Badanku rasanya lemah lesu, tak ada lagi gairah yang aku rasakan. Rasanya ingin berbaring dan berbaring. Tak ada aktifitas yang bisa aku lakukan selain tiduran dan melamun. Mau main hape pun aku nggak sanggup. Kepalaku masih terasa pusing. Perutku lapar, tapi aku nggak bisa mengambilnya sendiri. Lagian ini baru jam enam pagi, bik Sumi pasti belum masak apalagi mbak Naya masih pergi katanya."Katanya mau buatin aku sup? Tapi kok nggak jadi-jadi?" Batinku kesal. Tubuhku kian meringkuk menahan dingin dan juga lapar. Kemana sebenarnya perginya mas Dion? Tunggu dulu, bukankah bik Sumi jam segini sudah datang? Tapi kenapa mas Dion tidak meminta bantuan bik Sumi buat gantiin bajuku tadi? Jangan-jangan tadi mas Dion cuma modus saja? Arggg, dasar kucing garong!.Ceklek!Suara pintu terbuka, aku segera pura-pura tidur. Suara langkah kaki kian mendekat."Bangun, aku tau kamu cuma pura-pura tidur." Ucap mas Dion terasa dingin. Aku menatap mas Dion kesal, dasar pria br**gs*k. Sok baik tapi tern
Namaku Nina Safitri, usiaku baru sembilan belas tahun. Aku bekerja sebagai penjaga konter milik tetanggaku. Tempat bekerja ku tidak jauh dari rumah hanya berjarak sekitar dua ratus meter.Tepat pukul sepuluh malam aku menutup konter dan pulang kerumah."Mana uangnya?" Todong ibuku di depan pintu."Uang apa?" Tanyaku pura-pura tidak tau."Hari ini kamu gajiankan?" Ibu merampas tasku dan mengacak-acak isinya."Mana uangnya, Nina?" Ibu melempar tasku kesembarang arah setelah tak menumakan yang ia cari."Itu uangku buk, untuk kebutuhan sehari-hari, ibu nggak berhak atas uang itu" Aku melepaskan sepatu lalu meninggalkan ibu yang masih emosi.Aku benar-benar lelah, uang hasilku bekerja selalu di rampas oleh ibu, aku hanya disisakan satu lembar berwarna merah, padahal gajiku tak seberapa, hanya sembilan ratus ribu perbulan. Maklum konter tempatku bekerja hanya sebuah konter kecil di pinggir jalan."Nina"Ibu menarik bahuku dengan kuat hingga terhuyung kebelakang. "Apa lagi sih buk?" Tanyaku
Dua hari lagi akan diselenggarakan pernikahanku dengan pak Broto. Aku nggak mau, tapi ibu selalu memaksa. Sebenarnya aku lebih memilih membayar hutang itu dari pada harus menikah dengan pak Broto dan menjadi istri ke empat. Lima puluh juta, uang yang harus aku bayar agar terhindar dari pernikahan ini."Aku nggak punya uang sebanyak itu, aku harus bagaimna?". Gumamku lirih. Aku harus mencari cara agar bisa kabur dari pernikahan ini. "Buk, sebaiknya kita jual saja rumah ini untuk membayar hutang". Ucapku memberi solusi."Kau sudah gila hah? Kalau kita jual rumah ini, kita mau tinggal dimana? Mau jadi gelandangan?". Teriak om Sani tidak setuju."Aku sedang tidak berbicara sama om ya, lagian ini rumah peninggalan almarhum bapak jadi om nggak berhak atas rumah ini". Aku melirik ibu yang masih diam termenung."Ayolah buk, aku nggak mau menikah sama pak Broto, dia pantasnya jadi kakekku, buk". Ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah ini tapi aku sudah tidak punya pegangan uang sama sekali
"kau harus menikah dengannya, Nina". ibu berteriak memaksaku untuk menikah dengan pria beristri."aku nggak mau, buk". aku menolak dengan tegas."kau punya tiga pilihan, Nina. menjadi istri kedua atau menjadi istri ke empat dan menjual diri". ibu mulai mengancamku."kenapa harus Nina, buk? yang punya hutang itu kalian". Aku terisak. Aku tadi malam memang memberikan harapan pada mereka, tapi setelah bertemu langsung dengan istri pria itu, hatiku jadi tak tega. Dia wanita berhijab, wajahnya sangat teduh, aku tak ingin merusak rumah tangganya dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka. "Kau harus menentukan pilihanmu, Nina. Atau besok kamu harus mau menikah dengan pak Broto". Ucap ibu lalu meninggalkan ku sendirian di kamar.Lagi-lagi aku harus di hadapkan dengan pilihan yang sulit. Memangnya apa salahku hingga harus menjalani kehidupan yang menyedihkan ini.Apa aku biarkan saja ibuk di jebloskan ke penjara? Tapi aku nggak mau di cap sebagai anak durhaka, bagaimanapun surgaku masih ber
Kicauan burung di pagi hari membangunkanku. Tubuhku rasanya pegal sekali, tidurku pun tak nyenyak. Apa karena aku sudah terbiasa dengan kasur yang keras? Jadi otomatis tubuhku menyesuaikan diri dengan kasur empuk yang terlihat nyaman ini.Aku melirik keseluruh ruangan, tak ada tanda-tanda dari pria yang kemarin telah sah menjadi suamiku. Aku pun tak mempedulikannya, toh palingan dia sedang bersama istrinya.Dengan langkah gontai, aku pergi ke kamar mandi. Pas pintu terbuka, aku terperangah. Kamar mandinya luas sekali, mungkin lebih luas kamar mandi ini dari pada kamarku yang dulu. Padahal aku telah memasukinya dua kali tapi aku masih saja takjub di buatnya.Aku menyalakan sower dengan asal."Aw, panas". Aku mengibaskan tanganku yang terkena percikan air panas. Aku segera mematikan sower. Aku teliti lagi, ada dua tanda di sana. Berwarna biru dan merah, mungkin artinya dingin dan panas.Sower kembali kunyalakan, kini air dingin yang keluar. Aku ingin mandi air hangat. Mungkin dengan me
"Pagi sayang". Mas Dion mengecup mesra kening mbak Kanaya saat berpapasan di bawah tangga. Duh irinya. Mereka benar-benar pasangan serasi. "Pagi mas". Mbak kanaya mengambil alih tas yang di bawa mas Dion."Sarapan, Dion". Mama berucap tanpa melirik mbak Kanaya sedikitpun."Iya, ma".Mereka berdua duduk berdampingan di depanku. Menurutku mereka benar-benar pasangan yang serasi. Mas Dion yang tampan dan mbak Kanaya yang cantik, benar-benar serasi bukan? Dan aku rasa, rasa cinta mereka terhadap satu sama lain sangat besar terlihat dari sorot mata mereka saat memandang. Andai saja selama lima tahun pernikahan mereka sudah di beri momongan mungkin aku tidak akan hadir di tengah-tengah mereka. Aku benar-benar iri pada mereka, saling setia satu sama lain walaupun akhirnya mas Dion terpaksa menjadikanku istri kedua. "Bagaimana malam pertama kalian?". Ucap Mama membuatku terbatuk.Aku melirik ke arah mas Dion, dia terlihat bingung dan serba salah. "Berjalan lancar kok ma". Ucapku tanpa ber
"Sedang masak apa mbak?". Tanyaku menghampiri wanita berhijab yang tengah berjibaku dengan alat-alat dapur."Bukan urusan kamu, sudah pergi sana. Jangan menggangguku". "Oh, sedang goreng ayam ya?". Aku melongok wajan di hadapannya. Minyak mendidih itu telah membuat ayam yang di rendamnya berubah kecoklatan."Capcai juga?". Aku melirik piring dengan capcai yang sudah siap saji. "Mau apa kamu?". Mbak Naya menghentikanku membuka kulkas berisi sayuran."Oh? Mau masak kangkung mbak, saya lagi kepingin soalnya". Aku mengambil satu ikat kangkung dan mencucinya."Kan sudah ada capcai, jangan mubazir makanan". Ucapnya dengan nada tidak suka."Tidak akan mubazir mbak, kalau mbak nggak mau masih ada orang lain yang akan memakannya. Kalau semua orang di rumah ini tidak mau biar saya yang menghabiskannya". Ucapku sambil menyiapkan bumbu. Lagian sudah tiga hari aku disini, aku jadi kangen kampung halaman. Biasanya aku sering masak kangkung yang di petik dari kebun sendiri jika tidak ada lauk buat
Huufft. Aku benar-benar gedek sama mas Dion. Sudah dua minggu kita menikah tapi dia nggak pernah satu kali pun berniat menyentuhku. Bukan aku mengharapkannya tapi nanti nenek lampir itu pasti akan menggunjingku pada tetangga bahwa aku tak ada bedanya sama mbak Naya.Setiap malam gilirannya tidur di kamarku, mas Dion pasti lebih memilih tidur di sofa dan sibuk dengan ponselnya, seperti malam ini."Apa hapemu itu lebih menggoda dari pada saya?". Tanyaku mencoba memancing reaksinya."Kenapa? Kamu cemburu? Jangan pernah berfikir untuk mencintaiku karena cintaku hanya untuk istriku seorang, Kanaya". Dia menjawab sambil tetap fokus pada ponselnya."Kalau begitu, saya ini bukan istrimu? Lalu kenapa kamu nggak menceraikan saya?". Aku menutup tubuhku yang mulai terasa dingin dengan selimut hingga sebatas leher. Kenapa orang itu bisa betah dengan suhu ruangan yang dingin seperti ini? Kalau aku naikin suhu ac nya dia pasti akan ngedumel nggak jelas. "Kamu tetap istriku tapi hanya sebatas di ata
Badanku rasanya lemah lesu, tak ada lagi gairah yang aku rasakan. Rasanya ingin berbaring dan berbaring. Tak ada aktifitas yang bisa aku lakukan selain tiduran dan melamun. Mau main hape pun aku nggak sanggup. Kepalaku masih terasa pusing. Perutku lapar, tapi aku nggak bisa mengambilnya sendiri. Lagian ini baru jam enam pagi, bik Sumi pasti belum masak apalagi mbak Naya masih pergi katanya."Katanya mau buatin aku sup? Tapi kok nggak jadi-jadi?" Batinku kesal. Tubuhku kian meringkuk menahan dingin dan juga lapar. Kemana sebenarnya perginya mas Dion? Tunggu dulu, bukankah bik Sumi jam segini sudah datang? Tapi kenapa mas Dion tidak meminta bantuan bik Sumi buat gantiin bajuku tadi? Jangan-jangan tadi mas Dion cuma modus saja? Arggg, dasar kucing garong!.Ceklek!Suara pintu terbuka, aku segera pura-pura tidur. Suara langkah kaki kian mendekat."Bangun, aku tau kamu cuma pura-pura tidur." Ucap mas Dion terasa dingin. Aku menatap mas Dion kesal, dasar pria br**gs*k. Sok baik tapi tern
Aku tak bisa tidur, suara itu masih terngiang dalam kepalaku. Seakan terpatri dalam otakku, suara itu enggan pergi meski aku telah berusaha melupakannya."Ada apa dengan diriku? Biasanya aku biasa saja saat mendengar suara itu. Tapi sekarang, kenapa dadaku merasa begitu sesak?"Berbagai pertanyaan mulai memenuhi kepalaku. Bisa gila aku jika kepikiran terus."Apa aku sudah jatuh hati pada mas Dion?"Ah,jangan ngawur kau Nina, dia itu pria beristri! Kau nggak boleh jatuh cinta dengannya."Sadarlah Nina."Aku menggeleng kuat, mungkin otakku sudah konslet atau hatiku lagi eror itu adalah alasan yang paling kuat dan masuk akal yang bisa aku terima.Jam menunjukkan pukul dua dini hari, aku belum bisa tidur juga. Mungkin dengan mencari udara segar aku bisa berpikir jernih. Dengan langkah terjingkat dan hati-hati aku menuruni tangga, tak lupa aku menyumpal telingaku dengan earphone dan menyalakan musik dengan keras agar tak mendengar suara aneh itu lagi.Ceklek!Aku harus membuka pintu dengan
"Ma, N-Naya minta uang belanja lagi ya?". Pinta mbak Naya takut-takut.Aku mengernyit. Bukankah baru tadi pagi mama memberikan mbak Naya uang belanja? Masa uang tiga juta dalam kurun setengah hari sudah habis? Sebenarnya kemana perginya uang itu?Prank.Mama membanting sendok dengan keras. Mama memandang mbak Naya sengit. "Uang? Uang apa hah? Bukannya baru tadi pagi mama kasih? Mau korupsi kamu?". Tanya mama penuh emosi."Hei, kamu itu jangan boros jadi istri. Sudah mandul, tidak pintar ngatur uang suami lagi. Bisanya jadi benalu". Ucap mama sinis."Ma". Mas Dion menginterupsi.Aku memandang iba mbak Naya. Mbak Naya menunduk takut, mbak pakai buat apa uang itu, mbak?, batinku bertanya-tanya. "Apa? Kamu mau membela istri mandulmu itu? Harusnya kamu ceraikan saja dia, Dion. Dasar benalu". "Ma, cukup. Bisa nggak sih ma, satu hari saja nggak ribut sama istri Dion? Naya itu mantu mama, istri aku ma".Mas Dion mengambil napas lelah. Mas Dion memijat keningnya, sepertinya dia lelah mende
Pagi ini aku tidak melihat mas Dion dimana-mana. Apa dia masih marah? Tapi itu kan bukan semuanya salahku. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."Dion mana Nin?". Tanya mama saat tak mendapati anaknya sarapan bersama.Kadang wanita yang berstatus mertuaku itu bisa berkata lembut dan sopan tapi jika sudah keluar julidnya galaknya minta ampun."Nggak tau ma, dari tadi aku nggak lihat mas Dion". Jawabku pura-pura cuek tentang keberadaan mas Dion."Mas Dion sudah pergi ke kantor ma, ada urusan katanya". Ucap mbak Naya datar."Oh, ya sudah. Ini uang buat belanja bulan ini. Ingat jangan boros". Mama menyerahkan beberapa lembar uang warna merah. Mungkin kalau di total dua atau tiga jutaan mungkin?"Iya ma". Mbak Naya menyimpan uang itu di kantong gamis yang di pakainya. "Mama mau pergi arisan dulu, nanti kalau mbok Sumi datang, bilang saja gajinya mama transfer nanti siang". Ucap mama lalu pergi meninggalkan ruang makan.Aku segera mendekati mbak Naya kepo. Masa sih uang bulanan mama yang k
Huufft. Aku benar-benar gedek sama mas Dion. Sudah dua minggu kita menikah tapi dia nggak pernah satu kali pun berniat menyentuhku. Bukan aku mengharapkannya tapi nanti nenek lampir itu pasti akan menggunjingku pada tetangga bahwa aku tak ada bedanya sama mbak Naya.Setiap malam gilirannya tidur di kamarku, mas Dion pasti lebih memilih tidur di sofa dan sibuk dengan ponselnya, seperti malam ini."Apa hapemu itu lebih menggoda dari pada saya?". Tanyaku mencoba memancing reaksinya."Kenapa? Kamu cemburu? Jangan pernah berfikir untuk mencintaiku karena cintaku hanya untuk istriku seorang, Kanaya". Dia menjawab sambil tetap fokus pada ponselnya."Kalau begitu, saya ini bukan istrimu? Lalu kenapa kamu nggak menceraikan saya?". Aku menutup tubuhku yang mulai terasa dingin dengan selimut hingga sebatas leher. Kenapa orang itu bisa betah dengan suhu ruangan yang dingin seperti ini? Kalau aku naikin suhu ac nya dia pasti akan ngedumel nggak jelas. "Kamu tetap istriku tapi hanya sebatas di ata
"Sedang masak apa mbak?". Tanyaku menghampiri wanita berhijab yang tengah berjibaku dengan alat-alat dapur."Bukan urusan kamu, sudah pergi sana. Jangan menggangguku". "Oh, sedang goreng ayam ya?". Aku melongok wajan di hadapannya. Minyak mendidih itu telah membuat ayam yang di rendamnya berubah kecoklatan."Capcai juga?". Aku melirik piring dengan capcai yang sudah siap saji. "Mau apa kamu?". Mbak Naya menghentikanku membuka kulkas berisi sayuran."Oh? Mau masak kangkung mbak, saya lagi kepingin soalnya". Aku mengambil satu ikat kangkung dan mencucinya."Kan sudah ada capcai, jangan mubazir makanan". Ucapnya dengan nada tidak suka."Tidak akan mubazir mbak, kalau mbak nggak mau masih ada orang lain yang akan memakannya. Kalau semua orang di rumah ini tidak mau biar saya yang menghabiskannya". Ucapku sambil menyiapkan bumbu. Lagian sudah tiga hari aku disini, aku jadi kangen kampung halaman. Biasanya aku sering masak kangkung yang di petik dari kebun sendiri jika tidak ada lauk buat
"Pagi sayang". Mas Dion mengecup mesra kening mbak Kanaya saat berpapasan di bawah tangga. Duh irinya. Mereka benar-benar pasangan serasi. "Pagi mas". Mbak kanaya mengambil alih tas yang di bawa mas Dion."Sarapan, Dion". Mama berucap tanpa melirik mbak Kanaya sedikitpun."Iya, ma".Mereka berdua duduk berdampingan di depanku. Menurutku mereka benar-benar pasangan yang serasi. Mas Dion yang tampan dan mbak Kanaya yang cantik, benar-benar serasi bukan? Dan aku rasa, rasa cinta mereka terhadap satu sama lain sangat besar terlihat dari sorot mata mereka saat memandang. Andai saja selama lima tahun pernikahan mereka sudah di beri momongan mungkin aku tidak akan hadir di tengah-tengah mereka. Aku benar-benar iri pada mereka, saling setia satu sama lain walaupun akhirnya mas Dion terpaksa menjadikanku istri kedua. "Bagaimana malam pertama kalian?". Ucap Mama membuatku terbatuk.Aku melirik ke arah mas Dion, dia terlihat bingung dan serba salah. "Berjalan lancar kok ma". Ucapku tanpa ber
Kicauan burung di pagi hari membangunkanku. Tubuhku rasanya pegal sekali, tidurku pun tak nyenyak. Apa karena aku sudah terbiasa dengan kasur yang keras? Jadi otomatis tubuhku menyesuaikan diri dengan kasur empuk yang terlihat nyaman ini.Aku melirik keseluruh ruangan, tak ada tanda-tanda dari pria yang kemarin telah sah menjadi suamiku. Aku pun tak mempedulikannya, toh palingan dia sedang bersama istrinya.Dengan langkah gontai, aku pergi ke kamar mandi. Pas pintu terbuka, aku terperangah. Kamar mandinya luas sekali, mungkin lebih luas kamar mandi ini dari pada kamarku yang dulu. Padahal aku telah memasukinya dua kali tapi aku masih saja takjub di buatnya.Aku menyalakan sower dengan asal."Aw, panas". Aku mengibaskan tanganku yang terkena percikan air panas. Aku segera mematikan sower. Aku teliti lagi, ada dua tanda di sana. Berwarna biru dan merah, mungkin artinya dingin dan panas.Sower kembali kunyalakan, kini air dingin yang keluar. Aku ingin mandi air hangat. Mungkin dengan me
"kau harus menikah dengannya, Nina". ibu berteriak memaksaku untuk menikah dengan pria beristri."aku nggak mau, buk". aku menolak dengan tegas."kau punya tiga pilihan, Nina. menjadi istri kedua atau menjadi istri ke empat dan menjual diri". ibu mulai mengancamku."kenapa harus Nina, buk? yang punya hutang itu kalian". Aku terisak. Aku tadi malam memang memberikan harapan pada mereka, tapi setelah bertemu langsung dengan istri pria itu, hatiku jadi tak tega. Dia wanita berhijab, wajahnya sangat teduh, aku tak ingin merusak rumah tangganya dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka. "Kau harus menentukan pilihanmu, Nina. Atau besok kamu harus mau menikah dengan pak Broto". Ucap ibu lalu meninggalkan ku sendirian di kamar.Lagi-lagi aku harus di hadapkan dengan pilihan yang sulit. Memangnya apa salahku hingga harus menjalani kehidupan yang menyedihkan ini.Apa aku biarkan saja ibuk di jebloskan ke penjara? Tapi aku nggak mau di cap sebagai anak durhaka, bagaimanapun surgaku masih ber