"Aku tadi …." Tentu saja Arumi ragu-ragu akan mengatakan kalimatnya karena saat ini otaknya sedang berusaha secepat mungkin menyusun jawaban untuk pertanyaan Satria.Ketegangan di otaknya semakin bertambah ketika ia tak sengaja melihat tatapan aneh Kania yang kini tengah menyorot dirinya. 'Dia sedang berharap padaku atau sedang mengancamku,' batin Arumi yang sungguh makin tertekan."Sayang, katakan saja apa yang ingin kamu katakan. Jangan takut," ucap Satria dengan lembut.'Aku akan menendang kepalanya setelah mendapatkan bayaranku nanti,' geram Arumi sembari tersenyum paksa pada Satria.Kemudian Arumi pun menghela napas panjang, lalu menatap lurus ke arah kedua orang tua korban. "Maaf, jika Anda merasa saya kurang sopan. Tetapi, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan cedera ringan di kepala tentu saja jauh dari angka yang Anda sebutkan, Bu.""Memang cederanya ringan, tapi bisa saja itu menyebabkan cedera pada mental putri kami. Itu hal yang serius," sahut Ibu dari Sheril."Kalau be
Pekik Arumi ketika tiba-tiba Satria mencubit pinggangnya.Sontak saja semua orang yang tersisa di ruangan itu menatap ke arah Arumi dengan tanda tanya besar di wajah mereka."Maaf-maaf," ucap Arumi sembari tersenyum canggung pada Kania dan juga Guru BK yang kemudian mereka berdua langsung saling beradu tatap."Ehem!" Guru BK tersebut berdehem dengan cukup keras. "Kania, lain kali Bapak harap kamu bisa lebih bijak lagi dalam menyelesaikan masalah pribadi," tuturnya.Tangan Kania mengepal. 'Ini semua gara-gara Sheril. Beraninya dia menjebakku seperti ini, padahal aku sudah tulus membantunya,' batinnya yang benar-benar marah pada gadis yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya."Kenapa Kania? Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" tanya Guru BK sembari kembali melangkah ke arah meja kerjanya."Tidak ada, Pak," jawab Kania yang baru saja tersadar dari lamunannya. ."Bagus kalau begitu," sahut Guru BK dan kemudian menatap ke arah Satria dan Arumi bergantian. "Tolong, saya ingin bicara den
Setelah beberapa saat berbicara pada semua orang, kemudian Satria beralih pada Arumi yang sedari tadi mengacuhkannya dengan terus menata kue-kue di stand itu."Ar, berapa harga kue-kue ini?" tanya Satria."25 ribuan," jawab Arumi dengan tenang."Eh!" Tiba-tiba saja ia sadar jikalau ada yang salah. Ia pun langsung mengangkat wajahnya dan menatap para gadis di sekitarnya yang sedang menyorot tajam ke arah dirinya.'Kampret!' teriak Arumi di dalam hati karena tatapan tajam itu kini berubah menjadi bisikan-bisikan yang tak menyenangkan.Sesaat kemudian, bukannya menjauh atau apa, saat ini Satria justru melangkah dengan santai ke arah Arumi."Apa yang mau dia lakukan?" gumam Arumi yang saat ini sedang menundukkan kepalanya dan hanya melirik Satria dari ujung matanya."Kenapa, apa kamu tidak senang aku di sini?" tanya Satria ketika sudah berada tepat di depan Arumi.'Apa dia sengaja?' batin Arumi sembari melirik ke arah para gadis di belakang Satria yang saat ini seperti ingin
"Hei, apa aku membuatmu takut?" tanya laki-laki tersebut sambil menggaruk-garuk pelipisnya ketika melihat ekspresi terkejut Arumi."Oh iya, apa kita saling kenal sebelumnya?" "Eh, itu …." Arumi tentu saja merasa canggung saat ini.'Ah, kenapa aku harus bertingkah seperti itu? Aku kan baru bertemu dia sekali, dia pasti tidak akan mengingatku dong. Ah, Arumi goblok!' gerutunya di dalam hati."Anu, itu … maaf, mungkin saja saya salah orang," jawab Arumi sembari cengengesan.Akan tetapi, Arumi semakin merasa canggung karena laki-laki di depannya itu kini terus tersenyum pada dirinya tanpa bicara."Em, itu … kenapa?" tanya Arumi yang menjadi salah tingkah."Aku tidak menyangka saja kalau kamu akan berpura-pura tidak mengenaliku," jawab laki-laki di depan Arumi tersebut lalu menghembus napas panjang.'Eh, dia membohongiku atau apa?' pikir Arumi yang masih bingung dengan perubahan sikap laki-laki di depannya itu."Maaf, maksud Anda ini apa ya?" tanyaya."Ya, aku tidak menyangka saja kalau k
"Adikmu," jawab Arumi sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. "Tidak. Dia sedang mendapat hukuman," jawab Satria dengan dingin sembari terus memperhatikan tingkah Arumi dari belakang.Akhirnya Arumi pun manggut-manggut mendengar hal itu."Kenapa? Apa kamu ada urusan dengan Kania?" tanya Abi. "Kalau ada urusan, lebih ba—""Tidak-tidak," tukas Arumi sembari berbalik dan menatap Abi dengan ekspresi serius. "Aku hanya penasaran saja," jawabnya sembari tersenyum canggung.'Masa aku harus bilang pada dia kalau kemarin ada orang mengirim sekotak coklat besar, terus aku bilang mau tanyain ini pada Kania? Ntar aku dikira gimana … gitu lagi,' batinnya sembari mengingat kejadian kemarin, ketika tiba-tiba ada pengantar paket mengirim paket tanpa nama pada dirinya."Kamu bisa datang ke tempat Satria kalau kamu ingin bertemu dengannya," ujar Abi sembari tersenyum hangat.Sedangkan Satria yang berdiri di dekat Abi pun langsung melirik dengan ekspresi dingin pada Abi."Benarkan, Sat?
Dua jam berlalu dengan cepat. Saat ini Arumi tengah berada di warung bakso tempatnya bekerja. "Ada apa, sepertinya banyak yang kamu pikirkan?" tanya pemilik warung bakso tersebut sembari meletakkan wadah sambel di meja yang sedari tadi dilap oleh Arumi.Arumi yang memang sempat melamun pun langsung terkejut dan menoleh ke arah Pak Hamzah, bosnya yang sudah berusia hampir kepala enam itu. Pak Hamzah yang tahu dengan pasti kalau Arumi tak mendengar pertanyaannya pun, akhirnya mengulang kembali pertanyaannya. "Kamu sedang memikirkan apa? Kenapa melamun seperti itu?" 'Apa aku tadi lama ya melamunnya?' batin Arumi sembari cengengesan. "Tidak ada kok Pak, cuma sedang mikirin orang," jawab Arumi sembari kembali mengelap sisi lain meja."Pemuda yang waktu itu?" tanya Pak Hamzah sembari kembali ke bagian belakang."Bukan," jawab Arumi dengan suara yang lebih kencang, agar Pak Hamzah mendengarnya. "Saya itu penasaran, tadi pagi ada orang yang padahal sama sekali nggak pernah ngobr
Satria berjalan dengan santai mendekati Arumi dan Pak Hamzah yang saat ini sedang menatap dirinya. "Maaf, kami sudah tutup," ujar Pak Hamzah, tanpa menanggapi pertanyaan Satria sebelumnya."Baguslah kalau begitu, dia bisa segera bekerja untukku setelah ini," sahut Satria dengan ringan.Arumi memejamkan matanya. 'Tenang Ar, kamu tidak boleh terpancing emosi gara-gara dia,' batinnya mencoba untuk bersikap tenang menghadapi semuanya.Kemudian Arumi beralih menatap ke arah mangkoknya kembali dan melanjutkan makan tanpa memperdulikan keberadaan Satria.Sedangkan Satria yang melihat hal itu tentu saja merasa kesal. 'Apa dia menantangku?' batinnya sembari terus melangkah dan kemudian duduk di kursi dekat Arumi."Apa kamu sangat lapar?" tanyanya sembari memperhatikan Arumi yang makan bakso tersebut dengan lahap."Tidak," jawab Arumi di sela-sela acara makannya."Tidak? Tapi aku lihat sepertinya kamu bahkan bisa memakan mangkoknya," seloroh Satria.Kemudian Arumi dengan pelan mengangka
Sementara itu, saat ini Arumi tengah merenggangkan badannya dengan puas sembari tersenyum lebar ke arah langit cerah yang ada jauh di atasnya."Akhirnya … dengan begini dia tidak akan lagi mengganggu," ucap Arumi sembari mengepalkan tangannya dan kemudian menariknya ke bawah dengan keras. "Yes! Yes! Yes!" teriaknya di pinggir jalanan tempat ia berdiri saat ini.Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya sembari memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas selempangnya. Hingga ketika ia baru saja berbelok, tak sengaja dia melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di jalanan tersebut.'Kenapa dia di sini?' batin Arumi sembari mundur dan kemudian bersembunyi di dekat pagar yang ada di dekatnya. Ia kemudian mengintip dan memperhatikan gerak-gerik wanita yang sedang diawasinya itu."Dia menjual apa?" gumam Arumi ketika melihat teman sekamarnya itu sedang memberikan sebuah kotak pada laki-laki yang ada di depannya itu dengan tingkah mencurigakan.Selama beberapa menit Arumi terus m
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan