“Sana mau ikut?” tanya Rafa. Sana menggeleng. “Aku ada les melukis Rafa. Aku harus pulang. Kamu bisa pergi bersama ayah kamu.”“Benarkah?” tanya Rafa sekali lagi. Sesungguhnya bocah itu berharap Sana bisa ikut dengannya melihat indahnya sunset di pantai. Sana mengangguk. “Aku akan pergi sekarang. Sopirku pasti sudah datang.” Mengambil tasnya. “Sampai besok Rafa!” melambaikan tangan kemudian pergi menjauh. Rafa beralih menatap Hardin. “Tapi, Dad—” “Mom melarang kamu?” Rafa mengangguk. “Kata Mom tunggu waktu lebih baik. Nanti ada waktu sendiri untukku bermain dengan Dad. Tapi aku juga ingin ke pantai sambil bermain bola.” “Bagaimana kalau bermain sebentar saja di pantai. Setelah itu Dad akan mengantar kamu pulang.” Rafa mengangguk setuju.“Oke.” Hardin menggandeng tangan Rafa. “Kamu menyukai Sana?” “Iya,” jawab Rafa tanpa keraguan apalagi malu. “Dia cantik. Dia juga mau bermain denganku. Banyak teman di kelas yang tidak mau bermain denganku. Tapi Sana mendekatiku lebih dulu. Dia
“Rafa!” panggil Amel. “Kamu kejar Rafa. Aku yang akan berbicara dengannya.” Andres mendekat. Amel buru-buru mengejar Rafa. “Aku tidak punya urusan dengamu,” ujar Hardin yang hendak pergi. “Kau tahu ayahmu, Jackson Berneth baru saja bertemu denganku dan Amel. Dia bilang dia ingin merebut Rafa. Dia bahkan mengancam kami untuk menyerahkan Rafa padanya jika tidak ingin hal buruk terjadi.” Hardin mengernyit. “Dad melakukan itu?” “Sebelum kita menemuinya, dia bahkan menerosob masuk ke kantorku, ke ruangan Amel. Memaksa Amel agar mau berbicara dengannya.” Andres menaruh kedua tangannya ke dalam saku. “Bersikap baiklah pada Amel. Dia yang mengandung dan melahirkan anakmu. Jika keluargamu mengancamnya seperti ini. Aku tidak akan tinggal diam.” Andres mendekat. “Atau jangan-jangan kau dan orang tuamu sudah bekerja sama melakukannya?” “Tutup mulutmu sialan!” teriak Hardin. “Aku tidak tahu ayahku akan melakukannya. Aku tidak memberitahu pada siapapun mengenai Rafa. Aku tidak tahu darimana
“Selamat datang di rumah kami,” ujar Samuel menyambut seorang wanita. Ia terlihat senang dengan kehadiran wanita tersebut. Berbeda dengan sang istri yang nampak lebih murung. Yang ditampilkan hanyalah senyum yang dipaksakan. Annie sedang mengandung, namun tubuhnya masih terlihat kurus. Seperti kata dokter, ia terlalu banyak pikiran sehingga membuatnya stres dan menjadi tidak nafsu makan. “Aku senang bisa ke sini. Aku ingin bertemu dengan istrimu yang katanya sedang hamil. Aku membawakan beberapa hadiah untuk kalian.” Ashley menunjuk mobil. Di sana berisi barang-barang yang telah ia beli untuk Annie. Annie tersenyum. “Terima kasih.” Ashley tidak bisa berbasa-basi. Ia menatap Annie dengan keseriusannya. “Aku ingin berbicara denganmu.” Annie meremas kedua tangannya. Ia menatap suaminya. Sayang sekali Samuel tidak menyadari jika Annie sedang meminta bantuan. Annie yang menampilkan raut memelas tidak dihiraukan. Di sebuah ruang yang tertutup. Hanya ada Ashley dan Annie. “Langsung s
“Aku harus mengangkatnya dulu.” Andres mencoba melepaskan tangan Amel dari perutnya. Amel menggeleng. “Enggak mau,” jawabnya sambil merengek. Andres menghela nafas. Ia terpaksa membalikkan badan dengan kecepatan kilat mengangkat tubuh Amel dan menundudukkan di atas pantry. “Agar tidak mengangguku,” ucapnya sambil tersenyum. Amel mengerucutkan bibirnya. “Sorry,” ujarnya. “Kenapa?” “Aku bilang kamu calon suamiku.” Amel menunduk. “Aku bilang supaya pria itu tahu dengan jelas hubungan kita.” Andres mendekat. “Aku senang kamu bilang seperti itu. Itu artinya kamu mengharapkan aku menjadi suami kamu. Aku tidak keberatan, aku sangat senang.” Andres mengusap pinggang Amel. “Apa kamu tidak ingin menjadi istriku?” Amel menggeleng. “Tentu saja aku mau.” Lalu segera menutup bibirnya yang keceplosan. “Maksudku—” dadanya berdegup dengan kencang saat Andres mengecup bibirnya. “Aku tahu. Kamu sudah menerimaku sepenuhnya.” Andres mengambil kedua tangan Amel. “Aku jadi ingin cepat menikahimu. Ba
“Andres Gabrio yang sudah tiga tahun pensiun dari dunia hiburan kini dirumorkan menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang sudah memiliki anak. Perempuan yang diketahui namanya Amelia Putri itu juga bekerja di GA, yang mana perusahaan milik Andres.” “Rumor mereka berdua menyebar sejak beberapa foto kebersamaan mereka tersebar. Diketahui juga keluarga Andres nampak mengenal Amel beserta anaknya.”“Lalu pertanyaan lain muncul, apakah anak tersebut anak Andres dan Amel yang dirahasiakan dari publik?” Seorang pembaca berita gosip membaca dengan lancar. Di layar yang menampilkan foto-foto kebersamaan Amel dan Andres. Wajah mereka tidak ditutupi apapun, sedangkan seluruh wajah Rafa diblur. Hanya dalam kurun beberapa menit saja, berita skandal Amel dan Andres memenuhi seluruh portal berita. Menjadikan peringkat nomor satu dari daftar pencarian. Seluruh orang di Negeri membicarakan mereka berdua. “Sialan,” umpat Andres. Kebetulan sekali pagi ini ia menyalakan Televisi dan membiarkann
Setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh Amel. Andres buru-buru kembali. Ia menundukkan topinya agar wajahnya tidak bisa dikenali orang lain. “Sialan, kenapa aku jadi artis dulu. Seharusnya dari dulu langsung jadi CEO saja. kehidupanku banyak terekspos karena aku terkenal,” omel Andres tidak ada hentinya. “Kasihan Amel. Aku yang terkenal, dia yang terseret.” Ia buru-buru kembali ke Apartemen Amel. Membuka pintu dengan tergesa. Ia berhenti saat melihat Amel yang tengah menunduk. Dua kantung kresek besar yang dibawanya terjatuh begitu saja. “Kamu—” Andres mendekat. Ia berjongkok. “Kamu baik-baik saja?” menangkup wajah Amel. “Kenapa tidak memberitahuku?” Amel mendongak dengan wajah yang sudah dipenuhi dengan air mata. “Aku tidak ingin kamu—” “Aku harus tahu. Aku harus menghadapi semuanya.” Amel menghela nafas. “Semua orang kini tahu, semua orang membicarakanku dan Rafa. Dan sekarang, seluruh keluargaku sudah tahu tentang Rafa.” Andres mengambil tangan Amel. “Semua salahku. Aku
“Mom menangis?” Rafa melihat Amel yang masih sesak dengan tangisannya. “Mom kenapa?” bocah itu mendekat memeluk Amel dengan erat. “Mom jangan menangis. Rafa juga ikut sedih jika Mom sedih.” Amel menggenggam erat ponselnya. Masa lalunya yang terus diumbar di media sosial. Membuatnya benar-benar malu. Seperti ditelanjangi di depan banyak orang. Amel sesak dengan tangisnya sendiri. Apalagi dengan usapan tangan mungil di bahunya membuatnya kian tidak bisa berhenti menangis. Rafa yang setia memeluk ibunya dan mengusap bahu Amel pelan. Bocah itu seakan ingin menjadi penenang untuk ibunya. Amel mendongak. “Mom mohon buat kamu jangan keluar rumah dulu. Bermain di rumah saja oke?” Rafa dengan patuh mengangguk. “Mom sakit?” “Mom tidak sakit. Ada urusan dewasa yang membuat Mom menangis.” Amel mengusap air matanya. Ia menangkup wajah Rafa. “Jangan bersedih. Mom baik-baik saja. Hanya saja untuk ke depannya, mom mohon untuk kamu. Menurutlah pada Mom. Jangan melawan segala perintah Mom.” Rafa
21++“Aku menjalin hubungan dengannya saat aku sudah putus dengan Hardin. Aku diam-diam menjalin hubungan dengan Daniel tanpa sepengetahuan orang tuaku. Tapi di saat aku menjalin hubungan dengan Daniel, aku belum benar-benar melupakan Hardin.” “Di waktu yang bersamaan, aku berhubungan dengan dua pria sekaligus. Aku menyukai Daniel, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa melupakan Hardin. Sampai akhirnya aku mengakhir hubungan dengan Daniel. Setelah itu aku menutup apapun tentang mereka berdua.” “Tapi di malam pernikahan Hardin dan Ashley. Aku melakukan kesalahan dengannya. Itu adalah kali pertamaku. Dan aku tidak tahu dari kejadian itu akan membuatku hamil. Aku pergi ke sini sebelum aku tahu aku hamil.”Amel ingin meraih tangan Andres dan menggenggamnya. Namun ia menahan dirinya sebisa mungkin. “Setelah aku memberitahumu semuanya, aku harap mata dan hati kamu lebih terbuka. Aku bukan perempuan baik-baik. Kamu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku.”“Jika kamu memaksa
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert