Seminggu berlalu, Nakura sangat bahagia dengan hari pernikahannya. Meskipun Ryuji hanya menyiapkan tempat yang sama seperti Aoi dan Makoto menikah dulu, wedding chapel.
Hinana menyisir rambut Nakura yang tergerai begitu indahnya.
"Ma, mama dulu pas nikah juga deg-degan gak?" tanya Nakura penasaran, jantungnya berdebar tak karuan.
Hinana mengangguk. "Tentu saja deg-degan nak. Apalagi mama waktu itu nikah muda banget kayak kamu. Hm, tapi ayah ngajak nikah. Karena dia serius sama cintanya, gak main-main dan sekedar janji manis."
Nakura terharu. "Mama beruntung ya bisa dapat laki-laki berhati tulus seperti ayah? Pasti seneng bisa di cintai sebesar itu," dan harapan Nakura adalah Ryuji tetap mencintainya dalam kondisi apapun.
"Kamu juga beruntung bisa dapat Ryuji. Dia sahabat masa kecil kamu. Jangan kecewakan dia ya nak?" Hinana hanya memberikan nasehat pada Nakura, berkali-kali di kecewakan akan menghilangkan rasa kepercayaan.&n
Kenriki dan Fukuie mengecek rumah kosong itu."Jangan sampai dia lolos!" gertak Fukuie pada rekan-rekannya yang lain.Setelah di lakukan pencarian semua ruangan, tak di temukan siapa-siapa. Hanya botol minuman dan bekas kemasan makanan ringan.Kenriki menghampiri Fukuie. "Tidak di temukan siapapun disini. Sepertinya dia kabur.""Ayo kita harus bergerak lebih cepat. Semuanya! Kita kembali berpencar!" teriak Fukuie lantang.***Takeru duduk dengan tenang, akhirnya ia bisa lolos dari kejaran polisi. Bersama anak buahnya yang kini menikmati satu loyang pizza dengan lahapnya."Gila! Tadi kita hampir ketangkap loh. Tapi bos nyuruh kita pindah kesini. Nyewa kos-kosan lagi," ujar si pria berambut gondrong."Makannya bos, kalau udah tau ada suara mobil polisi langsung kabur. Bukannya malah sana cek dulu, keburu di tangkap ah," celetuk yang lain ikut kesal. Tapi hampir saja.Semuanya terge
Aoi bertopang dagu, setelah makan masakan dari Ryou, pikirannya berkelana entah kemana."Pingin banget camping sama Haruka dan Fumie. Kalau Nakura pasti lagi bulan madu gak bisa di ganggu," Aoi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa menemaninya ngobrol. Ryou? Ah, pemuda itu akan membuat hatinya baper lagi karena perhatiannya yang berlebihan.Aoi celingak-celinguk memastikan keadaan sekitarnya aman. Tentu saja, dirinya berada di kamar. Para 4 pria itu menjaganya di luar pintu, lebih untung lagi kalau kamarnya kedap suara.Aoi menelepon Haruka."Haru, kamu sama Fumie ada waktu sampai 3 hari gak? Aku pingin ngajak kamu sama Fumie camping, biar pernah," ucap Aoi ketika sudah terhubung dengan Haruka."Camping? Mau dong! Kapan lagi coba bica camping bertiga. Nanti aku bilangin ke Fumie deh. Mulai kapan nih?" rupanya Haruka sangat antusias dan senang."Nanti malem kita kumpul di e-gimana kalau promnade? A
Selama bakar-bakar jagung, mereka melempar canda tawa."Padahal gak lucu kok ketawa ya?" tanya Fumie heran."Kita kan udah satu frekuensi, mau lucu atau gak pasti seneng lah," jawab Haruka meniup jagungnya yang sudah matang."Ini campingnya berapa hari Aoi?" tanya Haruka penasaran."Tiga hari aja sih. Gak mau lama-lama, takut di cariin bodyguard aku. Yah, pasti sekarang lagi tidur. Aku juga udah bilang ke bu Idah kok, entah di aduin atau gak gak apa-apa. Asalkan mereka jangan cari aku.""Suami kamu belum pulang ya dari luar kota? Lama banget, pasti kamu kangen berat sama pak Makoto," Fumie meniup jagung bakarnya, setelah di rasa dingin ia memakannya."Kangen banget, aku juga bosen lama-lama di rumah. Makannya aku kepikiran camping sama kalian. Pingin juga ngajak Nakura dan Ryuji, tapi mereka kan pengantin baru. Jangan di ganggu, lagi romantisan," bisik Aoi lirih, seolah takut Nakura dengar dan mengomelinya. 
"Apakah hutan pinusnya masih jauh?" tanya Nonomura.Ryou menggeleng. "Sebentar lagi kita akan sampai.""Jangan lupa, senjatanya kalian bawa kalau memang ada apa-apa disana," tambah Ryou memperingati."Siap!" sahut semuanya kompak."Ryou, apakah nona Aoi berada di sebuah gubuk? Untuk apa? Bukankah nona Aoi sedang camping?" tanya Tsubasa."Menurut informasi dari nona Aoi, mereka sedang di kejar oleh orang misterius dan berjubah. Aku tidak tau lagi, tapi yang terpenting nona Aoi masih aman.""Tunggu," Tsubasa nampak berpikir. "Kenapa bisa nona Aoi di kejar oleh mereka? Apa nona Aoi ada masalah dengan mereka?"Ryou mengangguk. "Bisa jadi, karena gak mungkin juga mereka mengejar nona Aoi. Kalau aku sudah dapat informasi tambahan tentang orang-orang itu, akan aku sampaikan pada nona Aoi juga Tuan Makoto.""Jangan dulu, nanti pekerjaan Tuan Makoto terganggu. Bagaimana jika nanti Tuan Makoto memilih pulang karen
Aoi mengerjapkan matanya, kepalanya terasa sakit dan pusing."Aww, pusing banget lagi. Kenapa ya?"Tak seperti biasanya setelah tidur Aoi merasakan sakit kepala. Tapi itu tak berlangsung lama, hanya sebentar saja."Mungkin aku belum sarapan jadi pusing gini," Aoi turun dari ranjangnya, langkahnya ke kamar mandi hanya sekedar membasuh muka. Rasanya malas untuk mandi karena airnya yang begitu dingin.Selesai membasuh wajah, Aoi sarapan sendirian meskipun para bodyguard-nya berdiri menjaga berjejer rapi."Kenapa aku selalu sarapan sendirian? Meskipun sekarang ada kalian, tapi masih sama saja tak mau di ajak makan bersama," gerutu Aoi mengomel.Ryou dan yang lainnya mendengar Aoi berceloteh sendiri hanya tersenyum. Aoi sedang kesal."Nona Aoi kalau makan jangan berbicara dulu. Nanti tersedak," ucap Ryou menasehati.Aoi menoleh melirik Ryou, pria itu selalu saja memberikan perhatian le
Di Fukuoka, Makoto telah selesai merapikan bajunya ke dalam sebuah koper besar. Saatnya pulang setelah beberapa bulan sibuk dengan pekerjaannya.Makoto sangat merindukan istri tercintanya itu."Ayo kita segera pulang. Aoi pasti menunggu kita disana."Karin yang tengah makan sandwich sambil duduk itu pun mengangguk setuju. Karena terburu-buru makan, akhirnya Karin tersedak dan Amschel menyodorkan air mineral yang di ambil di meja."Kamu makan pelan-pelan aja aku sama Makoto pasti nungguin kamu kok," ucap Amschel meletakkan kembali air mineralnya ke meja setelah di teguk habis oleh Karin."Gak mau," Karin menggeleng. "Aku kangen banget sama Aoi. Kenapa gak di ajak sekalian aja?""Kalau Aoi di ajak, siapa yang bakal jagain? Kalau disana kan aman ada bi Idah juga bodyguard dari Makoto," Amschel hanya mau yang terbaik untuk Aoi.Karin menghela nafasnya. "Ayo yah, nanti kita ketinggalan pesawatnya," rasanya Kar
"Namanya menurut aku Hikaru aja mas. Hikaru Rotschild karena ayah berpesan agar nama belakangnya menggunakan nama keluarga. Tapi kalau menurut kamu kurang bagus terserah kamu aja," Aoi hanya pasrah dengan Makoto, nama Hikaru kurang pas menurutnya entah dengan suaminya yang masih anteng memandangi anak pertamanya."Itu aja udah bagus. Aku gak tau apa-apa kalau nama yang bagus buat bayi kita. Pastinya kamu udah menyiapkannya dari dulu kan?"Aoi mengangguk. "Sama Haruka dan Fumie. Mereka yang ngasih aku saran namanya."Merasa di sebut namanya, tiba-tiba Fumie tersedak. Haruka segera menyodorkan jus jeruknya yang masih utuh tak terminum. Fumie meneguknya sampai habis, keterlaluan memang.'Keselek tapi minumanku jadi korbannya,' batin Haruka kesal."Kenapa ya? Apa ada yang gosipin kita Haru?" tanya Fumie dengan alis yang mengernyit."Gosipin kita? Ngapain? Siapa sih yang berani. Gak ada kerjaan lain apa," Haruka mendumel.&
Selama Makoto makan di kantin, beberapa suster yang sedang lewat itu menyapanya ramah tapi senyumannya itu seperti menyukai Makoto pada pandangan pertama awal berjumpa."Pagi pak."Makoto mengangguk. "Pagi juga.""Mari pak.""Iya, silahkan.""Hari ini bapak ganteng banget."Kalau yang ini Makoto tidak menanggapinya, karena itu berakhir menggodanya atau modus saja."Yah di cuekin," suster cantik berambut sebahu itu cemberut dan pergi.Makoto menarik senyumnya. Berhasil. Sudah tau dirinya beristri masih saja di godain."Aku mau pulang. Bosen disini terus, tiap hari makan bubur sama susu. Gak bisa makan apa-apa," keluh Nakura."Tapi kan kamu masih sakit sayang. Nanti juga pasti di izinin pulang. Ayo di makan lagi buburnya," bujuk Ryuji dengan sabar.Mendengar suara yang di kenal itu Makoto mencari sumbernya. Sampai menemukan Nakura dan Ryuji yang hanya berjarak 2 meja dari i
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun