Arumi pun terjatuh karena tamparan keras tersebut. Seketika Satria keluar dari mobil dan dengan cepat membalas tamparan Arumi dengan pukulan keras di wajah laki-laki tersebut."Sialan!" teriak Satria sembari menendang laki-laki tersebut hingga membuatnya terpental dan terjungkal di jalan aspal yang untungnya sedang sepi.Sedangkan Arumi yang merasa berkunang-kunang karena tamparan tersebut pun segera mencari pegangan untuk bisa berdiri sambil menggoyang-goyangkan kepalanya, agar penglihatannya bisa kembali pulih."Sat, berhenti!" teriaknya ketika pandangannya fokus dan ia melihat Satria yang sedang berdiri menatap laki-laki yang saat ini berada di jalanan sembari memegangi dadanya.Setelah itu Arumi pun segera bergerak ke arah Satria dan kemudian memegangi lengan pemuda yang mengantarkannya pulang itu."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya sambil menatap ke arah laki-laki di depan mereka yang sedang berusaha bangun."Kamu anak sialan! Tidak tahu diri!" maki laki-laki tersebut ke
"Kamu!" Mata Arumi membulat melihat orang yang menariknya."Diam," desis wanita di belakang Arumi sembari menutup mulut Arumi dengan tangannya.Tak lama kemudian terlihat Cheri yang keluar dari kamarnya sambil celingukan. "Ar!" panggilnya.Setelah cukup lama celingukan dan tak menemuka Arumi, kemudian Cheri pun berbalik dan dengan tenang menutup pintu kamarnya, lalu pergi meninggalkan kamar kostnya.Sedangkan wanita yang tadi membekap Arumi pun langsung melepaskan tanganya ketika Cheri sudah menjauh dari sana."Ada apa?" tanya Arumi sembari kembali berbalik dan menatap wanita di dekatnya itu."Setelah ini kamu segera masuk kamar dan istirahat," perintah wanita di dekat Arumi tersebut.'Apa sebenarnya yang ingin dilakukan Raisa?' pikir Arumi sembari mengerutkan keningnya pada anak ibu kostnya itu.Dan ketika Raisa akan meninggalkannya, tiba-tiba Arumi mencekal lengan anak ibu kostnya itu. "Katakan apa yang ingin kamu lakukan?""Aku akan mengawasi Cheri. Jangan mengganggu dan tidurlah d
"Iya, Arumi memang cantik ya," sahut Mbak Yuni sembari tersenyum hangat pada laki-laki yang baru saja menarik pakaian Arumi tersebutLaki-laki yang tadi ingin disapa oleh Arumi karena terlihat seperti sedang menunggunya di dekat gerbang itu pun kembali menarik pakaian Arumi, hingga membuatnya berdiri sejajar dengan laki-laki tersebut."Chok, aku tidak tahu kalau kamu dekat dengan Arumi," cicit Mbak Yuni sembari mengedipkan sebelah matanya pada Choki yang saat ini masih menggenggam pakaian Arumi.'Apa ada sesuatu yang salah dengan Mbak Yuni ini?' pikir Arumi sembari mengerutkan dahinya. 'Ah, kenapa sepertinya semua orang di sini berbahaya? Apa aku ini ngekost di sarang orang-orang jahat?' keluhnya di dalam hati."Ar, kenapa kamu hanya diam saja?" Mbak Yuni mengalihkan perhatiaanya pada Arumi yang terlihat sedikit melamun. "Ar," panggilannya lagi karena Arumi tak menyahut."Hah, apa Mbak?" Arumi yang terkejut pun langsung memusatkan perhatiannya pada Yuni yang kini terasa begitu asing b
"Kamu kenapa?" tanya laki-laki tersebut sembari menatap gadis yang baru saja berseru.Seketika gadis tersebut menundukkan kepalanya."Masalah apa yang sedang terjadi?" tanya laki-laki yang baru saja masuk tersebut sembari menatap ponsel yang ada di tangan Arumi.Arumi pun langsung tersenyum canggung melihat hal itu dan dengan cepat ia menurunkan ponsel yang sedang di angkatnya. "Anu, tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya mengerjai mereka saja karena saya belum dimasukkan ke grup chat pegawai di sini," jawabnya sembari tertawa kecil menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.Kemudian Abi pun bergumam sembari menatap ke arah semua pekerja yang ada di dapur itu. "Aku tidak ingin ada diskriminasi di tempatku, kalian mengerti?" "Mengerti," jawab semua orang hampir serempak.Kemudian Abi pun kembali menatap ke arah Arumi. "Aku dengar kamu bekerja di tempat Satria?" tanyanya.Arumi yang sempat menundukkan kepalanya seperti para pegawai yang lainnya pun langsung menegakkan kembali kepalanya. "I-i
Sementara itu, saat ini terlihat seorang wanita berusia 30 tahunan sedang marah-marah di depan konter kue. "Selamat siang Kak, apa ada yang bisa dibantu?" tanya Arumi dengan sopan dan lembut.Akan tetapi, wanita tersebut membalas Arumi dengan tatapan sinis. "Kamu ini siapa lagi? Mana kokinya?""Saya kepala di dapur. Apakah ada yang bisa saya bantu?" Arumi terus berusaha bersikap manis, walaupun rasa jengkel sudah mengacak-ngacak hatinya."Jadi kamu yang membuat kue-kue itu?" seru wanita tersebut sembari menunjuk ke arah kue-kue basah yang ada di etalase panjang."Secara tidak langsung, saya mempunyai tanggung jawab untuk itu. Jadi bisakah Anda katakan, pada bagian apa yang membuat Anda tidak puas?" tanya Arumi dengan lembut.Wanita tersebut tiba-tiba saja mencengkeram kerah pakaian Arumi. Dan tentu saja semua orang yang ada di tempat itu benar-benar terkejut melihat hal itu."Aku datang ke sini untuk makan brownies, lalu di mana browniesnya?" tanya wanita tersebut dengan mat
Saat ini Arumi yang ada di dapur pun dengan cepat mengambil bahan-bahan yang ia butuhkan. Ia sebenarnya tidak memiliki masalah saat mendapat tantangan membuat brownies karena saat bersama Nita, ia sudah membuat ratusan adonan brownies. Akan tetapi ….'Kalau untuk dasarnya sudah pasti jadi brownies. Tapi kalau browniesnya cuma brownies biasa, orang itu pasti bikin masalah lagi,' pikir Arumi sembari memecahkan telur ke dalam mixer yang baru saja diambilnya.Arumi pun memasukkan gula sesuai takaran sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan agar brownies tersebut terasa berbeda dan istimewa.Ia pun memasukkan berbagai bahan lanjutan dan memixernya sembari terus berpikir keras, hingga sebuah tepukan tiba-tiba menyasar punggung Arumi."Ah!" Arumi terkejut dan langsung menoleh."Ada apa Kak, apa kamu kesulitan?" tanya Gina yang baru saja menepuk punggung Arumi. "Jika kamu tidak bisa, biar aku saja yang buat," tawarnya.Arumi pun langsung menggeleng. "Bisa. Hanya saja aku mikir,
Arumi benar-benar terkejut ketika Abi tiba-tiba saja memeluknya."A-a-ada apa?" Arumi tergagap."Aku dengar ada masalah di sini," jawab Abi sembari melepaskan pelukannya dan mengarahkan pandangannya ke sekitar ruangan itu dengan ekspresi ketakutan atau entah apalah itu.'Apa reaksinya nggak berlebihan? Dia seperti mendengar kalau ada teroris masuk ke sini," batin Arumi ketika memperhatikan sikap Abi saat ini."Ah, iya. Tadi ada orang yang membuat gara-gara, tapi semuanya baik-baik saja, Pak." Ia mengatakannya sembari tersenyum canggung pada Abi yang masih menatap ke sekeliling."Benarkah?" tanya Abi sembari kembali menatap Arumi yang saat ini ada di hadapannya."Benar-benar," jawab Arumi sembari mengangguk-ngangguk dengan cepat, untuk meyakinkan keseriusan kata-katanya.Kemudian Arumi pun melirik ke arah kasir. Ia teringat kalau Abi dan Satria adalah sepupu, jadi gadis yang membelanya tadi juga seharusnya adalah sepupunya Abi juga. Dan seperti yang ia pikirkan, saat ini Kania terlih
Setengah jam berlalu. Saat ini Arumi baru saja sampai di halaman rumah Satria. Ia pun segera membayar ojek yang mengantarnya dan bergegas melangkah ke arah pintu rumah Satria sembari menempelkan ponsel ke telinganya."Kenapa tidak diangkat," gumam Arumi sembari menurunkan ponsel tersebut dan kemudian memasukkannya ke dalam tas selempang yang ditentengnya.Sejak terdengar tembakan dari dalam panggilan Satria dan panggilan tersebut terputus begitu saja, Arumi sudah lebih dari 20 kali mencoba menghubungi laki-laki pertamanya itu. Namun, tak satu pun panggilannya diangkat."Dia di rumah atau di mana?" gumam Arumi sembari menggenggam erat tali tasnya.Setelah sampai di depan pintu, ia pun segera menekan bel di dekat pintu sebanyak tiga kali dan kemudian mencoba menarik handle pintu rumah besar di depannya."Loh!" Ia terkejut ketika tahu kalau pintu rumah tersebut tidak dikunci.Dan seperti kebanyakan orang, Arumi pun segera membuka pintu rumah tersebut dan masuk ke dalamnya
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan