“Aku bingung. Banyak sekali jajanan.” Karina mengamati terlebih dahulu stand yang berjajar rapi itu. “Gorengan aja deh.” “Ayo.” Iqbal menarik lengan Karina. Tangan pria itu menggenggam pergelangan tangan Karina. “Mau apa lagi?” tanya Iqbal lagi saat mereka sudah membeli gorengan. Karina menjadi tidak enak karena Iqbal yang membayar. “Minum.” Karina menunjuk stand yang menjual es jeruk. “Di sana aja.” “Oke.” Lagi-lagi Iqbal yang membeli. Bahkan pria itu membawakan jajanan yang sudah dibeli. “Makasih.” Karina menoleh ke samping. “Sama-sama.” Mereka kini berjalan beriringan menuju panggung acara. “Ini pertama kalinya kamu datang ke acara seperti ini?” Iqbal membuka percakapan. Karina mengangguk. “Pertama kali ke acara yang benar-benar tradisional. Dulu sempat datang ke acara festival. Mirip seperti ini—bukan wayang tapi band.” “Oh di kota memang kebanyakan seperti itu.” Mereka duduk sedikit jauh dari panggung untuk menghindari kerumunan. “Kalau kamu?” tanya Karina. “Kamu sering
“Minggu besok aku akan menjemput kamu. Kita pergi ke tempat wisata yang aku maksud.” “Benarkah? Kamu sudah tidak sibuk?” tanya Karina. Ia langsung menghentikan putaran drama yang ditontonnya. “Hm. Sepertinya kamu menunggu ya?” “Enggak!” Karina menggeleng keras. Padahal sih iya—ia menunggu Iqbal mengajaknya. Jujur saja ia bosan di rumah dengan rutinitas yang sama. Bersih-bersih dan masak. “Iya kamu nunggu banget.” Iqbal malah semakin gencar menggodanya. “Ah gak jadi aja deh.” Karina mencebikkan bibirnya. “Bercanda. Harus jadi. Pokoknya aku jemput kamu, kita harus pergi. Titik!” “Iyaaa…” jawab Karina sengaja memanjangkan kata iya. “Sekarang aku mau lanjut kerja. Kamu lanjut nontonnya.” “Iya boss.” Karina tertawa pelan. ~~ Hari minggu telah tiba! Karina bersiap akan pergi. Mengenakan rok selutut dengan atasan kaos panjang. Menatap pantulan dirinya di depan cermin—sebuah make up tipis membalut wajahnya. Semua nampak sempurna. “Ke mana dia akan mengajakku?” Karina tersenyum. “K
Karina menyugar rambutnya yang terkena angin. Benar kata Iqbal, Sunset di sini sangat bagus. Matahari yang hampir terbenam tersebut membuat warna yang indah. Karina tersenyum—ia sampai tidak sadar jika Iqbal memotretnya beberapa kali dari samping. “Kamu suka?” tanya Iqbal. “Suka.” Karina tersenyum. “Terima kasih sudah mengajakku ke sini.” Mereka saling berpandang. Menyelami perasaan masing-masing. Jemari Iqbal terulur mengusap helaian rambut Karina yang sedikit berantakan. Kemudian mengusap pipi Karina dengan ibu jarinya. Karina hanya terhanyut—ia menikmat sentuhan jemari Iqbal di wajahnya. “Karina…” panggil Iqbal. “Aku—” menggeleng pelan. “Kamu sangat cantik.” Iqbal mendekat. Mengikis jarak di antara mereka. Iqbal memiringkan kepalanya dan menyatukan bibir mereka. Tidak menerima penolakan—Iqbal memangut lembut bibir Karina. Jelas sekali Karina juga menikmati. Ia memejamkan mata. Membalas setiap ciuman yang dilayangkan oleh pria muda itu. Kedua tangannya melingkar di leher Iqbal
Budhe berdiri. “Kamu harus ingat. Pria baik tidak datang berulang kali.” Karina menghela nafas dalam. Perkataan Budhe semakin membuat pikirannya gelisah. TING Ponsel Karina menyala. Sebuah pesan baru saja masuk. [Udah tidur?] tentu saja pesan dari Iqbal. Karina ponselnya. Milih telungkup sambil membalas pesan dari Iqbal. [Belum. Tapi ngantuk.] Tak lama, langsung mendapat balasan. [Langsung tidur aja ya. Jangan begadang. Besok aja nonton dramanya] Iqbal yang paling pengertian tentang hobi Karina yang tidak bermanfaat yaitu menonton drama sampai pagi. Karina tersenyum pelan. [Siap pak bos] “Ini apa?” gumam Karina. Sebuah notifikasi baru saja datang. [Paket internet 100 Gb telah aktif. Untuk terus berlangganan bisa ketik *37977#] “Aku gak beli kuota.” TING! [Udah masuk kan kuotanya? Pakai buat nonton drama besok. Jangan sekarang! Sekarang harus tidur!] “Yaampun.” Karina tidak bisa menahan senyumnya. Menurutnya yang dilakukan Iqbal lucu namun juga romantis. Meskipun sederhan
Malam mingguan Karina dan Iqbal adalah dengan pergi jalan-jalan ke Alun-alun kota. Membutuhkan waktu hampir 40 menit dari desa. Duduk di sebuah bangku yang disediakan. Di bawah lampu yang tidak begitu terang. “Bagaimana hari kamu?” Iqbal mengusap puncak kepala Karina. Karina tersenyum. “Sedikit membosankan. Tapi menyenangkan. Seperti biasa—berkat kamu yang membelikanku banyak kuota, aku menonton banyak drama.” Iqbal tertawa pelan. “Di rumah menonton drama lebih baik daripada keluar tidak jelas. Aku lebih suka kamu di rumah, daripada keluar.” “Maksud kamu?” Iqbal mengedikkan bahu. “Aku tidak suka dengan wanita yang banyak bicara. Apalagi suka bergosip seperti tetangga. Bukannya membatasi pergaulan kamu—tapi aku hanya tidak suka jika kamu bergaul dengan ibu-ibu penggosip seperti tetangga kamu.” “Jangan kawatir. Aku gak pernah bergaul dengan mereka. Aku sendiri malas berinteraksi dengan orang lain,” balas Karina. Ia sibuk membuka kotak martabak yang sudah dibeli. Menyuapkannya ke d
Iqbal sudah berjalan memutar, memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang. “Mau pulang atau makan?” “Tadi udah makan. Aku masih kenyang,” balas Karina. “Pulang aja ya.” “Oke.” Karina menoleh. Memperhatikan Iqbal yang sedang fokus menyetir. Ada hal yang masih mengganjal. Karina takut Iqbal akan marah mengetahui hal fatal tentang dirinya. Apalagi Iqbal yang sedari dulu hidup di desa. Tentunya dalam segi gaya hidup, mereka jauh berbeda. Karina hidup bebas sedangkan Iqbal yang hidup dengan segala aturan. “Kenapa kamu ngelihat aku kayak gitu?” tanya Iqbal sambil melirik sebentar Karina. “Iqbal kamu bisa minggirin dulu mobilnya? Aku mau bilang sesuatu.” Karina menunjuk pinggir jalan. Menuruti keinginan Karina. Iqbal menepikan mobilnya di bawah sebuah pohon. Di sana sepi—hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. Mungkin karena sudah larut malam juga. “Mau bilang apa hm?” Iqbal mengusap helaian rambut Karina. “Tentang tadi. Rasanya aku egois kalau kamu gak tahu tentang aku.” Karin
“Gak usah deh Budhe. Kayaknya nanti baikan.” Karina langsung meminum obat pemberian Budhe. Ia mengusap wajahnya yang berantakan dengan tisu. “Karina harus berdandan lagi.” “Yaudah budhe keluar.” Endang keluar dan memberikan Karina ruang sendiri. Karina menghela nafas dalam. Bukan hanya mual—ia juga merasa sedikit pusing. Jika tidak membaik setelah meminum obat ini, ia memang harus pergi ke dokter. Selama berada di rumah Iqbal, keluarga Iqbal menyambut Karina dengan hangat. Ibu Iqbal yang lembut dalam bertutur kata. Sedangkan Ayah Iqbal yang tegas dan sedikit menakutkan namun baik. Adik Iqbal yang masih bersekolah di SMA sangat cantik dan ramah. “Tante senang ada perempuan yang dibawa ke rumah sama Iqbal.” Ratih, ibu Iqbal. “Ibu harap kamu bisa memaklumi sikap Iqba yang kadang-kadang suka jahil.” “Itu sih bisa diatur, bund.” “Hussh nyaut aja kerjaan kamu,” balas Ratna pada sang putra. “Pernikahan kalian lebih cepat lebih baik,” ucap Indra, ayah Iqbal. “Bagaimana dengan orang tua
“Yasudah.” Iqbal mengusap puncak kepala Karina pelan. Ia melepas sabuk pengamannya. Mendekat—mencium kedua pipi Karina bergantian. Karina menatap Iqbal—ia tidak menahan dirinya untuk tidak mendekat. Kemudian mencuri ciuman singkat di bibir calon suaminya itu. “Hati-hati,” ucapnya pelan. Kemudian segera turun dari mobil. Iqbal tersenyum. Karina tidak pernah gagal membuatnya berbunga-bunga. Perutnya terasa diisi penuh oleh kupu-kupu. Hal yang tidak pernah ia dapatkan dari wanita selain Karina. Ya, hanya Karina yang mampu membuat Iqbal dimabuk cinta. ~~ Karina terduduk di lantai kamar mandi dengan lemas. Semua harapan masa depannya yang cerah bersama Iqbal harus luntur. Tes peck sebanyak 10 menunjukkan hal yang sama. Dua garis merah! Karina merasa dunianya hancur. Di saat ia membuka lembaran hidup baru dan memutuskan untuk pergi dari masa lalu untuk selamanya. Justru hadir janin yang membuatnya kembali masuk ke dalam kegelapan. “Kenapa aku ceroboh sekali.” Karina tidak berhenti me
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert