan, Seraphina. Dan aku tidak suka jika kau melanggarnya.” Aku mendongak, menatap matanya langsung. “Kesepakatan ini tidak berarti aku harus melaporkan setiap langkahku kepadamu. Aku punya hidupku sendiri, Lucian.” Pria itu terdiam sejenak,
“Lucian, apa maksud dari ini?” tanyaku sambil melemparkan amplop cokelat itu ke atas meja di ruang tamu. Suaraku terdengar tegas, meski dalam hati aku merasa dadaku sesak. Foto-foto di dalam amplop itu mulai berantakan di atas meja, menampilkan potongan-potongan masa lalu yang tidak pernah dia ceritakan. Lucian yang sedang berdiri di dekat jendela dengan segelas anggur di tangannya, hanya melirik sekilas ke arah amplop itu. Wajahnya tetap tenang, terlalu tenang. Seolah-olah dia sudah menduga hal ini akan terjadi. “Aku bertanya, Lucian,” ulangku, suaraku mulai meninggi. “Apa hubunganmu dengan Damien?” Ia meletakkan gelas anggurnya di meja kecil di samping jendela, kemudian berbalik menghadapku. “Itu bukan urusanmu.” Aku terkesiap mendengar jawabannya. “Bukan urusanku? Kau serius? Aku istrimu—baiklah, istri kontrak, tapi aku masih pantas tahu apa yang terjadi. Apalagi jika itu melibatkan Damien, pria yang meng
"Aku serius. Jangan mencium lagi, Lucian. Aku harus segera berangkat." Namun, Lucian tidak peduli. Tangannya tetap melingkar di pinggangku, kepalanya menunduk, mencium pelipisku sekali, dua kali, lalu turun ke pipi. Aku memiringkan wajah, berusaha menghindar, tapi dia justru menahan daguku erat. "Aku tidak akan lama. Serius!" ucapku lagi dengan suara yang sudah mulai kesal. Lucian menatapku datar, tapi terlihat memohon seperti anak kecil. "Malam ini aku tidur sendiri. Itu masalah yang sulit." Aku mendorong dadanya pelan. "Masalah sulitmu tidak lebih penting dari ayahku yang menyuruhku pulang." "Sebenarnya kenapa dia menyuruhmu pulang? Dia tahu kau sudah menikah. Artinya rumahmu di sini bersamaku." "Astaga, Lucian." "Sayang." Aku menahan napas. Sial. Kenapa dia harus memanggilku seperti itu sekarang? Aku mengeram pelan untuk berusaha sabar. "Jangan mulai menyebalkan lagi. Aku benar-benar harus berangkat. Ayah pasti sudah lama menungguku." "Baiklah, aku akan ikut."
Hari ini tidak ada rapat besar. Aku baru sadar ketika membuka pintu ruang kerja Lucian dan mendapati dia duduk santai di sofa panjang, tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Pemandangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja. "Kau tidak ada rapat hari ini?" Lucian melirikku singkat. "Tidak. Aku hanya menyelesaikan laporan pribadi." Aku melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju sofa tempat dia duduk. Aku meletakkan tas tangan di meja dan duduk di sampingnya. Tanganku meraih berkas yang dia baca dan meletakkannya ke meja. "Kalau begitu, kau bisa diganggu sebentar, kan?" Dia mengangkat alis. "Gangguan macam apa yang kau tawarkan?" Aku tidak menjawab. Tubuhku bergeser, mendekat hingga hampir memojokkan dia ke sudut sofa. Tanganku menyentuh kerah kemejanya. "Kau terlalu santai. Aku tidak terbiasa melihatmu seperti ini." "Itu artinya kau harus membiasakan diri." Aku tertawa kecil.
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar mandi. "Seraphina." Suara itu memang terdengar tenang tanpa godaan, tapi aku masih bisa mendengar sedikit nada iseng di baliknya. Aku akhirnya membuang napas pelan. "Apa, Lucian?" "Kau mau mandi bersamaku?" "Astaga." Aku menggumam pelan. Aku tahu ini pasti ulahnya lagi. Selalu ada saja caranya menjahiliku, dan kali ini jelas-jelas aku tidak akan membiarkannya menang. "Tidak," jawabku cepat sedikit berteriak. Lalu beberapa saat kemudian tidak ada balasan apapun. Aku akhirnya membuka pintu, dan ternyata dia sudah pergi, aku segera melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Tubuhku masih diselimuti aroma sabun ketika aku melangkah ke dapur dengan handuk melilit rambut dan baju mandi satin berwarna lembut. Mataku langsung menangkap sosok Lucian yang tengah menata piring di meja makan. Dia tampak fokus, kedua tangannya lincah mengatur sendok dan garpu, dan ... entah kenapa, p
Aku sudah berbaring di tempat tidur, memunggungi Lucian yang masih duduk dan membolak-balikkan lembar dokumen di sampingku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya sejak kami masuk kamar. Entah kenapa, aku merasa canggung. Ini mungkin pertama kalinya sejak kami resmi menikah, aku tidak merasa marah, tidak merasa tertekan, hanya sedikit bingung. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku ditarik ke belakang. Lucian melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu menekan tubuhnya ke arahku. Tubuhku seketika kaku, tetapi tidak bisa bergerak karena pelukannya terlalu erat. Kepalaku menyentuh dadanya, dan kakinya melingkar di kakiku. Seolah-olah aku sedang dipenjara dalam kehangatan yang tidak bisa kutolak. "Lucian," bisikku menahan gugup. Bukannya menjawab, Lucian justru mengecup bagian atas kepalaku. Hangat. Lembut. Dan terlalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih," kata Lucian tiba-tiba. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas di telingaku. "T
Aku berdiri di dapur, diam-diam menyelipkan sebatang cokelat ke mulut sambil memperhatikan Lucian yang melintas lagi dengan koper kecil dan beberapa barang di tangan. Gerak-geriknya tenang, nyaris terlalu biasa … tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari seharusnya. "Jadi dia benar-benar pindah, ya," gumamku lirih. Lucian melewatiku sekali lagi, kali ini dengan bantal tambahan. Aku mengunyah pelan cokelat di mulutku, seolah rasa manis itu bisa mengalihkan pikiranku yang semakin liar. "Tenang, Seraphina. Pria itu hanya akan tidur. Tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun bukan patung es, aku berharap dia tidur seperti batu." Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh sambil membatin, "Aku sungguh tidak mengerti … mengapa aku gelisah seperti ini?" Akhirnya dengan langkah pelan, aku menuju kamar. Pintunya sengaja dibiarkan setengah terbuka. Dari celahnya, kulih
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak