“Jadi, sekarang lo memutuskan buat melahirkan anak itu? Tanpa ngerasa keberatan sama sekali tentang apa pun yang terjadi sekarang, atau di masa depan.” Ayesha melirik Devan yang tengah asyik menonton sambil bicara padanya. Mereka berdua duduk di belakang meja depan televisi sambil menonton dan mengobrol. Sudah satu bulan mereka tak mengobrol seperti ini. “Yang terjadi sekarang adalah gue hamil, maka yang seharusnya terjadi ke depannya adalah gue punya anak. Gue mulai belajar nerima keadaan gue sendiri. Tentang punya suami dan bakal punya anak dari suami gue juga. Sejak enggak tinggal sama Teh Mala, rasanya gue lebih mengalami kemudahan ketimbang kesulitan. Ini berbanding terbalik dari waktu gue tinggal serumah sama istri pertama laki gue.” Ayesha lantas terkekeh pelan seraya menikmati makanannya. Devan melihat apa yang dikatakan Ayesha. Toh, Ayesha tampak lebih segar dari kemarin saat dia masih tinggal seatap dengan istri pertama dari suaminya, apa lagi ketika ada mertuanya. “Gue
“Devan bawa siapa? Ceweknya?” “Devan udah punya pacar?” “Ayesha kali, biasanya dia bawa Ayesha, kan?” “Enggak, Ayesha enggak mungkin bakal ikut riding malam ini.” Inggit menatapi Devan yang memarkirkan motornya, menatapi gadis yang dibawa Devan malam itu untuk riding. Dan ketika Ayesha turun dari motornya Devan, Ayesha menoleh ke arah sekumpulan orang yang ada di tribun alun-alun. Devan memarkirkan motornya bersanding dengan motor yang lain saat itu. Melihat ada banyak orang yang ikut dan bahkan kawanannya ikut, Ayesha mengangkat tangannya dan melambaikannya tinggi-tinggi sebagai ucapan halo kepada mereka semua. “Si Ay itu!” pekik Argi, pria itu tentu menyadari tinggi Ayesha saat bersanding dengan Devan. Argi tampak tersenyum senang menyambut gadis kesukaannya datang. Dia memandanginya, yang tanpa melepas helmnya berlari ke arah tribun. Diikuti dengan Belia dan Inggit yang turun dari tribun. “Enggak mungkin, harusnya dia enggak di sini,” ucap Belia seraya menghampiri Ayesha. M
“Aa, ke depannya apa bakal gini terus?” Nirmala memandang Izhar dengan sebal, lagi. “Apanya?” Izhar yang tengah menyiapkan beberapa pakaian untuk kepergiannya di hari Senin. “Aa sekarang punya dua istri, waktu buat aku udah terbagi sama Ayesha, tapi Aa masa terus-terusan ke luar kota, sih?” Nirmala kesal hanya karena Izhar akan bepergian lagi. “Kan, Aa harus kerja, Mala. Kalau Aa enggak kerja, biaya lahiran kamu nanti, siapa yang tanggung? Biaya lahirannya Ayesha juga, nanti siapa yang tanggung?” Izhar berusaha memberinya penjelasan dengan halus, dia cukup sabar untuk menghadapi Nirmala.“Dan ke depannya juga kita bakal gini terus. Kita enggak pernah cuman benar-benar berdua sejak ada Ayesha, A! Aa kenapa enggak cerai aja sama Ayesha selagi kemarin itu masih keputusan Ayesha?” Nirmala lagi-lagi mengungkit hal yang sudah sering jadi bahan obrolan mereka.“Mala, kamu tahu sendiri kalau Ayesha lagi hamil, enggak mungkin Aa ceraikan begitu saja.” “Dia beneran hamil, emang? Kok, aku ra
“Kalau lo jomblo, boleh dong, gue deketin secara terang-terangan?” tanya Argi. Ayesha terdiam sejenak. Toh, Izhar hanya akan datang sesuai waktu yang ditentukan Nirmala. Dirinya bisa bepergian dengan bebas selama tak ada Izhar. Untuk bertemu Argi bukan hal yang sulit jika memang Argi akan memacarinya. Izhar tak akan punya banyak waktu untuknya. Lain dengan Argi. Namun, Devan pastinya tak akan setuju tentang ini. “Hahaha, sa ae lo, udang!” tawa Ayesha, dia menggunakan panggilan udang yang merupakan panggilan Ayesha pada Argi saat mereka masih berpacaran.“Udang? Lo masih ingat juga ternyata, tentang panggilan itu,” gumam Argi, dia menatap Ayesha semringah, karena tahu jika Ayesha kelihatannya memberikannya ruang untuk mendekatinya. Ayesha menganggukkan kepalanya. Dia teringat Devan. Devan tak boleh tahu jika Argi mendekatinya secara terang-terangan dan Devan tak boleh tahu jika dirinya yang membuka celah untuknya. “By the way, kayaknya kita harus balik. Gue khawatir Devan bakal mar
Tanpa sepengetahuan Devan, Ayesha dan Argi sering kali bertemu dan jalan-jalan bersama. Dan Devan yang sibuk dengan menjadi coach untuk para pemain badminton dari generasi baru. Devan terlalu sibuk dengan jadwal barunya melatih anak-anak yang orang tuanya rela membayarnya cukup mahal. Makanya, Devan jadi kurang memperhatikan Ayesha lagi. Sementara itu, Izhar sendiri tak pernah curiga pada Ayesha. Dia yakin jika Ayesha bukan tipe orang yang mudah didekati pria lain dan bukan wanita yang haus akan perhatian lawan jenisnya. Jumat sore adalah jadwalnya Izhar datang. Ayesha bersikap seperti biasanya, tak menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan dari minggu kemarin. Begitu Izhar datang, Ayesha menyambutnya dan salim padanya, juga sudah menyediakan makan malam baginya. “Ay, besok jadwal kamu USG, ya? Tepat tiga bulan?” Izhar menatapi Ayesha saat sedang makan. “Oh, iya. Hampir lupa.” Ayesha tampak sibuk dengan handphonenya, dia tengah meladeni Argi, berbalas pesan dengannya, karena bagin
Alunan syahdu suara Ayesha memenuhi rumah sore itu. Sejak kehamilannya, yang dia rasa adalah tubuhnya lebih bergairah dari biasanya. Apalagi titik yang sebelumnya tak sensitif, menjadi sensitif dan titik yang sudah seharusnya sensitif menjadi lebih sensitif.Izhar mulai semakin mampu membuatnya kewalahan. Dan mungkin permainan itu tak akan berhenti di situ. Haya berhenti sesaat untuk segera mandi dan sholat magrib kemudian permainan berlanjut setelah sholat isya. Memang biasanya seperti itu. Itulah kegiatan mereka setiap kali bersama. Yang membuat Ayesha tak pernah menolak Izhar lagi adalah karena setelah melakukannya, tubuhnya tak terasa pegal atau nyeri lagi. Justru membuatnya tidur lebih nyenyak dari biasanya dan bangun dengan keadaan segar. Jika bisa, dia mungkin meminta Izhar melakukannya setiap hari. Melihat Ayesha yang tidur sangat lelap setelah permainan mereka, Izhar mengusap pelan kepala Ayesha. Senang rasanya saat Ayesha semakin menerima dirin
“Ay, buka pintunya, dong! Iya, Aa salah, Aa minta maaf. Aa tadi cuman nanya, cuman mau memastikan juga. Aa percaya sama kamu, kamu enggak mungkin ladenin laki-laki lain.” Nasi sudah menjadi bubur. Apa boleh buat, Ayesha sekarang marah karena ucapan Izhar yang menyakiti hatinya. Dia tak membukakan pintu kamarnya untuk Izhar dan membiarkan Izhar di luar. Izhar sendiri berusaha membujuk Ayesha sampai lelah dan akhirnya memutuskan menunggu Ayesha tak lagi marah padanya dan keluar. Dia menunggunya di sofa sambil berbaring. Sementara Ayesha membuka handphonenya dan melihat pesan dari Argi. Argi melakukan spam, pantas saja membuat suara bising yang pastinya menarik perhatian Izhar. Dia jadi kesal pada Argi karena ini. Namun, melihat ini membuatnya berpikir, kenapa dia harus marah atas ucapan Izhar yang benar? Tidak, itu tidak benar. Dia tidak mendekati pria yang memiliki pasangan. Argi tak memiliki pasangan, dan Argi yang mendekatinya lebih dulu. Benar adanya jika dia meladeni Argi. Itu k
“Ayesha!” Ayesha membuka pintu ruangan dengan gugup. Sebelumnya dia baik-baik saja dan makan makanan ringan dengan tenang sampai dia tahu bahwa gilirannya masuk ke ruangan dokter akan tiba. Izhar yang akan menemaninya masuk ke ruangan dokter berada di belakangnya. Ayesha menutup lagi pintu ruangan setelah mengintip dari luar dan membuat Izhar mengernyitkan dahinya melihat tingkah Ayesha. Ayesha bahkan hendak putar balik jika saja Izhar tak menahannya dan langsung membuka pintu kemudian mendorongnya dengan halus untuk masuk. “Hish!” Ayesha menggerutu pelan. “Halo, ada yang bisa dibantu? Ada keluhan apa?” Dokter pria yang duduk di belakang meja menyambut mereka dengan ramah. “Enggak ada apa-apa,” jawab Ayesha cepat. Jawaban Ayesha berhasil membuat dokter yang semula tengah membaca rekam medik Ayesha langsung mengangkat kepalanya dan menatap Ayesha. Kemudian matanya menyipit membentuk bukan sabit, beliau tampaknya terhibur sedikit. “Kalau keluhan kayaknya enggak ada, mau kontrol a
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga