“Aku?” Rafa menunjuk dirinya sendiri. “Aku hanya ada satu di dunia, aku tidak punya saudara. Aku juga tidak punya ayah asli.” Hardin mengerjap. “Hei…” ia berjongkok. “Kata siapa? Kau pasti punya. Setiap orang di dunia ini pasti punya ayah asli.” Rafa menggeleng. “Tapi Mom tidak mau memberitahuku.” Hardin terdiam sebentar. Ia semakin yakin Rafael adalah anaknya. “Nanti akan diberi tahu. Maka dari itu jangan nakal.” Rafa meloncat dari ayunan. “Sama saja dengan Mom.” “Mau ke mana?” Hardin mengejar Rafa yang telah berjalan. “Ikut uncle, uncle akan mengantar kamu.” “Uncle orang asing. aku tidka boleh percaya begitu saja pada orang asing.” Hardin mencoba memutar otaknya agar bisa mendekati Rafa. “Tapi aku sudah menganggapmu sebagai temanku. Aku tidak bisa membiarkan temanku pulang sendiri. aku harus mengantarnya sampai rumah dengan selamat.” Akhirnya Rafa berhenti. Ia menoleh ke belakang sebentar. “Yasudah ayo antar aku!” ujarnya sedikit berteriak. “Baik tuan raja.” Hardin terseny
Rafa mendongak. “Dengan uncle yang pernah Rafa temui.” “Maksud kamu, uncle yang berada di pesta pernikahan aunty Ann?” Rafa mengangguk. “Rafa….” Amel mengusap wajahnya dengan frustasi. “Berapa kali Mom bilang jangan bergaul dengan orang sembarangan. Dia orang asing—bisa saja nanti berbuat jahat pada kamu. Sekarang dia tahu tempat tinggal kita. Bagaimana jika dia berencana berbuat jahat?” Bukan meracuni anak berpikiran buruk pada orang. Amel hanya waspada. Kejahatan bisa ada di mana saja. Ia berusaha melindungi anak dan dirinya sendiri. “Tapi dia terlihat baik—” “Meskipun terlihat baik.” Amel menghela nafas. “Kamu tidak bisa menilai orang baik atau buruk dari sekali atau dua kali bertemu.” Amel memegang bahu Rafa. “Mulai sekarang, jangan temui uncle itu lagi. Mom tidak ingin mendengar kamu bersamanya, atau sekedar berbicara. Mom akan mengantar dan menjemput kamu tepat waktu. Bermainlah dengan teman-teman seusia kamu. Mom tidak akan melarang kamu bermain dengan anak laki-kaki ata
Amel menjauh. Ia membalikkan badan memunggungi Andres. “Aku hanya—” tidak ada yang salah dengan Andres. FA dan StayVic adalah perusahaan besar. Andres juga tidak tahu masa lalunya seperti apa. “Katakan padaku.” Andres mendekat. “Kenapa kau seperti ini.” Amel membalikkan badan. “Andres ada banyak yang ingin aku katakan padamu. Namun setelah aku katakan, semuanya tidak ada yang berubah.” Andres mengambil kedua tangan Amel. “Katakan padaku. Percayalah padaku, Amel.” TOK TOK Seketika genggaman tangan di antara mereka terlepas. Lebih tepatnya, Amel yang melepaskan tangan mereka. “Masuk!” “Maaf mengganggu.” Sekretaris Andres sudah masuk. “Sir, ada dokumen yang harus segera anda tandangani.” Andres segera menandangani dokumen itu setelah membacanya. “Ini.” Setelah Sekretaris Andres pergi. Amel menghela nafas dalam. “Sebaiknya kita berbicara besok saja.” “Jangan.” Andres memegang bahu Amel. “Jangan menahannya. Aku tidak ingin melihatmu terus gelisah. Katakan padaku sekarang.” “Kita
“Kau membuatku takut.” Andres mengernyit. Amel merasa lucu. Dulu ia sangat enggan membebani Andres karena menganggap pria itu tidak dewasa. Namun sekarang, ia malah bersandar pada pria itu. “Hentikan,” ujar Andres yang tertawa semakin kencang. Ia tidak bisa menahan tangannya untuk menggelitiki pinggang Amel. “Jangan membuatku takut.” “Iya-iya.” Amel mengusap air matanya sendiri. “Akhirnya aku bisa bersandar pada pria ini.” “Oh kau baru sadar aku adalah pria yang bisa diandalkan..” Andres menyipitkan mata. Ia menarik pinggang Amel hingga tubuh keduanya saling bersentuhan. “Kau ingin tahu seberapa dewasanya aku?” tanya Andres tepat di samping telinga Amel. Hembusan nafas dan gaya berbicara pria ini begitu seksi. Amel sampai merinding. Kedua tangan Andres sudah mendarat di pinggangnya. Jarak mereka begitu dekat. Bahkan desahan nafas mereka saling terdengar satu sama lain. “Bagaimana? Ingin kutunjukkan?” Amel tersenyum menantang. “Bagaimana?” Tanpa menunggu waktu lama lagi. Andre
Di dalam sebuah ruang rapat masih ramai dengan perbincangan serius antara dua belah pihak. Hardin menatap sebuah lembar kertas yang berisi daftar arsitek di GA yang akan ikut serta dalam proyek kerja sama ini. “Ada yang ingin aku tanyakan.” Hardin menutup dokumen itu. “Apa anda sudah mengerahkan seluruh arsitek terbaik yang dimiliki oleh GA?” Andres mengangguk. “Ya. Di dalam daftar yang sudah saya serahkan adalah arsitek terbaik yang kami miliki. Namun—ada satu arsitek yang tidak bisa mengikuti proyek ini karena telah memiliki proyek lain.” Hardin tersenyum tipis. Ia sudah menduga sejak awal jika Amel dan Andres mempunyai hubungan. Jika Amel tidak ikut dalam proyek ini, dipastikan perempuann itu tahu kehadirannya di sini. “Jika anda tidak mengerahkan seluruh arsitek terbaik, anda sama saja menyepelekan proyek ini. StayVic dan FA bukan sembarangan perusahaan. Kami jauh-jauh ke sini untuk mendapatkan kerja sama yang terbaik. Kami jauh-jauh ke sini untuk mendapatkan arsitek terbaik.”
Andres ragu memberitahukan apa yang terjadi. “Lancar. Kau tidak akan ikut dalam proyek ini.” “Syukurlah.” “Aku boleh ke sana?” “Kenapa bertanya? Biasanya langsung ke sini.” “Sekarang aku ke rumahmu sebagai kekasihmu, bukan sahabatmu lagi,” balas Andres. “Mengerti?” “Hm mengerti, Sir.” Bersiap pulang. Andres merapikan penampilannya sebentar. Melihat pantulan dirinya di depan sebuah cermin. Jemarinya memegang dagunya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. “Aku tidak pernah merawat wajahku lagi semenjak pensiun jadi artis.” Andres mengambil tasnya. Membawanya santai dan berjalan keluar. Tidak membutuhkan waktu yang lama. Ia sudah sampai di sebuah gedung apartemen. Dengan langkah yang riang, ia langsung masuk. Tanpa menunggu Amel menjemputnya. Tanpa ia sadari. Ada seseorang yang memotretnya dari kejauhan. Ting ting! Ceklek “Kenapa tidak langsung masuk saja?” tanya Amel dengan pakaian rumahan. Ia terlihat santai dengan rambut yang dicepol ke atas. “Kenapa mukamu kusut sekali?”
“Mau merokok di balkon,” balas Andres. “Tinggalkan saja. Nanti aku akan membantumu.” “Tidak ikut mengacau saja sangat bersyukur aku.” Amel masih sibuk dengan kegiatannya. Andres ingin merokok di luar. Namun, melihat Amel yang bersusah payah membersihkan kekacauan membuatnya tidak tega. Alhasil ia menaruh lagi rokoknya ke atas meja. Ikut membatu Amel menaruh mainan ke dalam kotak penyimpanan. “Hentikan, kau pasti lelah.” Amel menangkap tangan Andres. “Kau lelah bekerja seharian. Merokoklah di balkon.” “Aku akan merokok saat sudah selesai.” Andres mengangkat kotak penyimpanan itu ke pinggir. Ada dua kotak besar yang semuanya berisi mainan. Semua mainan akan keluar dari tempatnya saat Rafa sedang bersemangat. “Sudah?” Andres sudah mengangkat kotak penyimpanan itu. “Sudah.” Amel mengusap keningnya berkeringat. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Nanti aku akan menyusul.” Amel bangkit. Hendak melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Kau akan ke mana?” “Aku ingin mandi.” Amel menciumi t
Rumah Amel seperti rumah ke dua bagi Andres. Banyak sekali barang-barangnya yang sengaja ditinggalkan di sini. Dari pakaian, jam tangan, sepatu, alat mandi sampai alat cukur sekalipun. “Tidak di sana!” Amel mengarahkan Andres. “Ya di samping.” Setelah menemukan apa yang dicari. Amel menangguk puas. “Bagus.” “Hari ini aku serahkan padamu.” Amel mulai melakukan tugasnya. Ia melakukannya dengan hati-hati. Adapun yang membuatnya goyah adalah perbuatan Andres yang suka tiba-tiba mencium pipinya. “Pipiku penuh dengan krim.” Amel mengerucutkan bibirnya. Benar saja, krim yang berada di dagu Andres berpindah tempat di pipinya. Itu karena ulah Andres yang menciumi pipinya. “Biar saja. Kau sangat lucu.” Andres tertawa pelan. Belum berhenti sampai di situ. Amel berkali-kali berdecak saat Andres mengusap pinggangnya. pasalnya sentuhan pria itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. “Bagaimana jika aku melukai dagumu?” “Biar saja.” Andres tertawa pelan melihat wajah Amel yang sudah kesal. “
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert