Karina menggeleng. “Aku tidak bisa, ada urusan mendadak. Aku akan pulang. Terima kasih sudah bersamaku malam ini.” Amar menghela nafas. Ia menatap kepergian Karina dalam diam. Ia ingin mengantar Karina namun sayang jika melewatkan pesta malam ini. Pada kahirnya ia membiarkan Karina pulang sendiri. Amar benar-benar kecanduan dengan party. Bagaimanapun ia tidak bisa meninggalkan pesta yang baru saja dimulai. Karina berjalan. Setelah taksi yang sudah dipesannya datang, Ia langsung masuk. Tanpa bisa dicegah lagi—air matanya turun begitu deras. Karina memegang dadanya sendiri. Rasanya sungguh menyesakkan. Karina menyukai Saka, mungkin perasaannya sudah dibilang cinta. Namun perlakukan Saka sama sekali tidak mencerminkan mencintai Karina. Jika hal ini yang dimaksud menghancurkan. Maka Saka berhasil 100 persen. Saka benar-benar membuat Karina hancur. “Aduh neng, kenapa setiap kamu naik taksi bapak kamu selalu nangis?” Pak sopir taksi yang menatap Karina lewat spion kaca atas. “Bapak jadi
Di sisi lain. Seorang pria berada di sebuah balkon. Menatap pemandangan kota dengan sebatang rokok yang diapitnya di sela-sela jari. Saka duduk di sebuah kursi—di meja depan ada sebuah Americano. Bibirnya tidak berhenti menyesap batang nikotin itu. Mendongak—kemudian mengeluarkan asap ke atas. “Aku seharusnya memberinya pelajaran.” Saka mengepalkan tangannya. Mengenai tadi. Ia bermain-main dengan Karina. Itu adalah hukuman yang sangat tepat untuk Karina agar sadar dengan statusnya yang sebenarnya. Saka akui ia memang kasar—ia melakukannya agar Karina tidak lagi melawannya. Ia sungguh kesal dan marah melihat Karina datang ke pesta bersama Amar. Apalagi kemarin Amar terang-terangan menyukai Karina. Haiishh membuat Saka kembali marah saja. “Hubunganku dengannya dihiasi kemarahan dan se*ks.” Saka berdiri. Ia menjatuhkan putung rokoknya yang tinggal setengah ke bawah. Kemudian menginjaknya hingga mati. “Kenapa kau di sini?” tanya Aruna. Saka benar-benar membenci Aruna. Keras kepala da
Pandangan Saka turun ke bawah. Di mana bibir yang berlipstik merah menyala itu sangat menggoda di matanya. “Aku suka warna bibirmu.” Mengusap bibir bawah Karina menggunakan ibu jarinya. Tanpa babibu lagi. Saka melumat bibir Karina dengan rakus. Entah bagaimana—pakaian yang mereka gunakan entah ke mana. Saka maupun Karina sama-sama telanjang. Saka menindih tubuh Karina di atas ranjang. Kembali menyentuhnya,menyatukan milik mereka berdua. Malam ini—ruangan hotel ini dipenuhi dengan suara erangat penuh gairah milik mereka. ~~ Pagi hari. Saka mengernyit menatap tangannya yang digunakan sebagai bantalan. Ia menatap punggung polos hanya tertutupi oleh selimut. Ia tersenyum—tadi malam ia tidak begitu mengingat. Tapi tadi malam sungguh nikmat. Ia kira Karina pulang setelah ia menghukummya. Ia tidak pernah menyangka jika Karina menyusulnya. Saka bangun lebih dulu. Membersihkan diri beberapa menit di kamar mandi. Setelah itu keluar dan mendekati Karina. “Kau sudah bangun?” suara Karina. S
Karina tertawa pelan meskipun sebenarnya malas. Tapi ia cukup terhibur. Ia merogoh dompetnya. Mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. “Terima kasih sudah menghibur saya.” Karina memberikan uang itu. “Kalau gini mah siap digoyang sampai pagi.” Karina menggeleng. Ia segera menyingkir dan perlahan menjauh. Namun ia berhenti saat seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria yang enggan sekali ke Pasar. Pria yang katanya tidak akan lagi pergi ke pasar. “Saka..,” lirih Karina. Saka terdiam. Seperti pertemuan pemeran utama di sebuah film. Bagaikan disorot oleh lampu—sedangkan orang yang melintasi mereka nampak acuh. Karina masih terdiam di tempatnya berdiri. Saka melangkah—langkahnya yang begitu lebar membuatnya cepat sampai di hadapan Karina. Saka menarik Karina ke dalam pelukannya. “Aku merindukanmu.” Karina hampir terjatuh dengan pelukan Saka. Ia hanya bisa terdiam—entahlah rasanya masih tidak mungkin Saka berada di hadapannya. “CIEE BAIKAN!” “CIEE CIEEE!” “MESRA-MESR
“Tutup mulutmu sialan!” Saka mencengkram leher Aruna. “Jaga mulutmu atau kurobek.” Aruna sampai meneteskan air mata akibat cengkraman tangan Saka di lehernya. Saka mencengkramnya hingga benar-benar kehabisan oksigen. Aruna hampir mati jika detik terakhir Saka tidak melepaskannya. Ia terbatuk pelan. “Kau gila!” “Jika kau tahu aku gila. Berhenti main-main denganku.” Saka mendekati Aruna lagi. Namun Aruna menghindar. “Aku tidak main-main denganmu.” Aruna ternyata tidak takut. “Jika kau tidak meninggalkan Karina. Aku akan menyebarkan perselingkuhan kalian.” Saka mengernyit. “Apa kau bilang?” “Aku punya banyak bukti perselingkuhan kalian.” Aruna tersenyum. Tangan kirinya memegang lehernya yang masih terasa sakit. “Tinggalkan Karina dari sekarang. Aku akan melupakan perbuatan kalian.” “Sebelum video itu beredar. Aku akan lebih dulu membunuhmu.” Saka dengan sorot tajamnya. Bahkan keinginannya sekarang adalah membunuh Aruna saja. Namun ia masih menahan diri. “Berani-beraninya kau megin
Karina sudah sampai di sebuah Kafe. Ia berjalan pelan memasuki kafe. Di sana ia melihat Aruna yang sudah duduk di bangku. Ia mendekat kemudian duduk di depan Aruna. “Hai Karina pelakor?” Aruna melambaikan tangannya. “Sa-saya bisa menjelaskan. Saya dan tuan Saka—” “Kalian berselingkuh. Kalian menjalin hubungan di belakangku. Dan kalian melakukannya sudah berbulan-bulan.” Aruna mengetuk jarinya di atas meja. “Tinggalkan Saka. Aku tidak ingin ada orang lain yang tahu.” “Saya akan berusaha pergi.” Karina berkata sejujurnya. Ia sudah berusaha membatalkan kontrak mereka. Namun hasilnya nihil. Aruna tertawa remeh. “Maksudmu Saka yang mengejarmu?” Aruna semakin tertawa kencang. “Aku tidak menyangka selera Saka sangat rendah. Dia tidak bisa melepaskan wanita rendahan sepertimu?” Aruna bertopang dagu. “Apa mungkin kau yang terlalu percaya diri.” “Saya sudah berusaha lepas. Tapi Tuan Saka memang mengontrol hidup saya. Hidup saya berada di tangan tuan Saka.” Braaak “APAPUN ITU AKU INGIN K
Saka merogoh saku celananya. Mencoba menghubungi Karina namun sama sekali tidak diangkat. “Ke mana dia? Beraninya mengabaikanku.” Mulai marah karena Karina yang tidak kunjung menjawab teleponnya. “Ke mana Karina?” tanya Saka pada Ronald. “Bos di sini baru jam 3 pagi. Kenapa anda menelepon saya sepagi ini.” Ronald terdengar kesal. “Cari Karina. Aku ingin berbicara dengannya.” “Dia mungkin masih tidur. Saya akan mencarinya nanti. Sekalian memberitahunya agar menyusun ulang jadwal anda.” Ronald masih terkantuk. Ia hampir saja tertidur kembali jika tidak mendengar perintah Saka. “Sekarang!” “Baik,” pasrah Ronald. Saka mematikan ponselnya. Tak butuh waktu lama menunggu. Dua orang pria tadi sudah keluar. Mereka masuk ke dalam mobil kemudian langsung pergi. Saka bangkit—ia segera berjalan menuju ruangan Hendrick berada. “Akhirnya kamu datang juga.” Leona menyambut Saka dengan memeluknya. Ia juga mengecup kedua pipi Saka dengan penuh kasih sayang. “Apa kamu bertemu dengan kakakmu? Me
“Bibi sehat. Sebelum ke kamar, tuan muda makan dulu saja. Pasti tuan muda lapar perjalan ke sini.” “Baiklah.” Saka melangkah mengikuti Bibi yang berjalan lebih dulu. Rumah orang tuanya ini sangatlah luas. Sekeliling rumah adalah pepohonan. Ada penjagaan yang begitu ketat, tidak akan ada yang bisa bebas masuk Mansion. “Apa Kak Xavier dan Steven pernah ke sini?” tanya Saka yang sudah duduk. Sedangkan Maid menyiapkan makanan di atas meja. Ada berbagai menu yang di masak. Entahlah—tapi memang seperti cara makan keluarganya. Ada banyak menu yang dihidangkan hanya untuk sekali makan. “Jarang sekali. Mereka ke sini saat Tuan dan Nyonya yang minta. Jika tidak—mereka tidak akan pernah ke sini.” Maid itu berhenti. “Tuan dan Nyonya terlihat sangat kesepian. Tuan Xavier dan Steven jarang sekali ke sini. Padahal Nyonya dan Tuan sangat senang saat mereka ke sini. Apalagi bisa bertemu dengan cucu mereka.” Saka mengangguk pelan. Sedari dulu beginilah keadaannya. Ia merogoh ponselnya. Sebuah pe
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert