"Sayang, bangun." Christian mengusap wajah kiri Aileen dengan lembut dengan ibu jarinya saat melihat Aileen belum juga bangun. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Semalam, dia meminta untuk dibangunkan pagi-pagi sekali, tepatnya pukul 6 pagi karena dia bilang ingin mengelilingi pulau itu seraya menikmati segarnya udara pagi hari. Namun, kenyataannya Aileen belum juga bangun. Padahal, sudah beberapa puluhan kali Christian mencoba membangunkannya. Dari sebelum Christian mandi hingga selesai mandi, bahkan sarapan pagi pun sudah siap sejak pagi tadi. Tapi, Aileen masih tidur dengan nyenyak. "Cepat bangun. Kau bilang ingin jalan-jalan hari ini." "Aku masih mengantuk." Dengan posisi tidur menyamping, Aileen tampak masih bergeming. Hanya mulutnya saja yang bergerak. "Langit sudah terang, kau bisa tidur lagi nanti." "Biarkan aku tidur 5 menit lagi." Christian yang sedang duduk di tepi ranjang seraya memandangi wajah lelap Aileen tiba-tiba terseyum tipis mendengar
"Christian..!! Berhenti! Jangan lari." Aileen berusaha mengejar Christian yang sudah berlari menjauh setelah menurukannya. Baru saja dia dikerjai lagi oleh Christian. Pria itu berbohong mengenai rahasia yang dia punya. Kenyatannya, suaminya itu kembali menciumnya, tidak hanya di bibir, melainkan wajah juga di depan anak buahnya tanpa rasa malu. "Kemarilah, kejar aku kalau bisa!" teriak Christian yang sudah berdiri di pinggir pantai. "Lihat saja, jika kau tertangkap. Aku tidak akan membalasmu." Aileen berlari mengejar Christian. Keduanya berlarian di pinggir pantai. Sesekali Christian terkekeh melihat wajah kesal Aileen yang sejak tadi tidak berhasil menangkapnya. Padahal, Christian sudah melambatkan langkahnya. Tapi, Aileen masih belum juga berhasil menggapainya. Setiap Aileen mendekat, Christian akan mencipratkan air ke arah Aileen menggunakan kakinya hingga baju depan Aileen basah dan itu membuat Aileen semakin kesal. Tanpa sadar mereka sudah berjalan cukup jauh. Bahkan, me
"Christian, apa mereka berdua akan terus mengikuti selama liburan di sini?" tanya Aileen setelah melirik sekilas pada pengawal Christian dan Ken yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat mereka duduk. Saat ini, keduanya sedang duduk di pasir seraya menatap pemandangan pantai di depannya. Setelah selesai menelpon, Christian menghampiri istrinya yang sedang beristirahat di bawah pohon. "Iya," jawab Christian seraya menoleh pada Aileen. "Kenapa? Apa kau tidak suka?" Aileen menarik senyuman kaku di wajah, kemudian berkata, "Iya, aku merasa tidak nyaman." Dia merasa tidak leluasa jika terus diikuti oleh kedua orang Christian. Rasanya seperti sedang diawasi dan diikuti oleh paparazi. Setiap gerak-gerik mereka selalu dipantau dan diawasi. Jadi, Aileen merasa tidak bebas. "Maaf, Sayang. Kau harus menahannya. Ini demi kebaikan kita." Sebenarnya, itu semua Christian lakukan demi kebaikan istrinya. Aileen adalah kelemahannya. Orang yang tidak suka dengannya, pasti akan mengincar Aile
Ketika melihat wajah serius Christian, entah mengapa Aileen menjadi ragu sesaat. "Baiklah, aku akan berjanji. Sekarang katakan padaku, apa syaratnya?" "Aku mi—" Ucapan Christian seketika terhenti saat seorang pria tiba-tiba menghampirinya. Pria itu adalah orang yang akan mengemudikan kapal tersebut. "Tuan Li, semuanya sudah siap." Christian mengangguk, kemudian meminta pria itu untuk pergi lebih dulu. "Sudah saatnya kita berangkat." "Tapi, kau belum mengatakan persyaratannya," ucap Aileen seraya menahan lengan Christian Li. "Nanti kuberitahu setelah ke berada di kapal." Dengan lembut, Christian menarik tangan Aileen untuk naik ke kapal. Di belakang mereka ada Ken serta 2 pengawal yang terus mengikuti mereka. "Ini kamar yang akan kita tempati jika kita pulang menggunakan kapal pesiar ini?" tanya Aileen dengan wajah bersinar. "Iya," jawab Christian sembari menatap Aileen yang sedang berdiri di depan jendela kaca yang menghadap laut. "Bagaimana menurutmu?" "Bagus, aku
Keesokan harinya, Aileen terbangun lebih dulu. Dia menatap menatap Christian yang masih terlelap di sampingnya. Dia memiringkan tubuhnya agar bisa memandangi wajah suaminya yang terlihat semakin tampan dari hari ke hari. 'Sayang, ayahmu tampan sekali. Ibu tahu, kau pasti sudah bosan mendengarnya. Tapi, ayahmu memang sangat tampan. Semuanya terbentuk dengan sempurna. Semoga kau bisa mewarisi wajah rupawan ayahmu.' Karena merasa takjub dengan wajah suaminya, Aileen tidak tahan untuk menyentuhnya. Dengan gerakan pelan, Aileen menelusuri wajah Christian dengan hati-hati dan berhenti di hidungnya. "Aku suka sekali hidungnya," monolog Aileen dengan senyuman tipisnya. "Hidungnya mancung sekali." Batang hidung Christian lurus naik, ujung hidungnya lancip, tulang hidungnya berbentuk lurus dengan lubang hidung sempit. Bentuk hidung seperti itu, banyak diidamkan banyak orang. "Selain hidung, apa lagi yang kau sukai dariku?" Aileen seketika membatu saat melihat Christian tiba-tiba suda
“Apa kalian sudah menemukannya?” tanya Christian setelah menunggu selama kurang lebih 1 jam lamanya. Sejak tadi dia terus menunggu dengan gelisah di depan vila. Raut wajahnya tampak lesu sekaligus cemas, penampilannya pun tampak berantakan. Dia bahkan belum mandi karena terlampau panik dan cemas memikirkan keberadaan istrinya. “Belum, Tuan Muda.” Ken baru saja datang untuk melapor kalau dia melihat alas kaki Aileen tertinggal di tepi pantai yang tidak jauh dari pelabuhan. “Apa ada yang menculiknya?” tanya Christian khawatir. “Saya belum bisa memastikan, Tuan Muda. Tapi, kemarin saya sempat melihat ada kapal yang berada di perairan tengah.” Christian meremas rambutnya dengan wajah frustasi. “Apa mungkin itu orang suruhan bibiku?” Mengingat masih ada tangan kanan bibinya yang belum tertangkap sampai sekarang dan menjadi buronan. “Saya juga tidak tahu, Tuan Muda. Kapal itu langsung menjauh setelah saya memerintahkan orang untuk mendekati kapal itu.” Christian berpikir se
"Sayang, kau naik ke atas duluan. Aku ingin bicara dengan Ken terlebih dahulu.""Baiklah."Mereka baru saja tiba kediaman Li malam hari setelah berlibur selama 5 hari di pulau pribadi Christian Li. Christian memutuskan untuk membawa Aileen kembali ke Kediaman Li setelah liburan mereka selesai karena tidak ada lagi yang tinggal di sana sekarang.Arthur dan Ava sudah kembali ke kediaman ibunya, sementara Qarina kembali ke kediaman Nyonya Caisa. Hanya sesekali mereka ke kediaman Li selama Christian berlibur. Mereka memutuskan untuk tinggal di kediaman masing-masing karena memang Christian Li sudah sembuh."Kakak Ipar, kau sudah kembali?"Saat tiba di lantai 2, Aileen tidak sengaja bertemu dengan Qarina yang baru saja turun dari lantai 3."Iya. Aku baru saja sampai."Qarina mengangguk ringan. "Aku dengar, Kak Christian menyiapkan pesta yang sangat mewah untuk hari ulang tahunnya lusa.""Aku tidak tahu. Christian tidak mengatakan apa-apa." Dirinya hanya tau kalau di pesta ulang tahun Chris
Melihat Christian terdiam sejak tadi, Aileen kembali berbicara, "Christian, aku akhirnya bisa memiliki hubungan baik dengan adik sepupumu, jadi biarkan aku menemaninya ke rumah sakit, ya? Aku sudah menyetujui permintaannya tadi, aku takut dia kecewa padaku jika tiba-tiba aku tidak jadi menemaninya."Christian tetap diam. Namun, tangannya membelai rambut hitam Aileen."Aku juga berencana untuk pergi ke salon & spa besok. Aku berencana minta ditemani juga dengan Qarina."Akhirnya, Christian menunduk setelah terdiam sejak tadi. "Untuk apa ke sana?""Lusa adalah hari istimewamu, aku ingin terlihat sedikit lebih baik agar tidak mempermalukanmu."Mengingat betapa cantiknya Tiffany, Aileen mendadak tidak percaya diri untuk mendampingi Christian di pestanya. Dia takut orang lain akan membanding-bandingkan dirinya dan mencemoohnya karena tidak secantik Tiffany."Jangan berpenampilan terlalu cantik di pestaku. Aku tidak mau ada lelaki yang menikmati kecantikanmu."Aileen menepuk pelan dada Chri
“Arthur, mari bercerai.” Arthur seketika membeku ketika mendengar itu. “Cerai?” Calina mengangguk. “Tiffany sudah kembali, kau juga sudah sembuh, sudah saatnya aku mundur.” Meski hatinya saat ini sangat hancur, tapi Calina berusaha keras untuk tetap bersikap tenang di depan pria yang kini sudah sepenuhnya mengisi hatinya. Ya, Calina sudah jatuh cinta pada pria yang dia nikahi berapa tahun lalu. Meski, di awal dia tidak memiliki perasaan apa pun, tapi nyatanya cinta perlahan tumbuh seiring kebersamaan mereka selama bertahun-tahun. “Apa Tiffany mendatangimu?” “Tidak," jawab Calina. “Lalu, kenapa tiba-tiba ingin bercerai?” Calina mengepalkan tangan dengan kuat demi menahan agar air matanya tidak keluar. “Aku tahu kau masih mencintai Tiffany. Aku tidak ingin menjadi penghalang cinta kalian.” Arthur tampak terdiam. Namun, tatapan masih tertuju pada iris Calina. “Selain Tiffany, apa ada alasan lain yang melatarbelakangi kau ingin bercerai denganku?” "Maksudmu?" "Apa kau sudah menem
Belum sempat mobil terparkir dengan benar, Jayden sudah keluar dengan langkah terburu-buru dengan ekspresi suram. “Bu, di mana Ayah?” tanya Jayden pada Aileen yang sedang duduk di ruangan keluarga dengan Alicia dan Steven “Ada di ruangan kerjanya, ada ...” Belum selesai Aileen bicara, Jayden sudah berjalan menuju ruangan kerja sang ayah yang berada di lantai bawah. Tanpa mengetuk, dia langsung membuka pintu dengan kasar, membuat Christian dan Ken yang berada di dalam ruangan itu terkejut dan menoleh bersamaan. “Jayden, apa kau sudah lupa cara mengetuk pintu? Di mana sopan santunmu?” tegur Christian. Jayden yang sudah terlanjur emosi, mengabaikan teguran sang ayah dan bertanya dengan marah, “Kenapa ayah menggusur pekampungan itu?' Christian mengerutkan kening sebentar, kemudian bertanya, "Perkampungan apa?" "Jangan pura-pura tidak tahu," jawab Jayden, "Perkampungan yang berada di selatan kota, itu tanah milik Li's Corp, kan?" Sebelum menjawab pertanyaan sang putra, Chris
“Kakak, kau datang lagi?” Gadis kecil penjual kue itu langsung berlari ketika melihat Jayden sedang berjalan ke arah minimarket. “Hhmm,” gumam Jayden Li seraya mengangguk ringan. Seperti biasa, dia hanya menampilkan ekspresi biasa ketika berbicara dengan siapa pun. Berbeda sekali dengan gadis kecil yang berada di hadapannya itu, matanya tampak berbinar dan senyuman sangat lebar ketika menyambut kedatangannya. “Kak, maaf, kueku hari ini sudah habis. Tadi ada Paman baik hati yang membeli semua kueku,” ujarnya dengan wajah riang. Senyuman begitu polos, membuat siapa pun yang melihat akan merasa gemas. “Lihatlah. Sudah tidak tersisa.” Dengan antuasias gadis kecil itu menunjukkan wajah kue yang biasa gunakan untuk meletakkan kue kukusnya. Jayden melirik sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap gadis di depannya. “Aku ke sini untuk membeli sesuatu di dalam,” jawabnya datar. Gadis itu mengangguk tanda mengerti. “Oh, seperti itu.” Dia pikir Jayden datang untuk membeli kuenya, karena b
"Sudahlah. Untuk apa juga aku perhitungan dengan anak kecil sepertimu."Daniel berlalu dari sana dan mendekati gadis kecil yang tampak sedang menunduk. Sebelum memeriksa gadis kecil itu, Daniel memanggil salah satu perawat yang ada di sana untuk mendekat.Jayden Li yang semula duduk dengan acuh tak acuh, akhirnya mendekat ketika melihat Daniel mulai mengobati gadis kecil itu.Ketika Daniel sedang membersihkan luka di bibir gadis itu, tampak dia mengigit bibir bawahnya seraya mengerutkan wajah.“Sakit?” Jayden Li yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bertanya pada gadis kecil itu.“Tidak, Kak.”Melihat senyuman gadis itu yang begitu lebar, entah mengapa justru membuat sudut hati Jayden terasa sakit.Kenapa gadis di depannya tidak menangis dan justru tersenyum? Sudah jelas itu sakit, tapi gadis di depannya tidak mengeluh sedikit pun.Jika itu terjadi pada adiknya, bisa dipastikan akan terjadi kehebohan di rumah sakit itu. Adiknya pernah tidak sengaja terjatuh dan itu membuat kehebohan di
“Bangunlah.”Gadis kecil yang semula masih meringkuk, perlahan bangkit dibantu oleh Jayden Li usai ketiga preman itu dibuat tumbang dan babak belur.“Apa kau tidak apa-apa?”Gadis itu mengangkat kepala setelah membersihkan bajunya yang kotor. “Aku tidak apa-apa, Kakak. Terima kasih sudah menolongku.”Melihat gadis itu tersenyum lebar dengan wajah polosnya, Jayden seketika tertegun. Dia menatap gadis di depan dengan alis yang hampir menyatu.Dia tersenyum?Setelah diinjak-injak dan dibuat terluka, dia masih bisa tersenyum selebar itu.Bagaimana bisa? Padahal, di wajahnya terdapat beberapa luka memar dan di bagian bibir bawahnya tampak mengeluarkan cairan merah. Sepertinya ada luka robek di bagian bibirnya. Tidak hanya itu, di bagian pelipis gadis kecil itu pun terdapat luka berupa garis memanjang yang juga mengeluarkan sedikit darah.Dengan umur seusainya, sangat wajar jika dia menangis histeris, tapi gadis kecil di depannya itu justru tersenyum. Jangankan menangis, mengeluh sakit pun
“Tuan Muda, silahkan.” Pengawal pribadi Jayden Li membuka pintu belakang setelah melihat anak bosnya keluar dari tempat latihan bela diri.Jayden mengangguk dengan wajah datar, kemudian memasuki mobil dan duduk di kursi belakang.“Paman Rai, berhenti di depan. Aku ingin membeli sesuatu.”Rai, asisten pribadi Jayden yang sedang mengemudi mengangguk, kemudian menepikan mobil mereka di minimarket yang berada di sebelah kanan jalan. Mobil yang hitam yang sejak tadi mengikuti mobil Jayden Li ikut berhenti di belakangnya. Mobil sedan hitam itu berisi 4 orang pengawal berbadan tegap yang secara khusus ditugaskan untuk mengikuti Jayden Li ke mana pun dia pergi.“Paman Rai, kau di sini saja, aku hanya sebentar," ucap Jayden setelah tiba di depan pintu minimarket.“Tapi, ....” Rai ingin menolak, tapi Jayden kembali angkat bicara, “Tidak sampai 5 menit, aku sudah keluar. Jadi, Paman tunggu di sini saja.”Jayden membalik tubuh, kemudian meraih pintu dan masuk ke dalam. Tidak jauh dari minimarket
“Kalau begitu, bagaimana kami bisa masuk ke perut Ibu?" Qarina menahan tawanya, semetara Christian dan Aileen saling melirik dengan ekspresi bingung. “Kalau untuk itu, silahkan tanyakan pada Ayah." Karena dia sendiri bingung, bagaimana harus menjelaskan pada Steven agar dia bisa mengerti. “Ayah, katakan padaku, bagaimana bisa kami masuk ke perut Ibu?” Christian yang ditanya seperti tampak berpikir keras. Cukup lama dia terdiam sampai akhirnya dia membuka suara, “Karena Ayah rajin menyuntikkan vitamin pada Ibu.” Steven menggaruk kepalanya karena tidak mengerti dengan penjelasan sang ayah. “Jadi, Ayah seperti Paman Daniel yang suka menyuntik orang sakit?” Karena merasa terjebak dengan jawabannya sendiri, Christian menjadi bingung sendiri harus bagaimana menjelaskan pada sang putra agar dia mengerti dan tidak bertanya lagi. “Tidak sama. Kau masih kecil, Ayah jelaskan pun kau tidak akan mengeti. Tunggu kau besar, nanti kau juga akan tahu,” Itu adalah jawaban yang paling aman agar St
"Kenapa baru pulang?" Aileen menghampiri Christian yang baru saja memasuki kamar. "Alicia sejak tadi menangis mencarimu." Sejak dua hari yang lalu, Christian berada di luar untuk meninjau anak perusahaan mereka yang berada di kota sebelah. "Maaf, Sayang. Pesawatku delay." Seharian ini, dia memang tidak sempat menghubungi Aileen. Biasanya, dia menyempatkan waktu untuk melakukan panggilan vidio agar bisa berbicara dengan sang putri yang memang sejak dulu sangat dekat dengannya. Alicia memang lebih dekat dengan Christian dibandingkan dengan Aileen. Itu karena Christian sangat menyayangi Alicia dan selalu memanjakannya, hingga terkadang membuat Steven menjadi iri. "Dia sudah tidur?" tanya Christian seraya membuka kancing kemejanya. "Sudah. Dia menangis selama 1 jam dan tidak mau berhenti meski aku sudah membujuknya berkali-kali. Dia marah karena tidak bisa bicara denganmu." "Kalau begitu, aku akan melihatnya setelah mandi." "Apa kau ingin berendam?" Karena Christian baru saja melak
“Sayang, aku lapar." Aileen berucap seraya mengalungkan tangannya di leher Christian. Keduanya saat ini sedang berada di kolam di dalam kolam renang. Semenjak hamil, setiap pagi atau sore hari, Christian akan menemani Aileen untuk berenang selama kurang lebih 15 menit.“Kau ingin makan apa, Sayang,” tanya Christian seraya merapihkan rambut Aileen di bagian depan.“Aku ingin makan nasi goreng.”“Baiklah. Ayo, kita naik.” Setelah Christian meraih tubuh Aileen dan menggedongnya, dia berjalan menuju anak tangga yang berada di tepi kolam.“Tapi, aku ingin kau yang membuatnya.”Baru saja akan menapakkan kaki di anak tangga bawah, Christian tiba-tiba menarik kembali kakinya. “Aku tidak bisa masak, Sayang. Bagaimana kalau rasanya tidak enak?”“Tidak apa-apa. Aku akan mengajarimu.”“Baiklah.”Setibanya di atas kolam, Christian menurukan Aileen dengan hati-hati, lalu memakaikan bathrobe. Baru setelah itu, keduanya berjalan menuju ruangan bilas yang berada tidak jauh dari kolam renang. Usai me