Karina menangis sesenggukan. Iqbal menarik Karina ke dalam pelukannya. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku? Aku bisa menemani kamu periksa. Aku tahu betapa takutnya kamu sampai tidak berani periksa ke dokter.” Karina semakin menangis di dalam pelukan Iqbal. Bagaimana bisa Iqbal bisa sebaik ini. Terbuat dari apa hati pria itu. “Jangan takut. Ada aku. Aku yang akan mengatasi semuanya,” bisik Iqbal semakin mengeratkan pelukannya. Iqbal melepas pelukannya. Menangkup wajah Karina menggunakan telapak tangannya. “Jangan beritahu siapapun. Biar jadi rahasia kita. Kamu mengerti?” Karina mengangguk pelan. “Iqbal tapi—” “Tidak-tidak. Jangan menolakku. Aku hanya ingin menikah dengan kamu.” Iqbal mengusap pipi Karina dengan ibu jarinya. “Stay with me, Karina. Aku butuh kamu terus di sampingku.” Iqbal mengantar Karina. Setelah kejadian tadi—mereka sama-sama diam. Iqbal yang menjadi diam. Karina yang tidak ingin membuka pembicaraan. Sepanjang perjalanan hanya diisi kesunyian. “Ingat apa kat
Karina kembali menangis. “Bahkan disaat masa terpurukku. Tidak ada orang yang menemaniku. Aku hanya punya diriku sendiri.” Karina berbaring—tidak mempedulikan selang infus di tangannya. Ceklek Tak lama Karina terpejam. Seorang pria datang. Iqbal datang dengan membawa sebungkus makanan kesukaan Karina yaitu martabak manis rasa cokelat dan kacang. Ia melangkah mendekat. Menaruh martabak itu ke atas nakas. “Karina,” panggilnya sangat pelan. Ia mengusap bahu Karina pelan. Iqbal memutar—ia menghadap wajah Karina yang sedang terpejam. Jejak air mata Karina masih terlihat. “Berapa lama kamu menangis?” Iqbal mengambil tisu. Mengusapnya perlahan di pipi Karina. “Maaf aku baru datang.” Mendekat—mengecup kedua pipi Karina bergantian. Karina bergerak—ia merasa ada orang yang mengusik tidurnya. Ia membuka mata. “Iqbal,” lirihnya. Iqbal tersenyum. “Tidur lagi aja.” Ia mengusap lembut puncak kepala Karina. Karina terdiam sesaat. “Pengen peluk…” ucapnya dengan manja. Iqbal lebih mendekatkan
“Tanpa kau suruh.” Saka menunjukkan sebuah berita yang baru saja ramai diperbincangkan. “Saka Ravindra berselingkuh dengan seorang wanita yang tidak diketahui identitasnya.” “Kita sama-sama berselingkuh.” Saka tertawa. “Kau bisa pergi tanpa membawa apapun dan aku bisa tenang karena hartaku masih menjadi milikku seutuhnya.” “Apa kau bilang? Kau akan membuatku dibenci oleh orang tuaku?” Saka berdecih. “Kau yang akan dibenci mereka. Karena kau menipu mereka dengan kehamilan palsumu yang bodoh itu.” “KENAPA MEMBUAT KERIBUTAN DI TEMPATKU?!” teriak Amar menggema. Ia maju—hendak melayangkan pukul pada Saka namun lebih dulu dihalangi oleh bodyguard. “APA-APAAN KALIAN?!” Saka berdecih pelan. “Tempatmu?” “Kau membuat keributan di kantorku. Ini bukan Delux, kau pergila dari sini!” “Hiduplah dengan pria miskin ini!” Saka melirik Aruna kemudian menunjuk Amar dengan dagunya. “Kau pasti tidak tahu. Perusahaan ini sudah dibawah kuasaku. Tentu saja aku akan memecatnya.” “OMONG KOSONG! SIALAN.
“Aku menemukan bukti itu sendiri. Jangan mengira kau bisa mengendalikanku. Aku tidak akan pernah membiarkanmu mengaturku.” Saka mendekat. “Aku beri satu pilihan yang bagus. Pergi saja dari hidupku. Jangan lagi ikut campur. Atau kau ingin menantangku dan aku akan menyebarkan aibmu ke semua orang.” Aruna mengepalkan kedua tangannya. Namun ia segera berlutut dan memeluk kaki Saka. “Aku mohon untuk kali ini saja jangan ceraikan aku. Aku akan benar-benar berubah menjadi istri yang baik. Aku juga tidak akan melarangmu berhubungan dengan siapapun.” Aruna masih memeluk kaki Saka. Ia mendongak. “Aku juga tidak akan mencampuri hidupmu. Aku tidak akan keberatan jika kau berhubungan dengan Karina. Pokoknya seperti dulu. Kita tidak akan mencampuri kehidupan masing-masing. Aku mohon beri aku kesempatan. Jangan ceraikan aku.” “Terlambat.” Suara Saka terdengar lebih dingin. Ia muak sekali dengan wanita penuh sandiwara seperti Aruna. “Pergi!” Saka menyempar Aruna. Ia berbalik. “Usir wanita itu. Ja
“Bukan seperti itu.” Bagas menghela nafas. “Apa kau tahu? Di mana aku bertemu dengan Karina?” Bagas tersenyum mengingat bagaimana pertemuannya dengan Karina. “Bukan dari Adel. Saya bertemu Karina dengan cara saya sendiri. Saya yang sering menyamar menjadi sopir taksi—sering mengantar Karina pulang.” “Setiap kali Karina masuk ke dalam mobil. Dia pasti menangis—sampai sesenggukan. Sampai membutuhkan banyak tisu untuk mengusap air matanya. Saya tidak tahu apa yang menjadikannya sampai menangis sampai seperti itu.” “Tapi sekarang saya tahu penyebab Karina menangis. Pasti karena bersamamu.” Bagas menatap Saka yang terlihat marah. “Dia sering menangis. Bahkan katanya sempat ingin menyerah. Tapi—saya memberitahunya untuk tetap bertahan. Bertahan untuk hal-hal yang membuatnya bahagia.” “Jika kau ingin Karina bertahan. Kau harus menjadi hal yang membuat Karina bahagia.” Bagas menatap sebuah dokumen yang tergeletak di atas meja. Dokumen itu adalah penawaran kerja sama dari Saka. “Aku menyam
“Mom sadarlah!” Saka memegang bahu Leona. “Jika Mom mau, aku akan menunjukkan kebusukan Aruna pada Mom. Aku tidak ingin melihat Mom terus membela wanita kotor itu!” “Lalu bagaimana dengan wanita simpanan kamu? Apa itu benar?” Saka terdiam sebentar. “Jangan membahasnya sekarang.” “Jawab mom, Saka!” “Iya. Aku memang menyukai wanita lain sebelum aku bercerai.” “Kamu tidak ada bedanya dengan Aruna!” hardik Leona. “Tidak ada gunanya selama ini Mom selaluu menasehati kamu. Memberikan perhatian pada kamu. Ternyata kamu juga sama saja dengan kebanyakan laki-laki di luar sana.” “Mom merasa gagal sebagai orang tua. Mom kecewa sama kamu, tapi lebih kecewa sama diri mom Sendiri.” Leona berjalan menjauh. Wanita itu masuk ke dalam kamar. Sedangkan Saka masih berdiri terdiam di tempatnya. Dering teleponnya membuatnya tersadar. “Hallo, dad.” “Bagaimana dengan Mommy kamu? Dad kawatir melihatnya terus-terusan menangis mendengar kabar perceraian kalian.” “Mom marah. Sekarang berada di kamar.”
Saka mengambil sebuah bolpoin. Ia tahu konsekuensi yang akan didapat. Jika dirinya menyia-nyiakan dan menyakiti Karina. Ia akan kehilangan wanita itu untuk selamanya. Ia menandatangani surat perjanjian itu tanpa ragu. “Sekarang katakan, di mana Karina berada?” “Karina ada di kampung halaman orang tuanya. Dia di sana bersama bibinya. Ada hal yang harus kau ketahui lagi.” Bagas menatap Saka. “Karina akan segera menikah.” ~~ H-10 pernikahan Karina dengan Iqbal. Akan dilaksanakan dengan meriah dengan menampilkan acara campursari. Semua masyarakat tentu saja antusias menyambut pernikahan salah satu perangkat desa yang terkenal baik dan tampan. Iqbal yang selam ini diidamkan banyak gadis di desa akan segera melepas lajangnya dengan seorang wanita cantik dari kota. Karina Leticia, bak seorang putri yang dilamar seorang pangeran dari kerajaan. Namun bukannya senang—sekarang Karina justru merasa bimbang. Dengan kehamilannya yang kian membesar—ada rasa bersalah yang kian memupuk. “Aku me
“Kenapa berpikir seperti itu?” Iqbal melepaskan pelukannya. Mengusap wajah Karina dengan jemarinya. “Tentu saja aku bisa menerimanya. Aku akan menggapnya seperti anakku sendiri.” “Iqbal..” lirih Karina ingin menangis. “Tidak masalah. Aku sungguh tidak keberatan dengan kehadiran bayi ini.” Tangan Iqbal mengusap perut Karina yang mulai membuncit. “Hai kamu. Jangan bersedih ya. Aku akan menjaga ibu kamu.” Karina terus berpikir bahwa semua ini salah. Namun ia tidak bisa menampik jika kehadiran Iqbal membuat hidupnya serasa lebih ringan. “Jangan menangis.” Iqbal mengusap pipi Karina yang basah. “Aku di sini.” Karina menganggguk. Kedua tangannya mengalun di leher Iqbal. Mengikis jarak di antara mereka berdua. Mengambil langkah lebih dulu untuk mencium Iqbal. Memejamkan mata sambil bergerak di atas bibir Iqbal. Iqbal mengusap pinggang Karina. Tentu saja ia membalas ciuman Karina dengan senang hati. Ia menarik tengkuk Karina untuk memperdalam permainan mereka. ~~ Bukannya langsung pu
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert