“Dia masih terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian mendiang istrinya. Jadi setiap malam dia selalu mimpi kecelakaan itu.” Mami Neta mengembuskan napasnya yang terasa berat. Mengingat bagaimana anaknya begitu tersiksa dengan mimpinya itu.Akhirnya Isha tahu mimpi buruk apa yang dialami Danish. Karena selama ini Danish tidak pernah mengatakannya.“Apa dia masih mengigau saat malam hari?” Mami Neta menatap Isha. Sejenak Isha memikirkan pertanyaan itu. Isha pernah melihat Danish yang mengigau saat tidur. Yaitu saat di hotel. Namun, semalam dia tidak mendengar Danish yang mengigau saat tidur.‘Tidak mungkin jika aku tidak mendengar dia mengigau. Apalagi semalam dia tidur di tempat tidur bersamaku.’ “Sha.” Mami Neta menepuk bahu Isha karena menantunya itu tidak kunjung menjawabnya.“Iya, Mi.” Isha tersadar dari lamunannya itu. Kemudian menatap mertuanya. “Danish sudah tidak mimpi buruk lagi. Mami tidak perlu khawatir.” Isha mencoba menangkan sang mertua. Dia menebak jika semalam D
Mendapati pertanyaan itu Danish terdiam sebentar. Menimbang jawaban apa yang pas untuk jawab.“Tidak.” Danish akhirnya menjawab apa adanya.Mendengar itu tentu saja membuat Isha senang. Artinya keadaan Danish sudah lebih baik. “Jadi selama ini Pak Danish sudah tidak mimpi buruk lagi?” tanyanya memastikan.“Bukan selama ini, tetapi semalam saja.” Danish mengatakan apa adanya.“Oh … hanya semalam saja.” Isha tidak berpikir apa-apa. Hanya berpikir mungkin Danish mulai tidak mimpi buruk lagi.“Apa kamu sudah selesai bertanya?” Danish merasa jika Isha tidak punya pertanyaan lagi dari tanggapan yang diberikan.“Sudah, Pak.” Isha menggeleng.Mendapati jawaban itu, Danish segera masuk ke kamarnya. Isha pun melanjutkan langkahnya ke lantai atas setelah mendapatkan jawaban dari Danish.****Isha memoles wajahnya dengan krim wajah sebelum tidur. Perawatan rutin yang dilakukan itu untuk menjaga kulitnya tetap sehat. Setelah memastikan skin care rutinnya sudah selesai, Isha segera naik ke tempat t
“Apa kamu keberatan?”Tidak dipungkiri jika Isha juga menikmati tidur bersama Danish. Pelukan Danish memberikan kehangatan dan ketenangan yang tidak pernah didapatkan. Entah karena kerinduannya akan sebuah kehangatan atau alasan lain, Isha tidak tahu. Namun, dia menikmati pelukan itu.“Saya tidak keberatan. Jika itu baik untuk Pak Danish kenapa tidak.” Akhirnya Isha mengizinkan Danish untuk tidur di kamarnya. “Lagi pula jika Pak Danish tidur di sini, bukankah akan lebih baik. Jadi kita akan segera punya anak.” Isha mengulas senyumnya tipis. Keputusannya sepertinya memang tidak salah. Karena dengan begitu mereka akan segera punya anak jika terus bersama.“Kamu benar juga. Tidak ada salahnya jika kita tidur bersama. Dengan begitu kita bisa segera punya anak.” Danish merasa ide Isha cukup pas. “Kalau begitu ayo kita buat anak lagi.” Danish pun menarik tubuh Isha.“Kemarin kita sudah melakukannya, dan sekarang bukan jadwalnya melakukan.” Isha mendorong tubuh DanishDanish mendesah kasar.
“Saya sedang tidak merayu.” Isha mengelak apa yang dikatakan Danish.Jika Isha merayu pun Danish tidak akan keberatan sama sekali. Danish menatap lekat wajah sang istri. Saat memerhatikan Isha, dia melihat wajah Isha begitu cantik tanpa riasan. Danish membelai lembut wajah Isha.“Kamu cantik.” Danish tanpa ragu memuji Isha.Hati Isha jelas menghangat ketika Danish memujinya. Senyum manis menghiasi wajahnya. “Apa kini giliran Pak Danish yang merayu?” tanya Isha.“Anggap saja iya.” Danish mendaratkan kecupan di bibir Isha. Menikmati bibir manis Isha.Isha menikmati ciuman yang diberikan Danish. Untuk sesaat dia larut dalam ciuman tersebut. Namun, selang beberapa saat, dia melepaskan ciuman tersebut.“Ini bukan jadwalnya.”“Peduli apa dengan jadwal.” Danish kembali mendaratkan ciuman.Ketika hasrat sudah menggebu. Dia tak peduli kapan harus melakukannya. Apalagi Isha begitu menggoda sekali. Tak bisa dia melewatkan istrinya begitu saja.Malam itu tentu saja dimanfaatkan Danish dan Isha un
“Iya, apa kamu pikir aku sedang main-main?” Danish menatap Isha kesal.Isha benar-benar bingung dengan sikap Danish yang aneh itu. Tiba-tiba sekali Danish ingin toko bersamanya.“Nish, di sini sempit, bagaimana mau makannya.” Dino yang melihat tempat sempit-langsung melayangkan protes.“Kamu makan saja di mobil.” Danish mengambil jalan tengah.Dino hanya bisa pasrah. “Begini kalau orang jatuh cinta, jadi bodoh,” gumam Dino kesal.“Kamu bilang apa?” Danish menatap Dino yang bergumam tidak jelas.“Tidak-tidak.” Dino langsung menggeleng.Melihat Danish yang tampak serius, Isha tidak bisa melarang. “Ina, kamu beli lagi saja. Itu biar aku yang makan. Pak Danish biar makan punyaku. Tolong sekalian pesankan untuk Pak Dino.” Isha menatap Ina.“Baiklah.” Ina memberikan satu piring yang harusnya dimakan olehnya pada Isha. “Pak Dino tunggu saja di mobil. Nanti saya antarkan.” Ina menatap Dino.Dino mengangguk. Kemudiaan mengayunkan langkahnya ke mobil. Meninggalkan Isha dan Danish.Kini tinggal
Isha tidak menyangka jika ucapannya didengar oleh Danish. Dia pikir Danish tidak akan mendengarnya. “Saya tidak bicara apa-apa.” Isha mengelak, tetapi seraya berlari. Menjauh dari Danish karena takut dengan Danish. Melihat Isha yang lari, Danish yakin jika Isha mengatakan dirinya jelek. Tak tinggal diam, Danish segera mengejar Isha. “Jangan lari kamu Isha.” Danish langsung mengejar Isha. Isha berlari sekencang mungkin untuk menghindari Danish. Dia tidak mau sampai ditangkap oleh Danish. Isha berlari ke ruang tamu. Berusaha untuk menghindar dari Danish. “Apa yang kamu katakan tadi?” Danish menatap Isha. Isha dan Danish terpisah dengan meja yang berada di ruang keluarga. Setiap Danish bergerak mendekat, Isha bergerak menjauh. Isha memasang mata awas karena takut tiba-tiba Danish menangkapnya. Isha melihat celah untuk lari ke kamarnya. Jadi dia berusaha untuk mengelabuhi Danish dengan jalan ke sebelah kiri, tetapi aslinya ke kanan. Sayangnya, Isha salah prediksi. Danish lebih tahu
Isha tidak kunjung menjawab, tetapi justru menangis. Danish yang melihat hal itu jelas bingung. Dia tidak mengerti kenapa istrinya tiba-tiba sekali menangis. “Kita duduk dulu.” Danish memegangi bahu Isha sambil mengayunkan langkah. Tepat di sofa yang berada di dekat tempat tidur, Danish meminta Isha untuk duduk. “Sebenarnya ada apa?” Danish ikut duduk di samping Isha. Isha masih terus menangis. Tak mau menjawab pertanyaan Danish. Ini benar-benar membuat Danish bingung sekali. Dia tidak mengerti kenapa istrinya menangis. “Jika kamu terus menangis, aku tidak akan tahu apa yang terjadi padamu.” Danish yang gemas pun menaikkan nada suaranya sedikit. Geram melihat Isha yang terus menangis tanpa menjelaskan apa-apa. “Aku datang bulan.” Isha akhirnya menjelaskan pada Danish apa yang membuatnya menangis. Mendengar apa yang dikatakan Isha, Danish hanya bisa terpaku. Tidak bisa memberikan tanggapan apa pun. “Bulan ini kita sudah berusaha keras. Kenapa tidak juga diberikan?” Isha menangi
“Isha datang bulan artinya dia belum hamil?” Dino menatap Danish. “Iya.” Danish menjawab diiringi dengan desahan. “Kemarin dia menangis seharian. Tidak mau keluar kamar sama sekali. Tidak makan sama sekali.” Danish menceritakan bagaimana istrinya kemarin. “Maklum saja. Wanita datang bulan itu mood-nya selalu buruk. Kamu harusnya lebih tahu karena dikelilingi para wanita.” Dino tersenyum. Danish memang biasa menghadapi mami, kakak, dan saudara kembarnya. Namun, kali ini berbeda. Danish tidak bisa memahami kemarahan Isha itu. “Sudah ayo berangkat.” Danish malas memikirkan Isha. Memilih untuk segera ke kantor. Segera dia membuka pintu mobil dan masuk ke mobil. Dino menyusul Danish yang lebih dulu masuk ke mobil. Segera dia melajukan mobilnya untuk ke kantor. Selama perjalanan Danish memikirkan kenapa Tuhan belum juga memberikannya anak. Padahal itulah yang ditunggu. “Kamu kenapa?” Dino yang menyetir menoleh ke Danish sejenak. Membagi konsentrasinya. “Aku bingung, kenapa kami belum