Share

Bab 2 Ciuman Pertama

Penulis: Nanayaku
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Siapa yang menjual mu, dasar anak tidak tahu diri?! Jika aku menjualmu, aku akan mendapatkan uang. Aku bahkan tidak mendapatkan sepeser pun darinya." Pablo mendesah kasar. Ia bahkan menatapku dengan sorot mata yang seperti biasa, yaitu tatapan penuh kebencian.

"Tunggu dulu," ucapnya tiba-tiba membuat keningku sedikit berkerut. Sejenak aku merasa penasaran saat ia memalingkan wajahnya. Meletakkan jari tangannya di mulut lalu mengelus-elus dagu yang ditumbuhi janggut.

"Kau benar. Ya, kau memang benar. Seharusnya aku meminta uang pada Tuan Luca. Menjadikanmu sebagai pelunasan hutangku tidak cukup. Aku hanya hutang lima ribu euro. Aku mungkin bisa meminta lima ribu euro lagi darinya," gumam Pablo.

"Ayah!" Sentakku mendengar ucapannya. Air mataku seketika menetes. Kedua tanganku mengepal. Rasanya ingin sekali menampar wajah ayahku sendiri agar ia sadar yang dilakukannya tidaklah patut disebut sebagai seorang ayah.

Saat Pablo ingin membalas ucapanku, seseorang muncul dari balik pintu. Orang itu, yang akhir-akhir ini aku kenal bernama Berto. Aku memalingkan muka lalu mengusap kedua pipiku dengan pelan agar tidak merusak riasan.

"Tuan Luca sudah menunggu. Acaranya akan segera dimulai," ucap Berto pada kami.

Pablo mengulurkan tangannya padaku sembari memasang senyum. Aku hanya menatap sekilas uluran tangan itu lalu memalingkan wajahku kembali.

Ingin rasanya lari jauh dari tempat itu. Aku belum siap menikah. Terlebih lagi menikah dengan pria yang sama sekali tidak kukenal. Bahkan aku belum pernah melihat wajahnya.

Jujur saja, aku takut kalau pria yang selalu disebut Pablo dan Berto dengan nama Tuan Luca itu adalah seseorang yang sudah berumur. Bagaimana jika Tuan Luca sudah menikah sebelumnya dan memiliki banyak istri? Bagaimana jika Tuan Luca adalah sosok orang yang kasar? Bagaimana jika perawakannya bertubuh gempal dengan rambut gondrong? Aku tidak bisa berhenti menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu di dalam kepalaku.

Tubuhku bangkit perlahan. Kedua tanganku mencengkeram gaun pengantin untuk membantuku lebih mudah berjalan. Aku melewati Pablo begitu saja. Lalu dua pria itu mulai berjalan di belakang.

Tak berselang lama, kami pun tiba di depan sebuah pintu ballroom yang sudah dijaga oleh orang-orang yang berperawakan sama seperti Berto. Langkahku berhenti. Jantungku semakin berdebar-debar serta tanganku berkeringat dingin. Mataku mulai berkunang-kunang. Apakah aku akan pingsan? Sial!

Saat aku tidak berhenti menggerutu di dalam hati, suara Berto menyadarkanku. Aku hanya melirik ke arah Berto saat mendengar suara peringatan darinya kalau aku harus segera masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Pablo kembali berdiri di sampingku dengan posisi salah satu tangannya berkacak pinggang. Mau tidak mau akhirnya aku mengalungkan tanganku pada lengannya.

Pintu ballroom seketika dibuka oleh Berto. Ia menundukkan kepala lalu mempersilahkanku untuk masuk. Seketika mataku dipenuhi oleh wajah-wajah yang sangat asing. Tidak satupun aku mengenal mereka kecuali Berto dan ayahku sendiri.

Kakiku mulai menarik langkah memasuki ruangan bersama ayah disampingku. Aku terus melewati orang-orang yang memberi jalan untuk kami. Hingga akhirnya mataku terpaku pada sosok pria yang berdiri di ujung.

Mataku tidak teralihkan sedikit pun dari sosoknya. Mungkinkah ia yang bernama Tuan Luca? Demi Tuhan, jika memang ia adalah Luca yang akan menikah denganku, perbuatan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga membuatku menjadi istrinya?

Pria tampan dengan perawakan yang sempurna, sorot matanya yang tajam tetapi juga memiliki sejuta pesona hingga membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Wajahnya datar dan terkesan dingin, tetapi semakin mempertegas ketampanannya. Sungguh, aku tidak tahu di bagian tubuh mana yang tidak terlihat sempurna.

Wajahku memerah ketika sorot matanya hanya tertuju padaku. Sehingga aku hanya bisa menundukkan pandangan seolah tidak mampu bertatapan langsung lebih lama. Ya, aku bisa terkena serangan jantung jika melakukan itu.

Akhirnya kami pun tiba di hadapannya dan sang pendeta. Pablo memberikan tanganku padanya. Aku hanya menurut. Tentu tidak bisa melarikan diri dengan posisi kakiku yang bergetar hebat serta jantung yang berdebar-debar seolah meronta ingin keluar.

Pablo pergi menjauh, meninggalkanku dengan pria asing yang akan menjadi suamiku hanya dalam hitungan menit. Pendeta pun mulai mengajukan pertanyaan sebagai sumpah janji pernikahan kami. Di saat itu pula, aku baru tahu nama lengkap pria itu, dia adalah Luca Valentino.

Aku kembali menatap ke arah pendeta saat ia menyebutkan nama lengkapku, Andrea Calandra. Bibirku terdiam sejenak. Tidak secepat pria itu menjawab 'Ya' saat pendeta itu bertanya. Kepalaku kembali menoleh ke arahnya. Ia sama sekali bergeming dan tidak menoleh ke arahku.

"Ya," jawabku dengan suara pelan lalu menundukkan kepala.

Tiba-tiba ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku. Satu sisi aku merasa ragu untuk menjawab 'ya'. Lalu sisi lain aku bertanya-tanya apa akibatnya jika aku tidak menjawab 'ya'. Serta ada perasaan aneh yang mendorongku untuk menjawab 'ya'.

Usai pendeta itu mengumumkan bahwa kami telah resmi menikah dan kini menyandang sebagai pasangan suami istri, Luca memasangkan cincin berlian di jari manisku. Aku meraih cincin lain lalu menatap Luca. Untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu dengan jarak yang begitu dekat. Tetapi hanya sekilas karena aku langsung menundukkan kepala saat memasangkan cincin itu di jari manisnya.

Kini cincin indah yang kuyakin memiliki harga hingga ratusan ribu euro itu sudah tersemat di jari kami. Kedua tangan yang sejenak kurasakan kehangatannya itu mulai membuka kain veil yang menutupi wajahku. Jantungku semakin tidak karuan saat merasakan tatapan pria itu menusuk ke dalam mata.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja sebuah ciuman. Memikirkan hal itu sontak membuat wajahku memerah. Ya, aku hanya masih tidak menyangka akan mendapatkan ciuman pertama dengan seorang pria yang begitu terlihat sempurna.

Aku tidak berani menatapnya lebih lama saat wajahnya semakin mendekat. Ia semakin maju ke arahku hingga membuat kedua mataku reflek terpejam. Aku takut. Aku cemas. Entahlah, perasaanku campur aduk saat ini.

Bisakah aku mempercepat waktu? Mengapa dia terasa semakin lambat mendekat ke arahku? Sedangkan diri ini tak berani membuka kedua mata. Aku yakin, ia pasti sudah melihat wajahku yang sudah memerah.

Reflek, aku menggigit bibir lalu hendak membuka mata. Tetapi niatku tertahan oleh sesuatu yang seketika menempel di permukaan bibir. Jantungku seolah berhenti berdetak saat ini. Napas hangatnya mulai menerpa wajahku. Aroma wangi tubuh yang baru pertama kali merasuk ke dalam indra penciumanku menghipnotis pikiran, membuatku ingin lebih dan lebih merasakan aroma itu.

Namun, ciuman itu begitu cepat berlalu. Luca mulai melepaskan bibirnya dari bibirku. Wajahnya perlahan menjauh membuatku membuka mata. Tatapanku langsung tertuju padanya.

Ada sedikit noda merah di bibirnya yang membuatku ingin merasakan ciumannya lagi. Apakah lipstik di bibirku terlalu tebal hingga menular pada bibirnya? Aku hanya bisa menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyum di wajahku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wii
Si Pablo mata duitan ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 3 Siapa Keluarga Luca?

    Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh tamu dari pihak Luca pun selesai. Berto menginstruksikan ku untuk mengikutinya. Tetapi aku langsung berhenti ketika menyadari Luca tidak ikut. "Di mana Luca?" tanyaku pada Berto yang ikut berhenti di depanku. Pria itu menoleh. "Tuan sedang ada urusan. Beliau meminta saya untuk mengantar Anda lebih dulu," jawab Berto dengan gelagat hormatnya. "Urusan apa?" Aku bertanya karena penasaran. Toh sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. Tetapi Berto justru memberikan respon lain. Ia menundukkan kepala seolah enggan untuk menjawab. Aku pun hanya bisa menghela napas melihat reaksinya.Apakah mungkin saat ini Luca sedang bersama ayahku? Pasalnya aku tidak melihat ayahku lagi. Ataukah Luca sedang menagih hutang pada orang lain? Aku mendesah. Berharap perkiraanku yang terakhir tidaklah benar. Aku hanya tidak ingin pria itu lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya dibandingkan menghabiskan waktu denganku di saat kami baru saja menikah. Ak

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 4 Kekonyolan Andrea

    Satu jam berlalu. Aku sudah berganti pakaian. Aku memilih gaun yang memiliki panjang hingga bawah lutut. Gaun tersebut tidak berlengan serta memiliki belahan dada yang cukup terbuka. Rambutku terurai menutupi pundak. Aku meminta salah satu pelayan yang membantu melepaskan gaun pengantin itu untuk menata rambutku, memberikan gelombang-gelombang di ujung rambut. Aku juga memakai bando berwarna senada dengan gaun yang kukenakan saat ini. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku pada seorang pelayan yang merapikan meja rias. "Silakan, Nyonya," balasnya sembari tersenyum ramah padaku. "Siapa saja yang tinggal di sini? Apakah keluarga Luca ada di sini? Aku belum melihat mereka," tanyaku penasaran. "Tuan tinggal sendirian di sini, Nyonya. Nona Aluna tinggal di Amerika dan sedang kuliah semester enam," jawab pelayan yang kulihat memiliki badge name dengan nama Dafne Ercolani. "Sendiri? Memangnya kemana orangtuanya?" tanyaku penasaran. Pasti Dafne akan merasa bingung karena aku tidak ta

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 5 Nasehat dari Luca

    Kakiku berjalan pelan menyusuri setiap ruangan. Kali ini aku tidak merasa asyik memperhatikan sekeliling. Mataku hanya tertuju ke arah lantai marmer yang mengeluarkan suara dari hentakan heelsku. Hal penting apa yang akan dibicarakan Luca denganku? Setelah pria itu mengatakan kalimat itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Rasa penasaran semakin membuatku ingin mendesak pria itu untuk segera membicarakan hal misterius tersebut. Langkahku terhenti. Kepalaku terdongak saat menarik napas panjang. Dari kejauhan aku melihat ada sebuah meja yang berada di dekat kolam. Meja itu mulai diisi makanan. Tidak lupa ada hiasan lilin dan bunga di tengah-tengah meja panjang tersebut. Para pelayan tampak sibuk menata satu demi satu makanan yang dibawa menggunakan troli. Aku menoleh ke belakang dan samping, tepatnya ke arah pintu lain yang menjadi jalan untuk para pelayan keluar dari dalam mansion. Tidak ada Luca. Sepertinya pria itu sedang berada di kamarnya atau sedang melakukan hal lain. Se

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 6 Pria Licik

    Tidak ada keinginan membalas pesan dari Delia. Aku langsung menekan ikon memanggil lalu menempelkan benda pipih itu pada telinga. Sejenak aku diam menunggu Delia menerima panggilan tersebut. "Delia," panggilku saat mendengar suara Delia. "Andrea! Kau di mana? Tuan Benigno menanyakanmu," ucap Delia antusias. Aku menunduk sembari tersenyum masam. Benakku membayangkan seolah sedang bicara dengan Delia di depanku. "Andrea, kenapa ponselmu sulit dihubungi dua Minggu terakhir ini?" "Bagaimana keadaanmu di sana?" tanyaku tanpa menjawab satupun pertanyaan Delia. "Aku merindukanmu. Kau dimana dan kapan kau akan pulang?" Aku bangkit dari kursi. Berjalan pelan mendekat ke arah kolam. Tatapanku tertuju pada bayangan bulan yang terlihat di atas permukaan kolam. "Aku juga merindukanmu." "Sial! Kau tidak menjawab satupun pertanyaan dariku, Andrea," gerutu Delia diiringi desahan napas kasar. Tawaku pecah karena Delia mulai menggerutu. "Maaf, Delia. Aku belum bisa mengunjungi villa. Nanti ka

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 7 Sebuah Harapan

    Kedua mataku terbuka lebar, tidak percaya mendengar jawabannya. Aku tidak menyangka pria yang saat ini sudah menyandang sebagai suamiku adalah sosok rentenir yang sangat kejam. "Kau sangat menjijikkan," desisku seraya menyipitkan mata padanya. "Aku tidak bertanya pendapatmu tentang diriku," jawab Luca sembari tersenyum seolah ucapanku sama sekali tidak membuatnya tersinggung. "Kau aneh sekali. Kau sangat senang dipuji dengan kalimat seperti itu." Aku mencemooh padanya. Kedua tanganku terlipat di bawah dada sembari memalingkan muka. Aroma tubuhnya memang menjadi candu. Tetapi aku tidak bisa menunjukkan sisi lain dari kepalaku saat sikapnya sangat menyebalkan seperti saat ini. "Jadi, apa keputusanmu? Membiarkan dirimu benar-benar dijual oleh ayahmu atau berbulan madu?" "Pilihanmu tidak ada dalam keputusanku." Sorot mataku berubah tajam. Aku menegakkan dagu seolah hendak menantangnya. "Aku akan membayar hutang ayahku." Namun Luca justru tertawa. Aku tidak terkejut mendengar tawany

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 8 Melarikan diri

    Tanganku menurunkan ponsel dari telinga saat panggilan telepon sudah terputus. Mataku menoleh ke samping. Menatap tajam seolah ada Luca berdiri di ujung lorong. Keinginan untuk membalas perbuatan Luca telah mendorong kakiku. Lagipula Luca pernah memberikan nasehat untuk berhenti menjadi orang lemah. Sehingga balas dendam adalah langkah awal membuatku menjadi sosok wanita yang kuat. Tiba-tiba langkahku terhenti saat sudah sampai di dalam mansion hendak menaiki lift. Keningku mengernyit ketika melihat Luca dan Berto tampak terburu-buru pergi ke suatu tempat. Tiba-tuba saja aku merasa penasaran hingga mengikuti langkah mereka jauh di belakang. Saat aku berhasil melewati pintu, sebuah mobil yang ditumpangi Berto dan Luca sudah menjauh. Langkahku pun hanya sampai di teras lalu menatap kepergian mereka. 'Kemanakah mereka akan pergi di waktu malam seperti ini?' benakku bertanya sembari terus menatap sisa-sisa kepergian mereka. Aku mematung saat memutar tubuhku hendak kembali masuk ke dal

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 9 Tertangkap Lagi

    Sebuah mobil yang aku naiki bersama Delia tengah menyusuri jalanan kota yang tampak ramai. Aku sengaja mengajak Delia pergi jalan-jalan karena kebetulan vila sedang sepi. Sepanjang jalan kami tidak berhenti berbincang-bincang mengenai kejadian yang aku alami sekarang. "Kenapa kau tidak menjual barang-barang yang diberikan Luca padamu? Kau bisa mendapatkan uang dengan cara itu agar bisa melunasi hutang-hutang ayahmu," ucap Delia di perbincangan kami. "Astaga, Delia. Itu artinya aku hanya membuang waktu. Aku tidak bisa membayar hutang ayahku menggunakan uang dari hasil penjualan barang-barang yang diberikan Luca. Luca itu pria licik. Dia sangat pandai berargumen, dia pasti akan menertawai ku nantinya," timpalku sembari sesekali menoleh ke arahnya di saat sedang fokus mengendarai mobil. "Oh iya, kau benar juga," gumam Delia. "Aku tidak suka dengan caranya memperlakukanku. Dia senang mempermainkan dan mempermalukan aku, itu sebabnya aku ingin berhenti menjadi istrinya." "Dan kau baru

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 10 Pesta?

    Mobil hitam itu berhenti di depan mansion. Aku langsung membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu Luca. Kakiku mengambil langkah lebar seraya menghentak-hentakkan lantai saat memasuki mansion. Aku terus berjalan menuju lift. Rasa kesal yang menyelimuti membuatku enggan untuk menunggu Luca sehingga aku langsung menutup pintu lift. Sesampainya di kamar, lagi-lagi aku berjalan cepat menuju ruangan walk in closet. Kulepas sepatu lalu menggantinya dengan sandal. Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi dan tidak lupa menguncinya. Aku ingin berendam di dalam bath tub untuk sekedar meredakan emosi. Mungkin aroma wewangian dari sabun dapat merilekskan pikiran. Lagipula aku belum mandi malam ini. Setelah mengisi air dan mencampurkannya dengan sabun, aku segera melepas pakaian lalu masuk ke dalam bath tub. Aku berbaring seraya menengadah ke atas. Mataku terpejam merasakan kenyamanan yang perlahan mulai membalut hati dan pikiran. Belum ada lima menit, ketenanganku diganggu oleh suara

Bab terbaru

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 14 Bulan Madu Bag.2

    Langkah kami berhenti. Alih-alih mendengarkan Luca yang sedang bicara dengan salah satu pria yang sejak tadi menunggu kami, aku justru memperhatikan sepasang kuda tersebut. Apakah Luca berniat mengajakku menaiki kuda? Keningku mengernyit. Aku tidak pernah naik kuda sebelumnya. Tiba-tiba saja aku ragu saat Luca memintaku untuk segera naik ke atas kuda. "Kita akan pergi ke penginapan. Naiklah ke atas kuda," ucap Luca. Aku menolaknya. "Aku tidak mau." Mataku masih memperhatikan punggung kuda yang setinggi dadaku. Aku mendengar Luca mendesah kasar. Tetapi aku tidak peduli. "Penginapannya cukup jauh, Andrea. Jalannya juga menanjak." "Siapa yang memintamu mengajakku ke sini? Apa aku pernah menyuruhmu? Lagipula bukan tempat ini yang ingin aku kunjungi," gerutuku. Ya, aku kesal karena Luca memutuskan tentang hal ini tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu. "Aku tidak sedang mengajakmu berdebat," balas Luca lalu kedua tangannya mencengkeram pinggangku. Tiba-tiba Luca mengangkat tubuhku

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 13 Bulan Madu Bag.1

    Rasa penasaran mendorongku untuk mengikuti Luca. Aku menuruni tangga perlahan hingga berada di kabin kapal bagian belakang. Mataku memperhatikan Luca yang tampak sibuk melepas kancing kemeja dengan posisi membelakangi. Perlahan kemeja putih polos itu mulai tersingkap dari badan Luca. Mataku tertarik untuk melihatnya. Tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang saat menyaksikan punggung kokoh penuh otot milik pria itu. Seolah terhipnotis oleh pemandangan ciptaan Tuhan yang tampak begitu sempurna, aku tidak berkutik sama sekali. Justru pikiran-pikiran liar semakin gencar muncul di dalam kepala hanya karena melihat pemandangan yang disuguhkan oleh pria yang kini menyandang gelar sebagai suamiku sendiri. Punggung pria itu tidak terlihat polos. Terdapat tato dengan gambar naga yang hampir menutupi seluruh bagian punggungnya. Aku tidak bisa menahan pandangan saat Luca kini melepas celana pendeknya. Kini hanya ada kain berwarna hitam yang menutupi bagian vital pria itu, sebuah celana box

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 12 Terbangun Di Tempat Lain

    Aku terbangun saat merasakan sesuatu menusuk ke dalam mata. Sebelah tanganku mencengkram kepala ketika bangkit duduk. Kubuka mata perlahan karena suara deru ombak mengganggu gendang telinga. Mataku membelalak. Kesadaranku seketika terkumpul saat melihat ke arah jendela ruangan kamar. Aku berlari hendak memastikan keberadaanku saat ini. "Aah," pekikku saat tersandung. Aku terjatuh dan langsung mengusap-usap lutut yang sedikit membekas merah. Namun tubuhku langsung bangkit seolah masih ingin memastikan sesuatu. Kali ini mataku terbuka lebar begitupun dengan mulutku. Aku tidak menyangka tiba-tiba berada di tengah laut yang luas. 'Aku ada di laut mana? Apakah aku sedang diculik?' batinku bertanya-tanya. "Kau sudah bangun?" Lamunanku buyar dalam sekejap saat mendengar suara seseorang dari belakang. Aku langsung berbalik badan dan melihat Luca berdiri di belakangku. Penampilan pria itu terlihat begitu santai dengan setelan kemeja dan celana pendek. Pria itu membiarkan dua kancing ata

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 11 Jawaban Yang Tidak Berubah

    Luca meletakkan gelas yang sebelumnya diperebutkan Andrea. Ia menggendong Andrea lalu melenggang pergi meninggalkan pesta. Sedangkan Berto mengikuti dari belakang. Dengan cekatan Berto membuka pintu mobil. Luca segera memasukkan Andrea ke dalam mobil. Tidak lupa ia menginstruksikan Berto untuk segera mengantar mereka pulang. Luca duduk di samping Andrea sedangkan Berto mulai mengendarai mobil. Pandangan Luca tertuju ke arah wajah Andrea yang memerah. Wanita itu langsung tertidur lelap tepat saat dirinya menggendong tubuhnya. Sebelah tangan Luca merangkul pundak Andrea. Ia menarik tubuh Andrea mendekat lalu memeluknya agar wanita itu tidak merasa kedinginan. Benak Luca memikirkan saat kejadian beberapa jam yang lalu ketika Andrea ketahuan kabur dari mansion. Awalnya ia pulang dari pertemuan penting bersama keluarga mafia yang lain. Tetapi saat sampai di mansion, Luca justru tidak mendapati Andrea di mansion. Sontak Luca langsung menyuruh anak buahnya untuk melacak keberadaan Andre

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 10 Pesta?

    Mobil hitam itu berhenti di depan mansion. Aku langsung membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu Luca. Kakiku mengambil langkah lebar seraya menghentak-hentakkan lantai saat memasuki mansion. Aku terus berjalan menuju lift. Rasa kesal yang menyelimuti membuatku enggan untuk menunggu Luca sehingga aku langsung menutup pintu lift. Sesampainya di kamar, lagi-lagi aku berjalan cepat menuju ruangan walk in closet. Kulepas sepatu lalu menggantinya dengan sandal. Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi dan tidak lupa menguncinya. Aku ingin berendam di dalam bath tub untuk sekedar meredakan emosi. Mungkin aroma wewangian dari sabun dapat merilekskan pikiran. Lagipula aku belum mandi malam ini. Setelah mengisi air dan mencampurkannya dengan sabun, aku segera melepas pakaian lalu masuk ke dalam bath tub. Aku berbaring seraya menengadah ke atas. Mataku terpejam merasakan kenyamanan yang perlahan mulai membalut hati dan pikiran. Belum ada lima menit, ketenanganku diganggu oleh suara

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 9 Tertangkap Lagi

    Sebuah mobil yang aku naiki bersama Delia tengah menyusuri jalanan kota yang tampak ramai. Aku sengaja mengajak Delia pergi jalan-jalan karena kebetulan vila sedang sepi. Sepanjang jalan kami tidak berhenti berbincang-bincang mengenai kejadian yang aku alami sekarang. "Kenapa kau tidak menjual barang-barang yang diberikan Luca padamu? Kau bisa mendapatkan uang dengan cara itu agar bisa melunasi hutang-hutang ayahmu," ucap Delia di perbincangan kami. "Astaga, Delia. Itu artinya aku hanya membuang waktu. Aku tidak bisa membayar hutang ayahku menggunakan uang dari hasil penjualan barang-barang yang diberikan Luca. Luca itu pria licik. Dia sangat pandai berargumen, dia pasti akan menertawai ku nantinya," timpalku sembari sesekali menoleh ke arahnya di saat sedang fokus mengendarai mobil. "Oh iya, kau benar juga," gumam Delia. "Aku tidak suka dengan caranya memperlakukanku. Dia senang mempermainkan dan mempermalukan aku, itu sebabnya aku ingin berhenti menjadi istrinya." "Dan kau baru

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 8 Melarikan diri

    Tanganku menurunkan ponsel dari telinga saat panggilan telepon sudah terputus. Mataku menoleh ke samping. Menatap tajam seolah ada Luca berdiri di ujung lorong. Keinginan untuk membalas perbuatan Luca telah mendorong kakiku. Lagipula Luca pernah memberikan nasehat untuk berhenti menjadi orang lemah. Sehingga balas dendam adalah langkah awal membuatku menjadi sosok wanita yang kuat. Tiba-tiba langkahku terhenti saat sudah sampai di dalam mansion hendak menaiki lift. Keningku mengernyit ketika melihat Luca dan Berto tampak terburu-buru pergi ke suatu tempat. Tiba-tuba saja aku merasa penasaran hingga mengikuti langkah mereka jauh di belakang. Saat aku berhasil melewati pintu, sebuah mobil yang ditumpangi Berto dan Luca sudah menjauh. Langkahku pun hanya sampai di teras lalu menatap kepergian mereka. 'Kemanakah mereka akan pergi di waktu malam seperti ini?' benakku bertanya sembari terus menatap sisa-sisa kepergian mereka. Aku mematung saat memutar tubuhku hendak kembali masuk ke dal

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 7 Sebuah Harapan

    Kedua mataku terbuka lebar, tidak percaya mendengar jawabannya. Aku tidak menyangka pria yang saat ini sudah menyandang sebagai suamiku adalah sosok rentenir yang sangat kejam. "Kau sangat menjijikkan," desisku seraya menyipitkan mata padanya. "Aku tidak bertanya pendapatmu tentang diriku," jawab Luca sembari tersenyum seolah ucapanku sama sekali tidak membuatnya tersinggung. "Kau aneh sekali. Kau sangat senang dipuji dengan kalimat seperti itu." Aku mencemooh padanya. Kedua tanganku terlipat di bawah dada sembari memalingkan muka. Aroma tubuhnya memang menjadi candu. Tetapi aku tidak bisa menunjukkan sisi lain dari kepalaku saat sikapnya sangat menyebalkan seperti saat ini. "Jadi, apa keputusanmu? Membiarkan dirimu benar-benar dijual oleh ayahmu atau berbulan madu?" "Pilihanmu tidak ada dalam keputusanku." Sorot mataku berubah tajam. Aku menegakkan dagu seolah hendak menantangnya. "Aku akan membayar hutang ayahku." Namun Luca justru tertawa. Aku tidak terkejut mendengar tawany

  • Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda   Bab 6 Pria Licik

    Tidak ada keinginan membalas pesan dari Delia. Aku langsung menekan ikon memanggil lalu menempelkan benda pipih itu pada telinga. Sejenak aku diam menunggu Delia menerima panggilan tersebut. "Delia," panggilku saat mendengar suara Delia. "Andrea! Kau di mana? Tuan Benigno menanyakanmu," ucap Delia antusias. Aku menunduk sembari tersenyum masam. Benakku membayangkan seolah sedang bicara dengan Delia di depanku. "Andrea, kenapa ponselmu sulit dihubungi dua Minggu terakhir ini?" "Bagaimana keadaanmu di sana?" tanyaku tanpa menjawab satupun pertanyaan Delia. "Aku merindukanmu. Kau dimana dan kapan kau akan pulang?" Aku bangkit dari kursi. Berjalan pelan mendekat ke arah kolam. Tatapanku tertuju pada bayangan bulan yang terlihat di atas permukaan kolam. "Aku juga merindukanmu." "Sial! Kau tidak menjawab satupun pertanyaan dariku, Andrea," gerutu Delia diiringi desahan napas kasar. Tawaku pecah karena Delia mulai menggerutu. "Maaf, Delia. Aku belum bisa mengunjungi villa. Nanti ka

DMCA.com Protection Status