“Dia hanya cocok dengan wanita seperti Michelle,” ejek Rachel yang tidak henti. Ia sempat melihat TV dan melihat kakaknya diberitakan dengan seorang aktris.“Hei!” Rafa berdecak pelan. “Berhenti atau—” Ia tersenyum misterius. “Ada yang ingin sepatu roda baru, tapi sepertinya aku tidak usah beli saja.” Rachel segera memohon pada kakaknya. “Aku hanya bercanda. Kak Rafa hanya cocok dengan kakak cantik ini. Kalian sangat serasi—” Rachel menatap Sana. “Siapa nama kakak?” “Sana.” Sana tersenyum. “Aku Rachel, adik Rafael. Senang bertemu denganmu.” Mengulurkan tangan. Sana menyambut tangan Rachel dengan hangat. “Kamu manis.” “Benarkan aku sangat manis. Semua orang juga tahu aku manis, tapi ada satu orang yang terus saja menolak kalau aku ini manis. Dia orangnya!” menunjuk Rafa. Rafael memutar bola matanya malas. “Tidak ada manis-manisnya, pahit iya.” Tanpa rasa bersalah mengambil duduk dengan santai. Mengeluarkan rokok dan hendak menyulutnya. “Dilarang merokok di dalam rumah.” Rachel b
Sana mendongak. Perasaan sesak ini kembali muncul. Dirinya tidak pernah baik-baik saja ketika Rafa pergi dari hidupnya. Hidupnya berantakan, kepalanya terus diisi oleh pria itu. Kemungkinan-kemungkinanan buruk yang selalu berputar di kepalanya. Sana mengusap sudut air matanya yang berair. Ia segera memasang ekspresi bahagia. Tersenyum tanpa terjadi apapun. Ia mengambil duduk di tepi ranjang. Meluruskan kaki dengan punggung yang bersandar.“Rafa,” panggilnya. Jemarinya terangkat mengusap helaian rambut Rafa yang berwarna gelap kecokelatan. “Masih ingin tidur?” tanyanya sangat pelan. Bukannya bangun. Pria itu bergerak memeluk perut Sana. Rafa masih menutup mata dengan memeluk pinggang Sana. “Sudah membuat kuenya?” “Sudah. Ini aku bawakan. Coba dulu,” balas Sana masih betah mengusap helaian rambut Sana. Terdengar decakan dari Rafa. “Dasar tidak peka.” Sana terkikik geli. Ia mengerti, pasti pria ini marah karena tadi ia hanya peduli pada kue. Sana ikut membaringkan diri. Memeluk tubu
Amel mengernyit melihat sebuah cincin indah yang tersemat di jari manis Sana. Karena dilihat dari bentuk dan warnanya bukan seperti cincin biasa untuk aksesoris. Untuk itulah ia mempertanyakan cincin tersebut. “Cincin kamu terlihat bukan seperti cincin biasa. Apalagi letaknya berada di jari manis yang menandakan…” Amel berhenti berbicara. “Sebenarnya Sana—” ucapan Rafa terpotong dengan Sana. “Ini hanya cincin biasa.” Sana melepaskan cincin itu dengan mudah. “Cincin ini bagus, jadi Sana meletakkan di jari manis Sana. Juga supaya tidak ada sembarangan orang bisa menganggu Sana.” Kemudian memasang cincin itu di jari telunjuknya. “Oh..” Amel mengangguk. “Kamu pintar.” Rafa menoleh ke samping. Menatap Sana dengan tatapan seakan tidak percaya. Bagaimana bisa wanita itu membohongi semua orang dengan tidak berkata yang sebenarnya. Bagaimana bisa Sana menyembunyikan statusnya yang sudah bertunangan. Setelah acara makan malam. Rafa memutuskan untuk pergi ke perpustakaan pribadinya. Alasan
“Kesalahan apa yang telah aku lakukan sehingga membuatmu pergi.” Sana menatap punggung pria yang enggan menatapnya itu. “Tapi kau memang pergi dan tidak berniat kembali, aku berusaha menata hidupku lagi.”“Kemudian aku berusaha membuka hati untuk pria lain. Di saat hidupku mulai tertata lagi, kau muncul. Oh bukan—” Sana memejamkan mata sebentar. “Kita bertemu. Kesalahpahaman yang membuat kita seperti ini akhirnya terpecahkan. Tapi—keadaan tidak memungkinkan aku kembali denganmu.” “Namun semakin aku tolak, aku semakin tidak bisa mengontrol rasa sukaku padamu. Tapi lagi-lagi keadaan yang membuatku maju mundur untuk memilih bersamamu.” Sana mendongak ke atas sebentar. Mengusap air matanya yang mengalir dengan deras. Rafa berbalik. Bahkan mabuknya menghilang hanya dengan suara Sana. Bagaimana wanita itu menjelaskan keadaan yang sebenarnya padanya. Bagaimana tersiksanya wanita itu dengan perasaannya sendiri. “Dengan kebersamaan kita akhir-akhir ini. Aku semakin lupa ada tatanan masa dep
Untuk mengalihkan rasa sakit tersebut, Rafa mengecup dahi Sana beberapa detik. Kemudian turun, mengecup kedua kelopak mata perempuan itu. “Tahan sebentar,” ucapnya dengan lembut sembari mengusap puncak kepala Sana. Setelah itu—Sana tidak tahu lagi bagaimana rasanya menjabarkannya. Perlahan rasa sakit itu hilang, digantikan dengan kenikmatan yang tidak pernah ia dapatkan. Bagaimana Rafa yang ahli memainkan tempo pergulatan panas mereka. “Aku harus berhenti.” Rafa memeluk tubuh Sana. Menari tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Ia tidak tega menyiksa Sana semalaman, meskipun tubuhnya terus meminta tidak berhenti. Sana jatuh tertidur dengan lengan Rafa sebagai bantalan. Tubuh mereka berdua dibalut oleh selimut berwarna putih. Selimut yang tidak terlalu tebal dan seadanya, karena kamar yang mereka gunakan bukanlah kamar yang digunakan untuk tidur. “Terima kasih.” Rafa mengambil tangan Sana dan mengecupnya beberapa kali. Anehnya Rafa tidak kunjung bisa tidur. Hanya mendadak gelisah,
Pagi harinya. “Kami pamit dulu,” ucap Sana berpamitan pada orang tua Rafa. Amel mengangguk pelan. “Kalian sering-seringlah ke sini.” “Jika tidak sibuk, Mom.” Rafa memberikan pose jari piecenya. Andres menggeleng pelan. “Kamu sendiri yang menyibukkan diri sendiri. Lihat Dad, meskipun Dad sibuk. Dad tidak pernah membuat Mom kesepian.” Andres menepuk pelan bahu Rafa. “Belajarlah dari Dad.” Rafa menggeleng pelan. “Tidak Dad. Dad itu terlalu bucin pada Mom.” Andres tertawa pelan. “Yasudahlah. Hari ini ada meeting pagi. Dad harus pergi tepat waktu, Dad minta tolong kalian antarkan Rachel ke sekolah. Lagipula satu jalur juga dengan jalan kalian pulang.” Rachel menggandeng tangan Sana. “Aku ingin menunjukkan sesuatu pada kakak. Duduklah bersamaku, aku janji tidak akan menyesal.” Rachel menarik Sana dan mengajak kekasih kakaknya itu duduk di kursi belakang. Mengabaikan Rafa yang tengah kesal menatap mereka dari kursi pengemudi. “Bagus, jadi aku supir sekarang,” ucap Rafa mulai menancap
Sana mendongak. Ia tidak ada pilihan lain selain menerima kartu tersebut dari pada membuat Rafa marah. “Baiklah.” Rafa tersenyum melihat Sana yang menurut. Ia mengusap pipi Sana perlahan. Melepaskan sabuk pengamannya kemudian mendekat dan mengambil ciuman pada bibir wanita itu. Sana membalas setiap lumatan yang diberikan di atas bibirnya. Kedua tangannya mengalun di leher Rafa. Nafas mereka saling bersahutan. Hawa dingin pagi hari ini mendadak menjadi panas. Ac di dalam mobilpun tidak mampu hawa panas di dalam mobil. Rafa menarik Sana ke atas pangkuannya. Jemarinya menarik lepas pakaian yang berada di tubuh wanita itu. Sana menunduk—mencengkram bahu pria itu. Membiarkan Rafa mencecap dadanya dengan rakus. “Rafa, di sini—” Sana semakin erat mencengkram bahu Rafa. “Bagaimana jika ada yang melihat kita?” “Tidak akan.” Rafa mendongak. Ia menarik tengkuk Sana dan mencium wanita itu lagi. “Kau sedang tidak datang bulan kan?” Sana menggeleng dengan polos. “Belum, mungkin sebentar lagi.
Rafa mencoba membuka sebuah pintu apartemen. Ternyata bisa. “Keamanan di sini benar-benar lemah. Aku harus memperbaikinya.” Rafa mengedarkan pandangannya. “Aku harus mencari tahu siapa pemilik gedungnya. Pasti gedung ini murah karena sudah tua. Aku akan membelinya dan memperbaikinya.” Setelah berpikir untuk membeli gedung ini, ia melangkah masuk. “Sana,” panggilnya. Ia mencari keberadaan Sana pada sebuah pintu yang sedikit terbuka. Setelah membukanya, ia menemukan seorang wanita yang tengah meringkuk di atas kasur. “Sana,” panggilnya. Rafa mendekat—memeriksa suhu tubuh wanita itu. “Dia demam.” “Sana.” Rafa mengusap pipi Sana, namun justru ditanggapi wanita itu dengan semakin nyaman tidur.“Biarkan aku tidur. Aku sangat mengantuk. Dari tadi aku tidak bisa tidur karena perutku sangat sakit.” Sana mengarahkan tangan Rara ke perutnya. “Di sini, sangat sakit. Aku ingin tidur sebentar.” Rafa mengusap perut Sana perlahan. “Ayo ke rumah sakit.” Atas paksaan Rafa, Sana mau ke rumah sakit
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert