'Killian? Jadi, namanya adalah Killian?'
'Itu kamu, Kiska. Yang aku inginkan adalah kamu, bukan Ansia atau perempuan lain. Itu kamu. Selalu kamu. Dan akan selalu kamu.'
'Aku bisa berbohong soal apa pun, tapi aku tidak pernah berbohong soal perasaanku terhadapmu.'
'Queen, aku mencintaimu.'
Deg!
Selena mendadak terbangun.
Keringatnya membasah, napasnya pun memburu seolah dia baru saja berlari sangat jauh. Dia juga bisa merasakan betapa kencang detak jantungnya saat ini dan tenggorokannya pun tercekat.
Mimpi? Mimpikah itu? Namun, kenapa terasa sangat nyata?
Lagi pula, kenapa dia memimpikan Killian?
Ditambah lagi, di dalam mimpinya tadi, mereka berdua sedang berada di mana?
"Seperti sebuah villa," bisiknya, mencoba mengingat-ingat lagi detail mimpinya. "Villa yang berada di dekat
"Bangkrut?" Maria Harron bertanya dengan nada tidak percaya. "A—apa maksudmu? Ini— Tidak mungkin kan? Masa keluarga Harron bisa bangkrut? Tidak mungkin!" "Apa menurutmu aku hanya bercanda?" bentak Derrick. "Mengenai hal yang sepenting ini, apakah pantas kalau aku membuat lelucon?" "Tapi— tapi, bagaimana bisa? Mak—maksudku—" "Bisa dikata, kalau semua rekanan bisnis memutuskan hubungan kerja sama dengan perusahaan kita, sejak kasus mengenai Charlotte mencuat." Maria Harron tidak bisa berkata apa-apa, sebab dia sendiri pun terkena imbas dari ulah putrinya itu. Seluruh kenalan sosialita mengucilkan dan mencibirnya, bahkan dia sudah dikeluarkan dari banyak klub jet set dan juga berbagai kelompok arisan kalangan atas. Termasuk keluarga besarnya, yang juga ikut mencerca Maria habis-habisan dan menuding bahwa dia tidak bisa mendidik
"Kenapa dia belum sadar juga?""Mohon bersabar, Tuan Muda. Dokter Aiden dan dokter Sylvia sekarang masih memeriksa Nyonya Muda.""Tapi kenapa lama sekali? Memangnya, apa saja yang mereka lakukan di dalam sana?""Tuan Muda, tenanglah dulu.""Bagaimana aku bisa tenang kalau istriku masih belum sadar juga, Erick?"Suara teriakan Killian terdengar menggaung di koridor kediaman utama keluarga Ardhana, membuat segalanya seketika hening.Sepertinya merupakan keputusan tepat dengan menempatkan Erick untuk mendampingi Killian, sebab yang lain belum tentu bisa tabah dan tetap tenang menghadapi reaksi lelaki itu saat ini."Saya memahami kegelisahan Anda, Tuan Muda, tapi untuk sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu," ujar Erick dengan tingkat kesabaran yang sudah tidak perlu untuk diragukan lagi. "Tenanglah. Tidak akan ada yang ber
Ada banyak hal bahagia yang terjadi pada Killian keesokan harinya. Yang pertama, hasil tes DNA ulang Liliana sudah keluar, begitu pun milik Aila. Hasilnya positif. Ah, tentu saja hasilnya harus positif. Sebab kalau tidak, maka Aiden dan para tim tenaga medisnya harus terpaksa menghadapi lagi saat-saat yang mengerikan dan sungguh membuat trauma, saat mereka nyaris tidak tidur demi bisa memenuhi tenggat waktu yang tidak masuk akal yang dipaksakan oleh Killian. Jadi, hasilnya positif dan angka persentase yang diharapkan pun tercapai, yaitu 99,99% Liliana memang putrinya dan perempuan yang pernah bekerja sebagai sekretarisnya itu adalah betul istrinya. Syukurlah. Para tenaga medis itu sampai menangis dan berpelukan penuh haru ketika perjuangan mereka akhirnya berhasil. Bahkan Aiden p
Nyaris saja Killian terkena serangan jantung. Seseorang yang tadi mengendap-endap itu baru saja selangkah memasuki dapur, ketika dia langsung meringkusnya. Killian hampir membantingnya, sebelum akhirnya menyadari siapa orang yang coba dia ringkus. Dengan cepat Killian memutar posisi mereka, sehingga pada akhirnya dia sendirilah yang terbanting. Sementara, orang itu pun aman karena terjatuh di atas tubuhnya. "Kills!" seru Aila, terbelah antara rasa terkejut karena Killian yang tiba-tiba menyergap dan juga khawatir karena lelaki itu terjatuh dengan cukup keras. Ditambah lagi, dia yang sekarang terbaring di atas tubuh suaminya. "Kills, kamu tidak apa-apa?" Killian mengerang sesaat. Rasa sakit pada punggung memang dia rasakan, tapi itu bukan masalah baginya. Saat ini yang membuat jantungnya berpacu begitu kencang adalah kenyataan bahwa dia hampir saja membanting Aila. "Ya, Tuhan, Queen. Kamu membuatku terkejut!" serunya. "Bagaimana kalau tadi aku tidak sempat bereaksi dan benar-benar
Terdengar sebuah suara notifikasi. Ada sebuah pesan yang masuk dan Hugo sudah mengetahuinya, tapi lelaki itu tetap saja bergeming. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan dia belum juga tidur. Saat ini, ada begitu banyak hal yang sekarang memenuhi benaknya. "Lottie ...," bisiknya dengan nada mengeluh. Entah sudah berapa kali Hugo menghela napas berat. Semenjak menerima kabar soal hal yang terjadi saat acara pesta ulang tahun adik perempuannya itu, dia merasa seolah dadanya dipukul dengan begitu keras. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau adik perempuan satu-satunya yang begitu dia sayangi, ternyata sanggup melakukan hal yang bahkan tidak pernah Hugo perkirakan. "Ya, Tuhan. Maafkan aku karena tidak bisa menjadi Kakak yang baik." Mendesah, Hugo benar-benar merasakan beban yang semakin berat di dalam hatinya. "Kalau saja aku bisa berusaha lebih keras lagi, Lottie tidak akan melakukan hal semacam itu. Kalau saja aku bisa menjadi Kakak yang lebih baik lagi baginya. Ka
"Belum terlambat kalau kamu ingin kembali pulang, Queen."Selama beberapa saat, Aila menatap suaminya yang memasang ekspresi khawatir. Sejak tadi, Killian sudah berusaha melarangnya untuk ikut, tapi Aila tetap bersikeras."Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk menghadiri persidangan kali ini. Toh, hasilnya juga sudah dipastikan," lanjut Killian lagi.Mengulas senyuman, Aila masih berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahan hatinya. "Tidak apa, Kills. Mungkin saja kan, kalau nanti kehadiranku tiba-tiba dibutuhkan?""Aku sama sekali tidak suka karena kamu akan bertemu lagi dengan perempuan itu.""Kills, menurutmu apa yang mungkin saja bisa terjadi, meski kami bertemu nanti? Lagi pula, kami tidak mungkin bertemu berduaan saja kan? Toh, masih ada kamu dan juga yang lainnya, bahkan Ansia juga akan ada di sana."Killian tidak lagi menyahuti dan hanya menghela napas berat, sembari memalingkan wajah. Mau bagaimana pun, lelaki itu masih saja merasa cemas apabila Aila nanti bertemu dengan Cha
Persidangan kasus Charlotte Harron berjalan alot.Hal tersebut karena pihak terdakwa masih bersikeras bahwa dia tidak pernah memberikan perintah untuk mencelakakan Aila. Charlotte bersumpah bahwa dia hanya menyuruh Evan Aprisio untuk membuntuti menantu keluarga Ardhana tersebut."Saya hanya berniat baik," seru Charlotte. "Perempuan itu pergi meninggalkan rumah, sementara Ian kesulitan untuk bisa menemukannya. Jadi, saya hanya ingin membantu agar dia bisa ditemukan lebih cepat."Terdengar suara gebrakan keras ketika Killian sudah langsung berdiri dan nyaris beranjak. Kalau dari ekspresi wajahnya, lelaki itu terlihat seperti akan membantai Charlotte saat ini juga.Namun untunglah, Aila dengan cepat menahan suaminya. "Kills, tenanglah."Rasa-rasanya Killian ingin menyingkirkan tangan istrinya saja, agar bisa segera meloncat ke arah Charlotte.Bagaimana kalau dia mematahkan leher perempuan itu? Toh, hal tersebut sama sekali bukan hal yang sulit bagi Killian. Menggertakkan rahang, bahkan k
Ronald masih menunggu di dalam mobilnya, ketika hal itu terjadi. Sebuah motor sport berwarna hitam datang dengan tiba-tiba. Ronald masih bertanya-tanya, siapa yang datang terburu-buru seperti itu, ketika dia mendadak memiliki firasat tidak enak. Bukankah Andreas dan Selena sedang berada di areal pemakaman? Ditambah lagi, lelaki yang tadi datang dengan mengendarai motor sport tersebut, sekarang sudah langsung berlari masuk bahkan tanpa melepas helmnya. "Tuan Muda," bisiknya, bergegas hendak keluar mobil. "Gawat!" Namun baru saja dia sedikit membuka pintu mobil, ada seseorang yang langsung menendang pintu tersebut hingga membuatnya menutup kembali. "Diam saja di tempatmu, kalau masih ingin hidup." Mata Ronald melebar saat melihat siapa yang sudah menghalanginya. Seorang lelaki yang sudah berusia baya, tapi dengan perawakannya yang tegap serta ekspresi wajah yang tegas. "Tuan Erick," bisiknya. Kalau Erick ada di sini, berarti yang tadi baru saja datang dan langsung berlari masuk k
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida