“Taraaa….” Sana tersenyum sembari menunjukkan sebuah lukisan. “Surprise!” “Aku tidak tahu kamu melukis akhir-akhir ini?” Rafa mendekat. “Ini kita bukan? Kamu bahkan masih mengingat mantel yang aku pakai hari itu. Dan juga gaya rambutku yang masih berantakan.” Ia melihat lebih jelas lagi lukisan baru dibuat oleh Sana. Sebuah lukisan dua manusia yang sedang berhadapan berada di bawah guyuran bunga dengan langit yang berwarna pink.“Aku diam-diam melukis. Aku ingin ada satu lukisanku yang dipajang di Mansion,” balas Sana. “Kenapa hanya satu? Kamu bisa memajangnya di seluruh sudut ruangan.” Rafa memeluk pinggang Sana dari belakang. “Lukisannya indah, seperti kamu. Terima kasih.” Sana tertawa pelan. “Aku hanya ingin satu saja yang dipajang. Kenapa kamu akhir-akhir ini pintar merayu?” tanya Sana. “Benarkah?” Rafa mengecup leher Sana pelan. “Aku tidak merayu. Aku hanya mengatakan fakta.” “Apa kamu menyukai lukisan karena aku?” tanya Sana. Rafa berpikir sebentar. Apakah ia harus jujur?
Kecelakaan terjadi di sebuah jalan pinggir pantai. Hardin bersama kekasihnya akan menghabiskan waktu pagi melihat sunrise di pantai. Namun naasnya, mobil yang mereka tumpangi ditabrak oleh truk muatan besar. Sehingga mobil yang ditumpangi Hardin menabrak pembatas dan mengakibatnya kerusakaan yang cukup parah. Saat ini dirawat di sebuah rumah sakit. Rafa dan Sana langsung pergi ke rumah sakit tersebut. Hampir satu jam operasi dilakukan untuk mencegah pembuluh darah yang pecah. Sedangkan kekasih Hardin sekarang masih koma.“Ayo Dad, Dad pasti bisa melewatinya.” Rafa yang tidak bisa tenang sedikitpun. Ia terus diliputi oleh rasa kawatir. Sampai hampir satu jam menunggu di luar, akhirnya dokter keluar juga. Namun raut dokter tersebut seolah menunjukkan kebenaran. “Kami tidak bisa menyelamatkan tuan Hardin. Beliau meninggal.” Dokter tersebut menghela nafas. “Beliau akan segera dipindahkan ke ruangan lain.” “Tidak mungkin.” Rafa langsung menerobos ruangan. Mengguncang pelan lengan ayahn
Setelah pulang dari pemakaman. Rafa lebih dulu mengantar Sana ke hotel. “Aku tidak boleh ikut?” tanya Sana menatap Rafa. Ia mengerucutkan bibirnya karena tidak boleh ikut Rafa yang akan menemui kakek. Rafa mengusap puncak kepala Sana. “Kakek adalah orang yang tidak bisa ditebak. Aku hanya tidak ingin membuat kamu tidak nyaman bertemu dengannya. Aku juga harus menyelesaikan semuanya.” Sana mengangguk. “Baiklah tapi cepatlah kembali.” Ia mendekat dan memeluk Rafa. “Aku kesepian sendirian di Hotel.” “Hm. Aku akan cepat pulang.” Rafa mengecup dahi Sana beberapa detik. Sana melepaskan pelukannya dan turun dari mobil. Ia menunggu Rafa sampai pergi. Menatap mobil yang telah menghilang itu. Ia berjalan pelan menuju kamar yang digunakan mereka menginap. Namun alangkah terkejutnya ketika melihat dua orang laki-laki yang berada di depan pintunya. Pakaian mereka mirip bodyguard. Ting!Sebuah pesan muncul. Pesan dari Rafa. “Itu bodyguard suruhanku. Jangan menolak, mereka akan menjagamu.” Sa
Beberapa saat yang lalu. Ia mendapatkan kabar bahwa ia pelaku yang sebenarnya sudah diketahui. Kini tinggal mengumpulkan bukti dan mengajukan tuntutan. Ia tidak sabar melihat orang itu segera dihukum. “Aku tidak akan membiarkan hidup dengan tenang setelah membuat Dad meninggal.” Itu janji Rafa. Sampai kapanpun ia tidak akan memaafkan apalagi membiarkan orang yang telah membuat ayahnya meninggal, hidup dengan tenang.Sana mengeratkan selimutnya. Namun disaat ia mencari di mana guling hidupnya, ia tidak menemukannya. Akhirnya ia membuka mata dan mencari keberadan rafa. Sana bangkit—melihat bayangan seseorang yang berada di luar. “Dia tidak sedang hujan-hujanan kan?” Sana bangkit. Memungut kemeja putih Rafa kemudian menggunakannya. Ia berjalan mendekati suamin yang duduk di salah satu bangku. Asap rokok yang dibuat oleh Rafa membuat Sana berhenti. “Kamu bangun?” Rafa mendongak dan mendapati istrinya diambang pintu. Ia segera menjatuhkan rokoknya ke bawah untuk mematikannya. “Aku ked
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Jackson ketika masuk di sebuah ruang kerja. “Kecelakaan yang dialami Dad bukan karena murni kecelakaan, tapi ada dalang dibaliknya.” Rafa mengucapkannya sangat tenang. Ia berusaha agar tidak marah melihat Jackson yang terkesan tenang sedari tadi. Tidak ada raut gusar atau kawatir atas kematian putranya. “Kamu ingin menyeledikinya?” tanya Jackson. “Selidiki saja. Hukum orang yang membuat ayahmu meninggal.” Rafa mengernyit. “Bukankah kakek terlalu santai mengenai kematian putra kakek sendiri?” Jackson mengambil duduk di kursi kebesarannya. “Kematian tidak ada yang tahu. Kematian itu sudah diputuskan oleh yang diatas. Seperti ayahmu, aku juga bisa mati kapan saja. Menangisi kematian tidak ada gunanya.” Mengambil sebuah rokok yang terbuat dari kayu. “Jika kamu terus tenggelam dengan kematian, kamu juga akan hancur.” Jackson menatap cucunya. “Dengan kepergian Daddy-mu ini membuat kakek harus bekerja lebih lama di perusahaan.” “Kenapa harus memb
Rafa mengusap pipi istrinya pelan. Tubuh mereka sama-sama kelelahan. Sana langsung tidur setelah kegiatan panas mereka. Rafa menaikkan selimut sampai sebatas leher istrinya. Jemarinya turun—mengusap perut Sana pelan. “Dad harap kamu tumbuh dengan baik.” Ia mendekat—mengecup dahi Sana beberapa detik. Kemudian turun dari ranjang. Berjalan ke arah kamar mandi.Di bawah guyuran shower, Rafa memejamkan mata dan mengepalkan tangannya. Amarahnya yang perlahan muncul. “Bagaimanapun aku harus menghukum dia.” “AAARRGGH!” teriaknya dengan tangan yang mengepal. “Aku tidak akan tenang sampai melihatnya di penjara.” ~~“Aku ingin pergi ke suatu tempat,” ucap Sana berada di dalam mobil.“Ke mana?” tanya Rafa menoleh sebentar lalu kembali fokus menyetir. “Ke taman. Aku ingin makan es krim penjual yang ada di sana.” Rafa terdiam sesaat kemudian menggeleng. “Es krim belum terjamin kebersihan dan kehigienisannya. Bagaimana kalau membeli es krim di restoran saja? Di depan ada, kita bisa langsung mak
“Bisa kamu beritahu aku, kenapa kamu tadi seperti itu? Apa yang membuat kamu begitu marah?” Rafa melirik Sana sekilas. Helaan nafasnya terdengar. “Aku kalah. Aku tidak bisa menghukum orang yang membunuh Dad. Karena orang itu dilindungi seseorang.” “Siapa?” “Kakekku sendiri.” Rafa tersenyum sinis. “Menyebalkan bukan? Aku begitu marah dan tidak bisa mengontrol emosiku sendiri. Aku berusaha mati-matian membuat orang yang membunuh Dad masuk penjara justru kakek melindungi orang itu.” Sana mengambil tangan Rafa. Mengusapnya pelan. “Lalu apa yang akan kamu lakukan?” “Aku tidak akan menyerah.” Rafa menghela nafas. “Aku akan sering bolak-balik ke London untuk mengurusnya. Aku tidak bisa membawa kamu. Kamu harus janji, kamu harus baik-baik saja saat aku tinggal.” Sana mengangguk. “Kita sudah lama berhubungan jauh. Itu tidak akan sulit.” Rafa berlutut di hadapan Sana. Ia memeluk perut Sana dan menciumnya. “Baik-baik di perut Mom. Jangan nakal, Dad janji akan menyelesaikannya segera.” ~~
Melalui panggilan vidio, Rafa bisa bertatapan langsung dengan kekasih ayahnya. Jujur saja ia masih ragu dengan Camelia yang masih bisa hamil diusia yang tidak muda lagi. “Langsung saja, saya tidak terlalu percaya dengan yang anda katakan.” Rafa menatap Camelia. “Jika nanti saya meminta untuk mengajukan tes DNA apakah anda bersedia melakukannya?” “Saya bersedia. Selagi kamu menjamin keselamatan hidup anak saya, saya bersedia melakukan apapun,” balas Camelia dengan mantap. “Saya sudah menyiapkan tempat tinggal dan orang untuk menjaga anda. Anda bisa pergi ke sana. Saya menyuruh orang untuk menjemput anda. Anda bisa tinggal di sana. Anda bisa keluar setelah saya memastikan semua aman. Kalian bisa keluar dari tempat itu.” “Terima kasih banyak, nak.” Camelia menyatukan tangan. Sangat bersyukur dengan bantuan dari Rafa. Jika dilihat Camelia belum terlalu tua. Usia yang tertera di identitas yang Rafa terima adalah sekitar 40 tahun. Cukup jauh jarak usianya dengan ayahnya yang mungkin su
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert