“Seperti kata Hakim, aku ayah kandung Rafa. Aku bebas menemuinya kapan saja,” ucap Hardin. “Aku tidak akan merebutnya darimu.”“Aku tidak akan membatasimu bertemu dengan Rafa.” Amel menghela nafas. “Bagaimanapun kau memang ayah kandungnya. Namun, aku tidak memberimu ijin seandainya kau ingin membawa Rafa untuk menginap, meskipun hanya satu hari.” Hardin mengernyit. “Aku hanya ingin bersama anakku. Hitungang satu hari itu sangat sedikit. Aku sudah bilang tidak akan merebutnya darimu, Amelia Putri.” “Tetap saja aku tidak bisa memberikanmu ijin. Aku tidak ingin kau membawa Rafa menginap. Dia masih terlalu kecil.” Hardin menghela nafas frustasi. “Aku tidak mungkin menjahati anakku sendiri. Rafa tidak akan disakiti Ahsley, karena aku sudah bercerai dengannya. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Rafa aman bersamaku.” Amel menggeleng. Jemarinya mencari pelindungnya. Sampai ia berhasil menggenggam tangan Andres. “Aku tidak mengijinkanmu membawa Rafa. Jika kau ingin mengajaknya menginap,
Amel terdiam. Kemudian menoleh pada Andres. Gelengan pria itu bermaksud agar dirinya tidak marah. “Tidak.” Amel tersenyum. “Mom sudah berjanji tidak akan melarang kamu bertemu dengan ayah kamu saat semuanya sudah selesai. Kalian boleh bermain, tapi tidak boleh menginap. Mom tidak mau kamu tinggal.” Amel mengerucutkan bibirnya. “Jadi waktu kalian bermain tidak boleh sampai melewati malam.” Rafa mengangguk. “Mom menepati janji.” “Harus. Kalau sudah berjanji harus ditepati. Mangkanya jangan sembarangan berjanji,” balas Amel. “Mom. Aku berjanji pada Sana saat nanti sudah dewasa aku akan menikahinya. Seperti Mom dan Dad,” ujar polos bocah itu. Seketika Amel menepuk dahinya. “Aduuuuh….” Ia menggeleng pelan. “Jangan janji sembarangan oke? Perjalanan kamu masih panjang.” Andres yang berada di belakang mereka tertawa. “Rafa jangan terburu-buru memilih perempuan. Saat kamu sudah dewasa, ada banyak gadis cantik yang membuat kamu bingung. Tapi jangan kawatir, Dad akan membantu kamu memilih
Amel sudah berkali-kali melepas dan memakai Lingerie pembeliannya. Namun entah kenapa saat sudah melekat di tubuhnya, malah terlihat aneh dan begitu memalukkan. Amel masih menggunakan Lingerie berwarna hitam. Ia menatap pantulan dirinya. “Aku tidak bisa…” lirihnya. DRRRRT.Dering ponselnya yang berbunyi membuatnya cepat-cepat melihat ponselnya. Amel segera mengangkat panggilan dari suaminya. “Babe aku pulang larut malam ini.” “Pulang jam berapa?” tanya Amel. “Jam 8.” Amel mengangguk. “Nanti aku akan ke sana. Aku akan membawa makanan.” Jam 8 bukanlah jam hitungan lembur bagi Amel. Dia pernah lembur sampai jam 2 pagi di kantor. Namun ia hapal sekali, Andres itu tidak akan tahan lembur lama-lama. “Benarkah?” terdengar nada suara yang antusias. “Aku menunggumu.” Amel tersenyum. “Aku akan memasak makanan yang paling enak, jangan kawatir.”“Meskipun makanan kamu asin, aku tetap suka.” Amel mengangguk pelan. “Oh jadi menurut kamu masakanku asin dan tidak enak?” “Bukan itu, Babe.”
Langkahnya yang begitu cepat sehingga langsung memeluk tubuh Amel. “Aku sangat lelah hari ini.” Amel tersenyum. Mengusap pelan punggung yang sudah menjadi tulang punggung keluarganya ini. “Apa pekerjaan kamu sangat banyak?” tanya Amel. Andres mengangguk tanpa melepaskan pelukannya. Ia menghirup aroma Amel yang paling ia sukai. “Lapar tidak? Aku bawa makanan.” Amel melepaskan pelukan mereka. Mengambil duduk di sebuah sofa dekat meja kerja Andres. “Sebentar aku harus menyelesaikannya dulu.” Andres kembali duduk di kursinya. Kemblai menyentuh dokumen-dokumen itu. Pria itu terliha sangat serius memeriksa setiap dokumen. Katanya cepat, tapi Amel menunggu Andres hampir 30 menit lamanya. “Kamu sudah lapar?” Andres mengangguk. “Sudah. Tapi aku harus menyelesaikan ini dulu.” “Aku akan menyuapi kamu.” Amel mendekat. Menarik kursi lain agar lebih dekat dengan suaminya itu. Ia mengambil satu suapan kemudian mengarahkannya pada bibir Andres. “Aaaa.” Tanpa suara Andres menerima suapan perta
21++ Amel sedang bingung. Ia mondar-mandir tidak jelas memikirkan apa yang ia lakukan selanjutnya. “Aku harus bagaimana?” menggigit bibirnya. “Aku ingin sekali menyenangkannya tapi di sisi lain aku sangat malu.” Sampai melompat-lompat kecil tidak kuasa menahan kegugupannya.Gemricik di kamar mandi sudah tidak terdengar. Artinya Andres sudah selesai. Pria itu keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. “Babe kamu kembali ke kamar mandi sebentar.” Amel segera mendorong tubuh Andres kembali ke kamar mandi. “Kena—” belum selesai Amel lebih dulu mengurungnya di dalam kamar mandi. Mentutup pintu dengan rapat. “Tunggu sebentar!” Andres yang berada di dalam sangat kebingungan. “Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Ia mengernyit. Mendadak kawatir jangan-jangan ada yang tidak beres dengan istrinya. “Apa dia baik-baik saja?” Andres menekan gagang pintu. “Sayaang apa kamu baik-baik saja?” tanya Andres yang tidak mendapat balasan dari Amel. “Babe jawab aku.” Andres
“Andres…” Suara Amel yang semakin parau tidak bisa di kendalikan. Ia tahu di lantai ini hanya ada ruangan Andres. Tidak mungkin ada orang lain yang akan mendengar perbuatan mereka. Jika mendengar maka orang itulah yang salah. “Bersama babe…” Andres menghentak semakin dalam sampai mereka sampai di puncak bersamaan. Ia memeluk tubuh Amel dari belakang dengan erat. “Aku mencintaimu.” Amel mengusap wajahnya yang berkeringat banyak. Belum sempat membalas perkataan Andres, tubuhnya lebih dulu melayang. Andres menggendong Amel ala bridal style. Masuk ke dalam ruangan tersembunyi yang ada di ruangan Andres. “Aku baru tahu ada ruangan lain,” ucap Amel. Ruangan tersembunyi yang ada di balik ruangan. Kamar yang hanya diisi oleh kasur dan sofa. Di samping ada sebuah jendela kaca yang besar, menampilkan pemandangan luar yang begitu cantik. “Baru aku buat.” Andres kembali menindih tubuh Amel. “Maksud—” Amel kembali terserentak saat pria itu kembali menyatukan miliknya. “Andres pelan-pelan…” Am
2 bulan berlalu. Amel memutuskan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Ia ingin mengurus suami dan anaknya sendiri. Tidak ada rutinitas yang spesial. Ia hanya melakukan kegiatan yang sama berulang. Pagi ini ia harus mengantar Rafa ke sekolah sendiri. Namun setelah memastikan Rafa masuk ke dalam sekolah dengan aman, ia menepikan mobilnya sejenak. Rasa mualnya benar-benar kuat. Ia menarik nafas beberapa kali. “Aku sangat mual.” Amel membuka seluruh jendela mobilnya. Ia pikir barangkali mencium udara luar akan membuat mualnya menghilang. tapi—ia salah memilih tempat. Tepat di samping mobilnya adalah tempat sampah. “Ada apa denganku?” Amel kembali menyetir mobilnya. Rasa mual yang masih dirasakanya, membuatnya terpaksa harus menepikan mobilnya kembali. Turun dari mobil dengan segera. “Hueek!” Amel berakhir memuntahkan isi perutnya ke pinggiran. “Hueeek!” kali ini begitu mual sampai membuat badannya lemas. Mengusap bibirnya menggunakan tisu. Drrrrrtt! Amel merogoh ponselnya. “Kamu
Entah berapa banyak tes pack yang ia gunakan. Amel masih tidak terlalu percaya dengan apa yang dia lihat. Semua tes pack yang ia gunakan menunjukkan garis dua. Artinya dirinya memang sedang hamil. “Baik-baik ya, di perut Mom.” Amel mengusap pelan perutnya. “Nanti Mom akan memberikan Dad kejutan.” Amel tersenyum dengan bahagia. ~~Tidak biasanya bagi seorang pria pulang begitu larut. Pakaiannya benar-benar kusut dan berantakan. Andres baru saja memarkirkan mobilnya. Ia berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Ingin rasanya cepat-cepat pergi ke kasur dan memeluk istrinya. Ia mengernyit melihat rumah yang begitu gelap. Tidak lampu satupun yang menyala. “Tidak mati lampu.” Jika dipikir lagi tidak masuk akal. Mansions tidak mungkin kekuarangan listrik. “Amel!” teriak Andres. “Rafaaaa!” Andres meletakkan tasnya segera. “Kalian di mana?” mendadak kawatir dengan keadaan yang begitu membingungkan. “Amel Rafa!” Belum sempat naik ke atas. Andres lebih dulu berhenti. Di sana Amel sedang berjal
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert