“Mom kenapa Dad tidak ikut?” tanya Rafa. Mereka sudah berada di dalam pesawat. Amel memutuskan untuk pergi. Lagi-lagi ia melarikan diri. “Tidak. Dad ada urusan.” Amel mengusap pelan puncak kepala Rafa. Setiap keputusan yang ia ambil adalah jalan yang terbaik. Ia tidak ingin membebani siapapun meskipun ia mencintai Andres. Ketika perasaannya yang perlahan berubah. Amel tidak melewatkan sedikitpun setiap debaran di jantungnya, setiap adrenalinnya yang terpacu ketika bersama Andres. Ia menatap ke samping. Jendela pesawat yang kini menampilkan pemandangan langit. Ia harap dengan pergi, orang-orang disekitarnya bisa hidup dengan lebih bahagia dan damai. “Mom aku ngantuk.” Rafa bersandar di bahu Amel. Amel mengusap air matanya yang terus saja mengalir dengan deras. Dengan pilihannya yang memilih pergi. Ini artinya ia menutup semua tentang Andres atau apapun yang berhubungan dengan pria itu. ~~Andres yang berkali-kali mencoba menghubungi Amel. Sayang sekali panggilannya tidak terjawab
“Bagaimana bisa dia meninggalkan pria tampan dan sempurna sepertimu?” wanita itu dengan lancang merangkul lengan Andres. “Lupakan saja wanita seperti itu. Lebih baik cari wanita lain saja yang lebih darinya.” Andres tertawa pelan. “Perkataanmu sama dengannya. Dia juga menyuruhku mencari perempuan yang lebih baiak darinya. Tapi—” Andres menggeleng. “Dia perempuan paling baik yang pernah aku kenal.” “Aku juga wanita baik, Sir.” Wanita itu semakin lancang saja. setelah merangul lengan, kini beralih mengusap rahang Andres. “Tapi mungkin aku sedikit nakal darinya. Aku juga bisa melakukan apa saja untukmu.” Andres menatap wanita itu. Entah kenapa ia melihat wajah Amel berada di depannya. “Amel.” “Panggil aku sesukamu, Sir.” Wanita itu tersenyum menggoda. Kini semakin berani dengan mengalunkan kedua tangannya di leher Andres. “Bagaimana kalau kita bersenang-senang malam ini?” “Bersenang-senang?” Andres dengan mata yang setengah tertutup. Kesadarannya mulai hilang. Andres bahkan sulit me
“Andres tidak habis pikir dengannya. Dia selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.” Andres mengusap wajahnya kasar. Ia turun dari ranjang dan mendekati Isabel. “Mom, Andres tidak ingin putus dari Amel….” rengeknya seperti anak kecil. “Apa Mom berpikir Amel membuat nama keluarga kita jelek?” Isabel mendorong tubuh anaknya yang besar itu. “Hentikan. Jangan merengek!” “Mom…” Andres mulai kesal dengan Isabel yang selalu memarahinya. “Nama keluarga kita tidak akan ikut jelek hanya karena masa lalu Amel. Masa lalu Amel hanya seputar cinta. Dia tidak pernah melakukan kejahatan, dia tidak melukai orang lain. Nama keluarga ditentukan dari sikap bukan kekayaan apalagi hanya karena gosip masa lalu seperti itu.” Isabel menghela nafas. “Kamu tidak merasa janggal dengan semua ini?” tanya Emanuel yang ikut dalam pembicaraan mereka. “Bertubi-tubi berita tentang Amel muncul ke publik. Dan itu hanya seputar masa lalu Amel. Kisah cinta yang lumayan rumit. Tapi itu menjadikan Amel
“Kau yang menyebarkan berita itu?” tuduh seorang perempuan pada seorang wanita yang tengah hamil. “Kau yang menyebarkan rumor-rumor murahan seperti itu?” Caitlin yang tidak bisa mengatur emosinya lagi. Bahkan ia tidak peduli dengan keadaan Annie yang tengah berbadan dua. Tidak ada orang lain yang mengetahui masa lalu Amel selain mereka berdua. “Aku tidak menyebarkannya,” balas Annie. “Aku tidak tahu apa maksudmu.” Caitlin berdecih. “Tidak usah berpura-pura denganku, An. Aku tahu kau banyak berubah. Kau menjadi wanita kelas atas. Aku mengerti kau tidak ingin mengenal dan bertemu dengan kita lagi. Aku juga mengerti jika kau sedang membangun koneksi dengan wanita-wanita sosialita itu. Tapi kau—” Caitlin menatap Annie dengan sorot kebencian. “Kau menjual temanmu sendiri. Katakan padaku, kau disuruh siapa? Hardin? Ashley?” Annie menggeleng. Raut wajahnya yang semula polos kini berubah menjadi menyeringai. “Kau cepat juga.” “Jika kau tidak ingin berteman denganku dan Amel lagi, tidak m
Dua minggu kemudian. “Perang akan dimulai.” Steven mengambil sebuah dokumen yang baru saja sampai di depan rumahnya. Sebuah dokumen yang berisikan penuntutan hak asuh Rafael. “Amel, Dad akan menyiapkan segala keperluan kamu untuk maju ke persidangan. Jangan sampai kita kalah dari mereka.” Steven mengusap bahu Amel pelan. “Jangan terlalu dipikirkan, Dad dan Mom akan berusaha semaksimal mungkin mencari pengacara yang terbaik.” “Kita akan ke Aussie?” Amel yang masih kebingungan dengan semua ini. Tiba-tiba saja dalam pelariannya, ia mendapat surat seperti ini. Apalagi hukum yang akan dijalaninya adalah hukum negara Aussie. “Benar. Tapi tenang saja. Dad akan mengusahakan. Dad akan menggunakan koneksi Dad mencari pengacara yang paling bagus.” Amel mengangguk. “Pertama-tama kita memang harus mencari pengacara yang paling bagus.” Mengingat betapa berpengaruhnya StayVic di Aussie, ada keraguan yang tiba-tiba muncul pada diri Amel. Akan sulit menemukan seorang pengacara yang akan berpihak
Upaya mediasi untuk menyelesaikan perseteruan pengambilan hak asuh anak tidak membuahkan hasil. Akhirnya penuntutan hak asuh anak sampai di meja persidangan. Amel duduk dengan tenang. Semua orang yang disayang dan dibencinya di dalam satu ruang. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana pengacara Hardin yang berteriak menginginkan hak asuh Rafael. Ia tidak akan melupakan wajah Hardin yang arogan itu meminta putranya. “Saya sehat, saya seorang arsitek dan saya mempunyai penghasilan tinggi. Saya tidak kekurangan apapun dalam mengasuh dan merawat Rafa. Saya seorang ibu mandiri yang bisa membagi waktu antara bekerja dan mengasuh anak. Jadi tidak ada alasan untuk menuduh saya tidak bisa mengurus anak saya.” “ijin bertanya yang mulia.” Pengacara Hardin mengangkat tangan. “Saya mencari tahu tentang anda, Nona Amel. Anda pernah pergi ke psikolong dan mengonsumsi obat depresan di waktu yang lama. Mengingat seorang yang mengalami depresi susah menangani diri sendiri bagaimana menangani seorang a
“Rafael mengandung darahku dan kau bilang aku orang asing? Rafael adalah anak kandungku. Aku ayahnya dan aku berhak merawatnya.” Hardin mendekat. “Berhentilah. Menyerahlah dan aku akan membuat kalian tetap bersama.” Amel memberi kode pada pengacaranya agar pergi dari sana. “Dengan cara? Kau akan berjanji lagi untuk menceraikan istrimu kemudian bersamaku dan Rafa?” tanya Amel. Ia benar-benar muak dengan janji Hardin. Dulu pria itu berjanji akan meninggalkan Ashley dan bersamanya. Tapi apa? Hardin hanyalah pria yang hanya beromong kosong. “Jika kau mau bersamaku. Aku berjanji akan membuat kita bertiga bersama. Aku akan meninggalkan semuanya untuk kalian.” Hardin mendekat lagi. Namun membuat Amel reflek mundur untuk menghindar. “Amel, aku masih sangat mencintaimu. Aku tahu aku egois karena dulu memutuskan hubungan denganmu begitu saja. Waktu itu aku benar-benar kebingungan dengan perasaanku. Tapi aku sungguh mencintaimu, dulu dan sekarang.” Hardin mencoba meraih tangan Amel, namun de
“Kenapa Mom?” tanya Rafa. “Kenapa aku selalu disembunyikan seperti ini?” bocah itu mungkin sangat lelah selalu disembunyikan dan dibawa lari oleh ibunya. Bahkan diajak berpindah-pindah. Amel memejamkan mata sebentar. “Sebentar, Mom mohon.” Amel menunduk. Mengambil tangan anaknya kemudian menggenggamnya. “Keadaan di luar sangat sulit. Mom mohon kamu tetap di sini. Ada banyak orang jahat di luar sana. Mom berjanji akan segera mengatasinya secepat mungkin.” “Jika di luar banyak orang jahat. Seharusnya Mom ikut bersembunyi di sini bersamaku. Jangan keluar Mom. Tetap di sini bersama Rafa.” Amel menggeleng. “Mom akan menghadapi penjahat itu. Mom akan memastikan penjahat itu segera pergi dan tidak akan menganggu kita lagi.” “Mom.” Rafa mendekat. “I love you, Mom.” Rafa memeluk ibunya. Bocah itu terlihat begitu menyayangi ibunya. “Setelah semuanya selesai, Rafa ingin melihat sunset di pantai dengan Mom dan Dad.” Amel ingin menangis. Dad yang dimaksud pasti Andres. Tentu saja ia tidak bis
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert