"Jika kau mati, maka kita akan mati bersama," kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepala Sadia sebelum akhirnya mata cantiknya tertutup sempurna. Terlihat senyuman di sudut bibirnya ketika kepalanya tergulai lemas di dada Husam, pria itu juga perlahan menutup matanya. "Tuhan, jangan lakukan ini padaku. Aku tak bisa hidup tanpanya." Air mata merembes membasahi pipinya. Ia masih bisa mendengar orang-orang meneriakkan nama mereka, sebelum akhirnya, semuanya menjadi gelap gulita, kegaduhan di sekitarnya tak terdengar lagi. Entah berapa lama semuanya menjadi gelap.Hingga setengah entah berapa lamanya, ia melihat seberkas cahaya menyilaukan memasuki matanya dengan paksa kemudian mendengar detakkan jantung yang tak beraturan. Sakit! Itu yang ia rasakan saat ini, matanya belum puas terpejam untuk meninggalkan dunianya yang kejam."Sepertinya dia sudah sadar!" Lamat-lamat Sadia mendengar suara seorang wanita."Ya Allah. Terimakasih!" Terdengar suara wanita lainnya. 'Kenapa mereka tak mem
Beberapa minggu telah berlalu, tabung oksigen telah dilepas. Dokter mengatakan keadaan Husam telah membaik mungkin akan segera sadar. Sadia sejak tadi terus memandanginya tanpa henti, ia terus berada di sampingnya. Ia takut jika Husam bangun dan ia tak ada di sebelahnya.Ada suatu perasaan yang muncul di hatinya yang Sadia sendiri tak tahu perasaan apa itu. Ia memilih untuk mengabaikannya. Yang jelas sekarang satu-satunya hal yang ia inginkan adalah Husam membuka matanya dan berbicara dengannya."Bi Sum pergilah dan tidurlah. Bibi sudah berhari-hari kurang tidur, bibi butuh tidur yang cukup." Sadia menatap Bi Sum, memohon padanya untuk membicarakannya menjaga Husam sendirian malam ini."Baiklah, tapi kau juga harus tidur." Jawab Bi Sum."Tidak, harus ada seseorang yang menjaga Husam.""Kalau begitu biar aku saja yang menjaganya. Lihatlah dirimu, kau pun sedang tak sehat. Aku sudah lelah menasihatimu, kau juga harus tidur cukup." Bi Sum memarahi Sadia, namun Sadia menatap Bi Sum dengan
Sadia membungkuk di depan wastafel, membasuhkan air di wajahnya dengan kedua tangan. Ia memandang pantulan wajahnya yang basah di cermin, pipinya masih terlihat bersemu merah. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi Husam, ia heran pada dirinya sendiri yang sama sekali tak dapat menolaknya. Ia tak dapat menolak sentuhan dan kecupan darinya. Seolah ia juga menginginkannya."Tak apa-apa. Jangan panik." Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia menghela nafas dalam-dalam. Dadanya kembang kempis mengatur irama nafasnya."Apa yang merasukiku? Kenapa aku menikmatinya?" Sadia teringat bagaimana dirinya merasa seolah berada di bawah pesona sihir yang membuatnya kembali menciumnya seolah-olah tak ada esok hari untuk melakukannya lagi.Mata Sadia mulai terasa berat, ia ingin tidur sejenak namun tak bisa. Ada sesuatu di alam bawah sadarnya yang memintanya untuk terus terjaga.Sadia berpikir keras bagaimana harus menghadapinya. Ia memutuskan untuk bersikap seolah-olah itu tidak pernah terjadi seh
Sadia terbangun dari tidurnya. Ia menggosok matanya lalu melirik jam dinding, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk mengecek keadaan Husam. Ia bergegas pergi ke kamar sebelah.Begitu ia masuk, ia melihat Bi Sum masih menyuapi Husam seperti menyuapi anak kecil. Mata Husam berbinar menyadari kehadiran Sadia. Sadia berjalan mendekati Bi Sum. "Apakah tidurmu nyenyak?" tanya Bi Sum."Iya, sangat nyenyak." Jawab Sadia sambil menghindari tatapan Husam."Kalau begitu, kau bisa gantian menjaga Husam sekarang. Bibi sangat lelah, bibi ingin ke kamar sebentar untuk tidur siang." Bi Sum perlahan bangkit dari duduknya, membuat Sadia menjadi panik karena ia tak ingin bersama Husam."Tidak Bi. Sekarang aku lapar, aku mau makan dulu." Sadia beralasan."Bawa saja makananmu ke sini. Makanlah denganku." Dengan cepat Husam berbicara."Iya, bawa makananmu ke sini. Kau harus tidur di sini juga." Bi Sum menimpali. Wajah Bi
Husam mengayunkan tangannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Sadia, membuat wanita itu seketika tersadar dari lamunannya."Apa yang kau pikirkan?" Tanya Husam."Tidak ada! Menyingkirlah! Kau bisa-bisa mematahkan tanganku sekarang!" Jawab Sadia ketus.Husam segera melepaskan pegangannya di tangan Sadia. Begitu tangannya terbebas, Sadia mendorong Husam, namun tangan itu justru menyentuh dada bidangnya. Untungnya, Husam memakai kemeja sehingga Sadia tak perlu melihat dada dan ototnya lagi yang membuat jantungnya berdebar aneh."Kau melupakan sesuatu.." Husam memperingatkan. Sadia terdiam sambil mengernyitkan dahinya.Husam mendengus pelan lalu menyeringai. "Tentang tiga permintaanku." "Tiga permintaan apa?" Tanya Sadia pura-pura tak mengerti."Jangan bermain-main denganku." Husam menunjukan wajah marahnya."Aku tak tahu apa yang kau bicarakan." Sadia memalingkan wajahnya mencoba mencari apa pun yang bisa membantunya untuk pergi melarikan diri tanpa membuat Husam terluka."Jadi, kau t
Beberapa jam kemudian, mereka telah sudah duduk siap di dalam mobil. Mereka akan kembali ke rumah lama mereka. Rumah itu tak begitu jauh dari rumah Daniel. Ken mengemudikan mobil itu, sementara Husam duduk di sebelahnya, dan Sadia duduk di kursi belakang.Husam terlihat seolah menghindari Sadia, ia sama sekali tak menoleh ke belakang untuk melihatnya. Sadia merasa bingung, ia bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah ia buat sehingga Husam tak mau melihatnya. Sadia mulai gelisah memikirkannya.Dua jam lebih telah berlalu, akhirnya rumah itu tercapai juga. Rumah itu terlihat begitu besar, dan tua. Para penjaga membukakan gerbang untuk menyambut mereka, dan Ken dengan segera memarkirnya mobilnya di dalam. Anak-anak buah Husam menyambutnya dengan hormat.Husam masih tidak melirik Sadia. Husam yang lucu itu sekarang sudah tidak ada lagi, pikir Sadia. Husam terlihat merenung sepanjang waktu, entah apa yang dipikirkannya. Sikap dinginnya membuat Sadia merasa seolah-olah selama ini ketika Hu
Husam membuka pintu kamar itu lalu mendorong Sadia ke dalam. Tanpa mengatakan apapun, ia mengunci pintu itu dari luar. Ia tak ingin Sadia bertemu siapa pun untuk saat ini.Ia bersandar pada pintu kamar yang sekarang terkunci. Ia meletakkan tangannya di pelipisnya lalu memijatnya pelan untuk menghentikan rasa sakit yang semakin meningkat. Ia kemudian berjalan menuju ruangan yang terakhir di lantai itu, kamar milik orang tuanya.Husam menghela napas pelan sebelum membuka pintu kamar itu. Aroma pengharum ruangan yang tak asing lagi baginya menyeruak di hidungnya. Kamar itu adalah kamar yang paling besar di rumah ini, biasa disebut kamar rose gold karena interior eksplisitnya terbuat dari emas.Bahar, ayah Husam merancangnya khusus untuk Risa, ibu Husam. Sebagai hadiah.Pikiran Husam kembali pada memori beberapa belas tahun yang lalu.Flashback"Ayah, bolehkah aku mengambil kamar ini?" Husam kecil bertanya dengan penuh harap."Tentu saja boleh, tapi setelah kau menikah nanti." Ayah Hus
"Jangan pernah tinggalkan dia sendirian. Kau adalah satu-satunya keluarganya." Sebuah bisikan kembali terngiang di telinga Sadia. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca ketika melihat ke mana mobil yang mereka tumpangi melaju kencang. Sebisa mungkin, ia mencoba untuk bangun, namun semuanya sia-sia."Kita akan mati! Hentikan mobilnya!" Ia berteriak histeris, berharap orang-orang di sekitarnya bisa mendengarnya.Pandangan matanya melotot ngeri melihat mobil yang datang dari arah yang berlawanan. Mobil itu melaju begitu kencang seolah lepas kendali. Dalam hitungan detik, semuanya akan lenyap bertabrakan."Tolong bangunkan aku. Aku tidak ingin melihatnya." Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil berteriak-teriak sekeras yang ia bisa."Lindungi Naya. Kau satu-satunya yang ia punya." Ucap Ibu Sadia sebelum akhirnya hal yang paling menakutkan itu tak dapat dihindarkan."Tidak..Tidak ... Tidak!" Sadia meraung-raung, namun suaranya tetap kalah dengan kerasnya deru mobil yang berguling setelah
Flashback On"Yang itu! Akan kucoba." Husam meneguk cairan cokelat keemasan itu dan merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya.“Kak, ayo pulang. Kita sudah mencoba selama beberapa jam. Ini hanya membuktikan bahwa kau sudah tua sekarang," ucap Ken. Husam menatap tajam ke arah Ken yang membuang muka dengan seringai dan meminum vodkanya sekaligus dalam satu tegukan. "Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak percaya kita melakukan ini. Kita bahkan tidak terlihat seperti Mafia." Ken mengeluh, di saat Husam mengamati kerumunan untuk mencari gadis yang cocok."Diam saja dan biarkan aku berpikir," ucap Husam geram. "Beri aku satu kesempatan lagi," pintanya.Ken berbicara kepada bar tender lalu kemudian kembali pada Ken. "Kau tahu, ini ide bodoh! Betapa tidak masuk akalnya kau? Ayo lompat ke rencana B." "Dia akan mulai membenciku. Itu saja yang aku inginkan. Aku tidak ingin dia ..." Husam menggantung kata-katanya ketika seorang gadis pirang datang menyapanya."Halo tampan. Keberatan jika a
Sadia berdiam diri di kamar hingga berjam-jam, memikirkan bagaimana cara untuk menghadapi Husam, terutama untuk memikatnya. Sikap Husam akhir-akhir ini benar-benar mengacaukan pikiran Sadia. Ia bersikap seolah ingin Sadia menjauhinya, namun matanya memohonnya untuk tetap bersamanya.Sadia tak mengerti mana yang benar. Namun yang ia tahu, Husam tak pernah lagi selingkuh, ia tak pernah lagi tidur bersama wanita lain. Dan itu sudah cukup sebagai bukti bagi Sadia bahwa Husam mencintainya.Setelah Sadia selesai melaksanakan shalat Isya, ia kembali menunggu Husam. Sadia merasa ia harus melakukan sesuatu untuk membuatnya menyatakan cintanya padanya, atau setidaknya menunjukkan padanya bahwa ia tertarik padanya. Sadia memikirkan cara untuk memikatnya dan muncullah sebuah ide konyol. Ia memutuskan untuk merayu Husam.Tak ada salahnya, bukan? Seorang istri boleh merayu suaminya, bukan? Sadia menarik napas dalam-dalam sambil menatap bayangannya sendiri di cermin. Sadia tidak tahu bagaimana cara
FLASHBACK ON“Ada apa Bu?” tanya Husam begitu memasuki kamar tamu.Husam melihat ibunya berdiri menatap keluar jendela. Wanita itu dengan cepat membalikkan badannya begitu menyadari kehadiran Husam. Terlihat bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya."Husam, aku ingin kau tahu sesuatu," ucapnya. Suaranya terdengar gelisah, ia tampak gugup. Husam mengernyitkan dahinya.Risa beranjak duduk di tempat tidur. Husam mendekatinya, lalu berlutut di depannya. Tak peduli apapun yang telah wanita itu lakukan, bagi Husam ia tetap ibunya dan ia masih mencintainya."Ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja, Bu? Apa ada yang menyakitimu?" tanya Husam.Risa terlihat kaget saat mendengar Husam kembali memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Husam memanggilnya ibu.Husam sadar, biar bagaimanapun, ia harus tetap memperbaiki hubungannya dengan ibunya. Ia ingin semuanya kembali seperti semula. Dengan begitu, Sadia akan ikut senang melihat suaminya kembali dekat dengan
"Perlakukan dia dan ambilkan aku semua foto dari pesta itu. Aku ingin pengkhianat sialan itu di bawah kakiku,"Ancam Husam sambil menangkup wajah Zauq yang hampir tidak sadarkan diri dengan kedua tangannya. Ia menekan jari-jemarinya dengan kuat agar pria itu tetap sadar. “Dan sebaiknya kau jangan berbohong atau aku akan membunuh keluargamu dulu, dan selanjutnya kau. Aku akan menyiksa mereka tepat di depan matamu sampai kau tidak bisa lagi menerimanya dan memohon padaku untuk mempercepat kematianmu," ucap Husam sambil mendorong wajah kasar tawanannya itu sebelum akhirnya ia melangkah pergi menjauh dari sel.Husam ingin semua anak buahnya mengerti betapa kejamnya dirinya yang sebenarnya. Mereka harus melihat betapa berbahayanya dirinya terhadap orang-orang yang mengkhianatinya. Ia ingin hal ini akan menjadi pelajaran untuk mereka semua. Ia menyebut dirinya sebagai monster dan ia bangga dengan sebutan itu. Ia tak akan pernah membiarkan satu orang pun menghalangi apa yang ingin ia lakukan.
"Kak Husam .. Kami mendapat masalah. Kau harus segera datang ke markas ruang bawah tanah." Terdengar suara Dian, salah satu sahabat Husam melalui sambungan telepon yang ia genggam di telinganya."Oke, aku akan ke sana," jawabku Husam.Dian adalah komandan kedua Husam. Mendengar nada suaranya yang begitu panik, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat buruk. Husam menjadi ikut panik. Udara di sekitarnya terasa menjadi panas.Matanya kembali menatap sosok cantik yang tertidur lelap di tempat tidurnya. Bulu matanya yang lentik terlihat begitu indah tersemat di bawah kelopak matanya. Dadanya turun naik seiring nafasnya yang ringan. Selimut putih menutupi separuh tubuhnya, menyembunyikan lekuk tubuhnya.Ia merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Ia ingin segera merengkuh wanita itu dalam pelukannya lalu tidur bersamanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan hendak mengecup lembut dahinya, namun ia tak bisa merasakan kulit lembutnya karena yang ada di depannya kali ini hanyalah sebuah la
"Jangan berani menyentuh barang-barangku lagi!" ucap Husam ketus, mengabaikan pertanyaan terakhir Sadia.Pria itu berjalan ke samping lemari untuk mencari sesuatu, membuat Sadia menjadi kesal. Ia bergegas berjalan menghampirinya lalu membalikkan bahunya sehingga ia bisa menghadapnya."Jangan ganti topik. Aku ingin jawaban. Aku telah menanyakan sesuatu dan kau harus menjawabnya!" ucap Sadia setengah berteriak, mencoba membuat Husam takut. Namun, pria itu justru bersikap seolah sama sekali tak mendengarnya."Jangan terlalu percaya diri. Aku punya kamera di seluruh ruangan di rumah itu. Bukan hanya di kamarmu! Aku mencoba mencari pengkhianat itu, dan dia bisa jadi siapapun yang tinggal di rumah itu," ujar Husam. Suaranya mengandung kebencian. Rasa sakit terpancar dari mata Sadia, ia mengedipkan matanya dengan cepat agar air matanya tak jadi tumpah."Aku sama sekali tak ingin memperhatikanmu!" Husam membuang muka, mengabaikan air mata di mata Sadia."Aku sudah memberitahumu. Aku hanya be
Keesokan harinya Sadia terbangun dengan kepala terasa pusing. Ia tidak benar-benar tidur semalam. Ia tidur hanya sekitar satu setengah jam saja. Sakit yang ia rasakan dalam hatinya membuatnya gelisah sepanjang waktu. Naya tidur di kamar lain, dan Sadia menangis sendirian sepanjang malam, bahkan ketika matanya sudah terlelap, tangisnya belum berhenti mengalir "Aku harus bertanya pada ibu mertua, apa yang sebenarnya terjadi? Jika Husam tak mau memberitahuku, maka aku harus mencari tahu sendiri," ucap Sadia memutuskan.Dalam sujudnya pagi ini, ia masih menangis, meminta pada Tuhannya agar hari ini ia menerima sesuatu yang baik. Kata-kata Husam kemarin benar-benar membuatnya hancur.Setelah ia selesai menunaikan ibadahnya, Sadia bergegas ke kamar Naya, ternyata ia masih tidur. Sadia pun bergegas ke dapur untuk meminum segelas susu. Ia merasa begitu lemah dan lelah, ia membutuhkan energi untuk mengembalikan tenaganya. Sepagi itu, biasanya dapur masih kosong dan terkunci karena belum ada y
Sadia merasa begitu bersemangat membawa nampan berisi semangkuk mie ayam itu ke kamar Husam."Dia pasti akan menyukainya," gumamnya. Ia mengetuk pintu kamar Husam beberapa kali hingga akhirnya ia mendengar suara dari dalam."Masuk." Suara Husam terdengar serak.Sadia menghela napas dalam-dalam sebelum ia mendorong pintu itu yang tak lagi terkunci. Perlahan pintu itu terbuka dan pemandangan yang Sadia lihat di depannya membuatnya benar-benar terkejut. Semua barang berserakan di lantai. Husam memang sering melakukan itu ketika ia sangat marah. Tapi, setahu Sadia, Husam sangat menyukai kamar ini karena kamar ini merupakan hadiah dari ayahnya untuk ibunya. Kali ini sepertinya Husam benar-benar marah hingga ia sampai menghancurkan kamar kesayangannya. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi hari ini.Sadia menatap punggung Husam yang membelakanginya. Terlihat sebatang rokok terjimpit di jemarinya. Perlahan Sadia melangkahkan kakinya dengan hati-hati karena tak ingin kakinya terluka karena pe
Sadia tak lagi bersemangat untuk bermain bulutangkis setelah Husam pergi. Ia sedari tadi hanya berdiri di sudut. Pandangan matanya seolah memperhatikan Naya dan Ken, namun pikirannya entah di mana. Ia menunggu Husam kembali hanya agar ia bisa mengagumi ketangkasan dan ketampanannya sekali lagi."Sadia, kenapa diam saja?" tanya Ken melihat wanita itu tak merespon bulutangkis yang baru saja ia arahkan padanya. Sadia terdiam, membuat Ken terpaksa berkata lagi. "Ayo, bermain lagi!" ucapnya, namun Sadia tak menghiraukannya.Sadia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah, sambil sesekali menatap ke arah pintu rumah, berharap pria itu muncul dari sana. Tapi tak ada. Sekitar dua puluh menit sudah berlalu, dan sama sekali tak ada tanda-tanda Husam akan datang. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi dan kembali ke kamarnya."Naya, ayo kembali ke rumah sekarang. Kau harus istirahat. Kau belum boleh terlalu kelelahan." Sadia meminta adiknya untuk ikut. Naya terlihat menghela napas kesal namun mau tak mau