“Isha datang bulan artinya dia belum hamil?” Dino menatap Danish. “Iya.” Danish menjawab diiringi dengan desahan. “Kemarin dia menangis seharian. Tidak mau keluar kamar sama sekali. Tidak makan sama sekali.” Danish menceritakan bagaimana istrinya kemarin. “Maklum saja. Wanita datang bulan itu mood-nya selalu buruk. Kamu harusnya lebih tahu karena dikelilingi para wanita.” Dino tersenyum. Danish memang biasa menghadapi mami, kakak, dan saudara kembarnya. Namun, kali ini berbeda. Danish tidak bisa memahami kemarahan Isha itu. “Sudah ayo berangkat.” Danish malas memikirkan Isha. Memilih untuk segera ke kantor. Segera dia membuka pintu mobil dan masuk ke mobil. Dino menyusul Danish yang lebih dulu masuk ke mobil. Segera dia melajukan mobilnya untuk ke kantor. Selama perjalanan Danish memikirkan kenapa Tuhan belum juga memberikannya anak. Padahal itulah yang ditunggu. “Kamu kenapa?” Dino yang menyetir menoleh ke Danish sejenak. Membagi konsentrasinya. “Aku bingung, kenapa kami belum
“Aku mau dipeluk saat tidur.” Mendapati permintaan itu Isha terdiam. Kemarin dia tidak memeluk Danish seperti biasa. Jadi wajar kali ini Danish minta hal itu. “Baiklah. Aku akan memeluk Pak Danish.” Malu-malu Isha menjawab. Di dunia ini memang tidak ada yang gratis. Hanya untuk menginginkan sesuatu, Danish harus melakukan sesuatu dulu. Isha menikmati makannya. Rasa manis benar-benar mengembalikan mood-nya. Perasaannya kembali tenang ketika merasakan nikmatnya kue. Makan, Isha memilih merapikan bekas makan terlebih dahulu. Memberikan jeda pada perutnya yang baru selesai makan. Danish ikut membantu. Tentu saja itu membuat pekerjaan semakin cepat. Usai semua pekerjaan selesai, barulah mereka ke kamar. Isha menggosok gigi lebih dulu sebelum tidur. Makan manis tentu saja akan membuat giginya keropos. Danish pun bergantian dengan Isha yang menggunakan kamar mandi lebih dulu. Mereka naik ke atas tempat tidur saat semua sudah selesai. Seperti permintaan Danish, Isha langsung memeluk. Me
“Kak Abra mau bicara apa dengan Isha?” “Ada sesuatu yang penting yang tidak bisa aku bagikan padamu.” Abra mengulas senyumnya. Ina sebenarnya kecewa, tetapi mau bagaimana lagi. “Baiklah, aku akan sampaikan.” “Terima kasih, Ina.” Abra tersenyum. Ina memang saat ini bisa diandalkan. Apalagi untuk perantara dengan Isha. Ina yang selesai dari penjara segera kembali ke toko. Jika bukan karena ada yang harus disampaikan pada Isha, dia pastinya akan memilih langsung pulang. “Ina, aku pikir kamu akan langsung pulang.” Isha cukup terkejut ketika melihat Ina yang kembali ke toko. Sebenarnya Isha tidak masalah jika Ina langsung pulang. Apalagi pasti lelah jika harus bolak-balik. “Tadi ada pesan Kak Abra, jadi aku ke sini sekalian.” “Kak Abra titip pesan apa?” Isha menarik lengan Ina. Ingin tahu apa yang dikatakan Abra. Ina melihat Isha yang memegangi lengannya. Tampak Isya yang begitu ingin tahu. “Kak Abra minta kamu ke sana, karena ada yang dibicarakan.” Isha pikir Abra tidak akan mau b
Sesuai dengan niat kemarin hari ini Isha memutuskan untuk ke penjara tanpa izin. Walaupun sebenarnya dia takut, tetapi dia harus melakukannya. Apalagi Abra sedang sakit. Isha mengambil waktu saat di toko. Waktu itu adalah waktu ideal untuknya tidak ketahuan Danish dan Dino. Isha hanya bisa berharap jika Dino tidak tiba-tiba ke penjara seperti tempo lalu. “Jika tiba-tiba Pak Danish datang, bilang aku sedang ke bank.” Sebelum pergi, Isya menitipkan pesan pada Ina. Kemungkinan Danish datang bisa saja. “Sebaiknya kamu cepat kembali. Agar tidak menimbulkan masalah.” Sejujurnya Ina sendiri juga takut. Namun, mau bagaimana lagi, Abra begitu ingin bertemu Isha. “Iya, aku usahakan sebelum jam dua belas aku sudah kembali.” Isha segera buru-buru berangkat. Dia naik ojek untuk mempersingkat waktu. Mengingat jalanan kadang macet. Dari toko ke penjara memakan waktu satu jam. Isha sengaja berangkat jam sembilan agar sampai di penjara jam sepuluh. Itu waktu pas untuk menjenguk. Perjalanan dilal
Isha memberanikan diri untuk mengatakan pada Danish seperti yang diminta oleh Abra. Mendapati pertanyaan itu seketika Danish langsung melepaskan pelukannya. Menjauhkan tubuhnya dari Isha agar dapat menjangkau wajah Isha. “Apa kamu sedang menuduh jika aku tidak subur?” Danish menatap tajam pada Isha. Dia sedikit tersinggung dengan ucapan Isha. Reaksi Danish itu jelas membuat Isha curiga. Harusnya Danish tidak semarah itu jika tidak ada masalah. Namun, Isha masih berpikir positif. “Aku tidak menuduh, tetapi aku merasa memang seharusnya kita coba cara itu. Jika memang ada masalah padamu, kita bisa tangani.” Isha berusaha untuk menjelaskan pada Danish. “Keadaanku baik-baik saja. Jadi jangan perlu khawatir dengan hal itu. Kita belum diberikan anak memang Tuhan belum berkehendak.” Danish merasa jika Isha berpikir terlalu jauh. “Apa salahnya jika mencoba memeriksakannya? Lagi pula kita sedang berusaha.” Danish mengembuskan napasnya. Yang dikatakan Isha benar. Memang tidak ada salahnya
Pagi ini Isha tidak keluar kamar. Danish yang melihat hal itu merasa bingung sekali. Untuk menemui Isha rasanya dia malu sekali. Sampai mau sarapan pun Danish enggan karena masih belum bisa tenang setelah hal gila yang dilakukan pada Isha. “Bi, tolong antarkan makan ke kamar Bu Isha. Pastikan dia makan.” Sebelum berangkat, Danish memberitahu asisten rumah tangga. “Baik, Pak.” Danish segera keluar dari rumah. Menghampiri Dino yang sudah menunggu di luar. Pagi ini Danish meminta Dino datang lebih awal. Dia ingin memberikan ruang pada Isha untuk di rumah lebih leluasa. Saat Danish masuk ke mobil, Dino segera melajukan mobilnya. Sambil fokus di jalan, Dino melirik-lirik ke arah Danish. Dia penasaran sekali kenapa temannya itu memintanya datang lebih cepat dari biasanya. “Isha ke mana?” Sebelum pada intinya, dia bertanya lebih dulu. Karena pagi ini hanya Danish saja yang berangkat. “Isha di rumah.” “Aku tahu dia di rumah. Maksudku kenapa dia tidak ke toko? Apa kalian bertengkar lagi?
Beruntung orang tersebut dapat menghindar. Jadi tidak mengenai tubuhnya. Jika sampai air mengenai tubuhnya, jelas baju dan celananya akan basah. “Isha, kamu tidak apa-apa?” Pria itu kembali mengulang ucapannya. Isha menundukkan kepalanya melihat air yang dibawa tumpah. Air tumpah ke lantai dan membuat lantai basah. Beruntung gelas yang dibawa tidak ikut jatuh. “Suara itu?” Sejenak Isha memikirkan suara siapa yang baru saja di dengar. Dia baru menyadari jika suara itu bukan suara Danish. Isha memberanikan diri untuk menegakkan pandangannya. Alangkah terkejutnya ketika yang berada di depannya bukan Danish melainkan Dino. “Pak Dino di sini?” Isha tampak terkejut ketika melihat Dino di rumah Danish. “Iya, Danish tidak bisa tidur. Jadi dia meminta aku ke sini menemani.” Dino tadi dihubungi oleh Danish ketika temannya itu kembali mimpi buruk. Tadi dia berniat mengambil minum ke dapur. Namun, justru melihat Isha. Isha terdiam sejenak ketika mendengar Danish kembali mimpi buruk lagi.
Dari dalam kamar, Isha langsung terbangun ketika mendengar suara ganggang pintu dibuka. Sejak kejadian Danish mau memerkosanya, memang Isha selalu was-was setiap malam. Membuat tidurnya menjadi tidak nyenyak. Saat pintu berusaha dibuka, Isha segera mendudukkan tubuhnya. Memundurkan tubuhnya menempel ke headboard tempat tidur. Matanya awas melihat pintu kamarnya. Di luar, Danish menggerakkan gagang pintu kamar Isha. Sayangnya, pintu kamar Isha terkunci dari dalam dan membuat Danish tidak bisa masuk. “Ternyata dia mengunci pintu.” Danish tidak menyangka jika Isha akan mengunci pintu kamarnya. “Apa sebegitu takut dia padaku?” Tebarkan itu melayang menghiasi pikiran Danish. Dia menebak jika Isha melakukan itu karena takut padanya. Danish merasa begitu berengsek dirinya sampai membuat takut sang istri. Tak mau membuat Isha takut, akhirnya Danish memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Di dalam kamar Isha menunggu pintu terbuka. Walaupun sebenarnya dia tahu jika pintu tidak akan terbuka kar